Oleh LUKMAN HAKIM AG.*
Aparat kepolisian di semua daerah sepertinya sering menindak balapan liar. Pemerintah di semua daerah sepertinya juga pernah menggelar balapan jalanan (road race). Dua peristiwa balapan beda perlakuan. Yang dilarang dan yang disayang.
SEBENTAR lagi tahun baru. Detik-detik pergantian tahun itu biasanya diwarnai berbagai kegiatan hiburan. Sering juga ada konvoi kendaraan bermotor hingga balapan di jalanan. Karena itu, polisi merasa perlu melakukan berbagai antisipasi, yang salah satunya menghalau kendaraan tertentu masuk kota. Aparat juga melakukan tindakan tegas karena balapan yang dicap liar itu dianggap mengganggu masyarakat sehingga perlu ditertibkan.
Sejatinya balapan tidak hanya terjadi pada momen tahun baru dan Ramadan. Pada malam-malam tertentu memang biasa dilakukan di beberapa ruas jalan. Terutama pada malam minggu. Di Bangkalan biasanya di Jalan Asmara alias Jalan Kembar, Bancaran, dan akses Suramadu. Para pembalap jalanan Sampang biasanya memacu kendaraan di Jalan Makbul, Jalan Syamsul Arifin, Jalan Raya Taddan, dan di Pangarengan.
Sementara di Pamekasan, bunyi knalpot meraung-raung di jantung kota. Para pembalap mengadu kecepatan motor di Jalan Kabupaten, Jalan Trunojoyo, Jalan Raya Sentol, Jalan Raya Konang, dan beberapa ruas jalan lain. Sedangkan balapan di Sumenep biasa digeber di Jalan Diponegoro, Jalan Arya Wiraraja, Jalan Jokotole, dan Jalan Raya Lenteng (Galugur).
Itu hanya beberapa titik yang biasa dijadikan pusat balapan pada malam hari. Selain itu, masih banyak. Tidak sedikit jalan di pelosok juga. Seperti di Jalan Raya Kambingan, Saronggi; Jalan Raya Cempaka, Pasongsongan; dan lain-lain.
Balapan itu kemudian dibubarkan polisi. Dua alasan yang selalu dinarasikan polisi setiap membubarkan balapan liar. Yang utama, katanya, karena meresahkan dan mengganggu masyarakat. Dari tindakan itu kemudian berkembang pada perkara lain. Yakni, pelanggaran lalu lintas dan pencurian kendaraan bermotor.
Balapan itu meresahkan karena mengganggu pengguna jalan yang lain. Faktor keamanan dan keselamatan para pembalap dan penonton juga tidak terjamin. Tidak sedikit nyawa yang melayang gara-gara balapan ini.
Polisi biasanya berjaga di lokasi sehingga balapan tidak digelar. Tapi, kalau petugas hanya patroli, kerap terjadi kucing-kucingan. Pada malam-malam tertantu jalan tanpa balapan hanya saat ada petugas. Petugas pergi, balapan mulai lagi. Dan, mustahil bunyi knalpot yang memekakkan telinga dari lokasi itu tidak terdengar polisi.
Beda lagi kalau giat polisi bernama operasi. Selain membubarkan balapan, mereka mengangkut motor dari lokasi ke markas komando (mako). Motor hanya bisa diambil pemilik jika menunjukkan dokumen lengkap kendaraan. Penjemputan motor harus dilakukan orang tua atau wali untuk diberi pembinaan oleh polisi.
Selain itu, motor hanya bisa diambil jika suku cadang diganti sesuai dengan standar pabrikan. Mulai ban, knalpot, spion, dan lain-lain. Sudah sering kita melihat polisi menggeber motor berknalpot brong di dekat telinga pemiliknya. Sudah sering juga polisi memutilasi knalpot bising. Pembuat ditindak gak ya?
Polisi juga menelusuri kendaraan bermotor (ranmor) bila tidak dilengkapi dokumen berupa STNKB dan BPKB. Sebab, tanpa dokumen resmi, ada kemungkinan ranmor-ranmor itu terkait pencurian kendaraan bermotor (curanmor).
Saya apresiasi giat polisi ini. Namun, seberapa jauh efektivitas tindakan polisi dalam menekan balapan liar (bali) itu? Jawabannya bisa kita lihat di lokasi. Sudah tiada, sudah berkurang, tetap marak, atau semakin menjadi-jadi dan menambah daftar lokasi? Butuh keterlibatan semua pihak untuk menyelesaikan masalah ini. Tidak hanya korps Bhayangkara.
Di sisi lain, road race juga sering digelar. Bahkan, memperebutkan piala bupati. Setidaknya empat kabupaten di Madura pernah menggelar balapan ini dalam rangka memeriahkan hari jadi daerah masing-masing. Penyelenggaraan balapan ini dilakukan secara resmi. Ada panitia khusus yang menyiapkan agar balapan ini berjalan sukses.
Lokasi road race dan balapan liar sebenarnya sama. Sama-sama di jalan raya yang biasa dilalui masyarakat umum. Bahkan, road race digelar di pusat kota. Namun, road race lebih ”profesional”. Jalan yang jadi rute atau lintasan ditutup sementara untuk umum. Tempat penonton juga diberi pembatas. Pada balapan liar polisi membubarkan, pada road race polisi membantu demi kelancaran.
Saya tidak tahu apakah pembalap liar itu sama dengan para joki yang turun pada kegiatan road race. Atau bisa jadi pembalap liar itu akan ”naik kelas” jadi pembalap road race. Atau balapan liar itu menjadi semacam latihan untuk jadi pembalap profesional? Entahlah!
Setiap ada road race, saya selalu bertanya, para peserta itu sebelumnya latihan di mana? Sebab, jangankan tempat latihan, lokasi road race yang digelar secara resmi itu menggunakan jalan umum. Dengan kata lain, hingga saat ini belum ada lintasan khusus untuk balapan.
Jika balapan itu dianggap berpotensi sebagai ajang unjuk prestasi, saatnya pemerintah memikirkan untuk membangun lintasan khusus. Arahkan dan fasilitasi mereka yang punya kemampuan memacu kendaraan dengan cepat itu. Sepertinya tidak baik hanya lantang melarang tanpa membina dan mengembangkan potensi yang ter(di)pendam itu.
Bukankah kita bangga jika ada Robby Sakera-Robby Sakera baru dari Pulau Madura? (*)
*)Wartawan Jawa Pos Radar Madura