20.8 C
Madura
Friday, June 2, 2023

Sedekah Tani

Oleh Lukman Hakim AG.*

Bagi orang kampung, lebih-lebih di Madura, sapi dan tanah bagai sepasang kekasih yang tak bisa dipisahkan. Keduanya sama-sama saling membutuhkan dan mendukung. Bila salah satu di antaranya tidak produktif, dipastikan tidak berjalan normal.

STATUS petani dan peternak biasanya juga menyatu. Terutama bagi peternak sape lako. Bukan sape daging, sape kerrap, sape sono atau lottrengan, sape pajang, dan sape kontheng. Umumnya, petani di Madura sekaligus memelihara sapi. Sebab, dua pekerjaan ini saling terkait dan menguntungkan.

Semisal Surahmo yang menggarap lahan pertanian, baik milik sendiri atau sistem bagi hasil (ngala parowan) atau sistem sewan/kontrak. Lahan itu ditanami berbagai tanaman sesuai kebutuhan dan perubahan musim. Hampir dipastikan Surahmo juga akan memelihara sapi.

Tanam jagung atau padi, rumput ikut tumbuh. Itu dirasakan dan bahkan juga dinikmati oleh petani. Bagi Surahmo yang juga ngowan sape, rumput yang tumbuh di sawah tidak begitu jadi persoalan. Sebab, rumput itu bisa dibawa pulang untuk pakan ternak sapi. Bagi peternak, kotoran sapi juga jadi berkah karena itu bermanfaat untuk pupuk tanaman.

Sapi yang diberi pakan rumput dari sawah itu terus dipelihara hingga besar. Bagi petani, tenaga sapi dibutuhkan untuk membajak (asaka/ananggala) dan nyalaga). Petani memelihara sapi itu sekaligus menabung. Saat berkembang biak, empe-nya dijual untuk berbagai keperluan. Termasuk untuk pendidikan, kesehatan, dan lain-lain. Bahkan, sapi jadi tabungan untuk naik haji. Seperti Pak Harun, CJH tertua tahun ini yang menjual sapi untuk melunasi biaya haji.

Begitu sirkulasinya. Rumput tidak dibasmi dengan bahan kimia. Ini berbeda dengan petani yang katanya semakin modern, yang ditandai serbamesin dan produk pabrikan. Katanya dapat meningkatkan produktivitas. Namun, pada saat yang sama menggali lubang pengangguran dan memperkarat mata rantai sosial.

Baca Juga :  Menjemput Paket

Modernitas yang ditandai mesin otomatis mengurangi tenaga manusia. Dampaknya, intensitas petani dan buruh tani untuk bertemu semakin berkurang. Lambat laun, produktivitas mesin mengantarkan manusia menjadi individualistik. Semua pekerjaan diukur dengan uang. Padahal, sebelumnya, petani biasa menggarap lahan, menanam, hingga pascapanen secara gotong royong atau urunan secara bergantian. Jalinan sosial itu mempererat hubungan antar petani.

Penggarapan lahan persiapan tanam dimulai dengan bersih-bersih rumput. Rumput hijau itu berguna untuk pakan ternak. Namun, kini disemprot kimia agar kering karena peternak tak memelihara sapi sehingga tidak butuh rumput lagi. Hal itu juga berdampak pada sistem penyuburan tanah. Karena petani sudah tidak memelihara sapi, pupuk kandang tak ada. Tanaman di sawah dipupuk dengan produk pabrik. Ketergantungan pada pupuk kimia tak terkendali. Kelangkaan dan harga mahal tak terelakkan karena seolah hanya itu satu-satunya cara untuk menggemburkan tanah dan menyuburkan tanaman.

Namun, ketergantungan petani pada pupuk kimia menguntungkan sebagian orang. Bahkan, pemerintah sampai memberi subsidi bagi petani dengan syarat bergabung dengan kelompok petani. Ketergantungan itu pula yang menyuburkan hama besar pemakan pupuk. Tidak sedikit truk pengangkut pupuk subsidi berurusan dengan penegak hukum karena mendistribusikan di luar ketentuan.

Di titik inilah ketidakmandirian petani. Mereka menjadi tidak merdeka dalam menentukan haknya sebagai petani. Ungkapan bahwa biaya tanam lebih besar daripada hasil panen kadang tak terelakkan. Harga gabah dan beras saat panen justru tak lebih mahal dari harga pupuk yang melambung dan langka. Mereka yang mengeluhkan impor beras pada masa panen hanya bagai angin lalu.

Setelah lahan bersih dilanjutkan dengan pembajakan. Jika dulu mengandalkan tenaga sapi, kini, mengolah tanah menggunakan hand tractor. Dulu memanen padi juga menggunakan tenaga manusia dengan ngare/anye, ngaleser atau agebby, manggul, ngabur, dan menjemur. Proses itu butuh banyak tenaga. Kini, panen itu hanya butuh sangat sedikit manusia karena digarap combine.

Baca Juga :  Tanda Tangan

Mesin memang mempercepat proses dan lebih efesien karena tak butuh banyak tenaga manusia. Otomatis mengurangi beban biaya dan memperbanyak hasil. Tapi ingat, bannya belum tentu serra. Serra juga belum tentu berkat. Karena itu, salah satu doa orang Madura selalu memohon serra berkat (awet berkah), selain baras salamet (sehat selamat).

Karena itu, selain berusaha sekuat tenaga juga disertai dengan doa. Juga tak lupa untuk sedekah dengan berbagai cara, upaya, dan acara. Sedekah dimulai sejak proses tanam hingga setelah panen. Bagi petani yang mempekerjakan buruh pasti memasak untuk suguhan. Kalaupun pongkoran pasti tidak kosongan, masih ada kopi dan tambul.

Nah, saat masak itulah tidak hanya cukup untuk disuguhkan kepada buruh tani. Petani pemilik lahan sangat mungkin masak lebih dari kebutuhan pekerja untuk disedekahkan kepada tetangga atau orang terdekat. Sebelum mulai garap tanam, juga ada ritual yang bermuara pada sedekah. Begitu juga ketika panen tidak hanya dinikmati sendiri. Tapi, juga berbagi, baik mentah maupun siap saji.

Petani kacang berbagi kacang rebus atau sangrai. Petani kacang hijau akan berbagi bubur manis atau bubur gurih (kaldhu). Petani padi berbagi beras atau gabah. Terutama kepada saudara atau tetangga. Jadi tidak semua harus diuangkan dan diukur dengan rupiah hanya untuk memenuhi hasrat sendiri.

Kearifan sedekah yang dibungkus dengan arebba atau akakerem ini yang banyak dilupakan dan mungkin ditinggalkan manusia modern. Padahal, tidak semua hanya dipikir dengan akal, melainkan dengan hati. Kemakmuran bukan hanya melimpahnya harta, melainkan juga ketenteraman jiwa. Begitu. (*)

*)Pemred Jawa Pos Radar Madura

Oleh Lukman Hakim AG.*

Bagi orang kampung, lebih-lebih di Madura, sapi dan tanah bagai sepasang kekasih yang tak bisa dipisahkan. Keduanya sama-sama saling membutuhkan dan mendukung. Bila salah satu di antaranya tidak produktif, dipastikan tidak berjalan normal.

STATUS petani dan peternak biasanya juga menyatu. Terutama bagi peternak sape lako. Bukan sape daging, sape kerrap, sape sono atau lottrengan, sape pajang, dan sape kontheng. Umumnya, petani di Madura sekaligus memelihara sapi. Sebab, dua pekerjaan ini saling terkait dan menguntungkan.


Semisal Surahmo yang menggarap lahan pertanian, baik milik sendiri atau sistem bagi hasil (ngala parowan) atau sistem sewan/kontrak. Lahan itu ditanami berbagai tanaman sesuai kebutuhan dan perubahan musim. Hampir dipastikan Surahmo juga akan memelihara sapi.

Tanam jagung atau padi, rumput ikut tumbuh. Itu dirasakan dan bahkan juga dinikmati oleh petani. Bagi Surahmo yang juga ngowan sape, rumput yang tumbuh di sawah tidak begitu jadi persoalan. Sebab, rumput itu bisa dibawa pulang untuk pakan ternak sapi. Bagi peternak, kotoran sapi juga jadi berkah karena itu bermanfaat untuk pupuk tanaman.

Sapi yang diberi pakan rumput dari sawah itu terus dipelihara hingga besar. Bagi petani, tenaga sapi dibutuhkan untuk membajak (asaka/ananggala) dan nyalaga). Petani memelihara sapi itu sekaligus menabung. Saat berkembang biak, empe-nya dijual untuk berbagai keperluan. Termasuk untuk pendidikan, kesehatan, dan lain-lain. Bahkan, sapi jadi tabungan untuk naik haji. Seperti Pak Harun, CJH tertua tahun ini yang menjual sapi untuk melunasi biaya haji.

Begitu sirkulasinya. Rumput tidak dibasmi dengan bahan kimia. Ini berbeda dengan petani yang katanya semakin modern, yang ditandai serbamesin dan produk pabrikan. Katanya dapat meningkatkan produktivitas. Namun, pada saat yang sama menggali lubang pengangguran dan memperkarat mata rantai sosial.

- Advertisement -
Baca Juga :  Kontes Pendidikan

Modernitas yang ditandai mesin otomatis mengurangi tenaga manusia. Dampaknya, intensitas petani dan buruh tani untuk bertemu semakin berkurang. Lambat laun, produktivitas mesin mengantarkan manusia menjadi individualistik. Semua pekerjaan diukur dengan uang. Padahal, sebelumnya, petani biasa menggarap lahan, menanam, hingga pascapanen secara gotong royong atau urunan secara bergantian. Jalinan sosial itu mempererat hubungan antar petani.

Penggarapan lahan persiapan tanam dimulai dengan bersih-bersih rumput. Rumput hijau itu berguna untuk pakan ternak. Namun, kini disemprot kimia agar kering karena peternak tak memelihara sapi sehingga tidak butuh rumput lagi. Hal itu juga berdampak pada sistem penyuburan tanah. Karena petani sudah tidak memelihara sapi, pupuk kandang tak ada. Tanaman di sawah dipupuk dengan produk pabrik. Ketergantungan pada pupuk kimia tak terkendali. Kelangkaan dan harga mahal tak terelakkan karena seolah hanya itu satu-satunya cara untuk menggemburkan tanah dan menyuburkan tanaman.

Namun, ketergantungan petani pada pupuk kimia menguntungkan sebagian orang. Bahkan, pemerintah sampai memberi subsidi bagi petani dengan syarat bergabung dengan kelompok petani. Ketergantungan itu pula yang menyuburkan hama besar pemakan pupuk. Tidak sedikit truk pengangkut pupuk subsidi berurusan dengan penegak hukum karena mendistribusikan di luar ketentuan.

Di titik inilah ketidakmandirian petani. Mereka menjadi tidak merdeka dalam menentukan haknya sebagai petani. Ungkapan bahwa biaya tanam lebih besar daripada hasil panen kadang tak terelakkan. Harga gabah dan beras saat panen justru tak lebih mahal dari harga pupuk yang melambung dan langka. Mereka yang mengeluhkan impor beras pada masa panen hanya bagai angin lalu.

Setelah lahan bersih dilanjutkan dengan pembajakan. Jika dulu mengandalkan tenaga sapi, kini, mengolah tanah menggunakan hand tractor. Dulu memanen padi juga menggunakan tenaga manusia dengan ngare/anye, ngaleser atau agebby, manggul, ngabur, dan menjemur. Proses itu butuh banyak tenaga. Kini, panen itu hanya butuh sangat sedikit manusia karena digarap combine.

Baca Juga :  Tanda Tangan

Mesin memang mempercepat proses dan lebih efesien karena tak butuh banyak tenaga manusia. Otomatis mengurangi beban biaya dan memperbanyak hasil. Tapi ingat, bannya belum tentu serra. Serra juga belum tentu berkat. Karena itu, salah satu doa orang Madura selalu memohon serra berkat (awet berkah), selain baras salamet (sehat selamat).

Karena itu, selain berusaha sekuat tenaga juga disertai dengan doa. Juga tak lupa untuk sedekah dengan berbagai cara, upaya, dan acara. Sedekah dimulai sejak proses tanam hingga setelah panen. Bagi petani yang mempekerjakan buruh pasti memasak untuk suguhan. Kalaupun pongkoran pasti tidak kosongan, masih ada kopi dan tambul.

Nah, saat masak itulah tidak hanya cukup untuk disuguhkan kepada buruh tani. Petani pemilik lahan sangat mungkin masak lebih dari kebutuhan pekerja untuk disedekahkan kepada tetangga atau orang terdekat. Sebelum mulai garap tanam, juga ada ritual yang bermuara pada sedekah. Begitu juga ketika panen tidak hanya dinikmati sendiri. Tapi, juga berbagi, baik mentah maupun siap saji.

Petani kacang berbagi kacang rebus atau sangrai. Petani kacang hijau akan berbagi bubur manis atau bubur gurih (kaldhu). Petani padi berbagi beras atau gabah. Terutama kepada saudara atau tetangga. Jadi tidak semua harus diuangkan dan diukur dengan rupiah hanya untuk memenuhi hasrat sendiri.

Kearifan sedekah yang dibungkus dengan arebba atau akakerem ini yang banyak dilupakan dan mungkin ditinggalkan manusia modern. Padahal, tidak semua hanya dipikir dengan akal, melainkan dengan hati. Kemakmuran bukan hanya melimpahnya harta, melainkan juga ketenteraman jiwa. Begitu. (*)

*)Pemred Jawa Pos Radar Madura

Artikel Terkait

Bahasa Madura dalam Pusaran Pemilu

Tertib Aset

Menjawab Keluhan Pelanggan

Most Read

Artikel Terbaru

/