PAMEKASAN – Santri memang identik dengan aktivitas mengaji. Namun, dalam perkembangannya tidak hanya mengaji kitab. Tetapi, juga ngaji teknologi. Seperti yang dikembangkan Madrasah Diniyah IBS Padepokan Kiai Mudrikah.
Madrasah Diniyah Padepokan Kiai Mudrikah tampil beda. Madrasah dengan sistem Islamic Boarding School (IBS) ini mengembangkan pendidikan berbasis teknologi. Berbagai fasilitas penunjang, seperti pembelajaran digitalisasi tersedia secara lengkap di madrasah yang terletak di Dusun Somber, Desa Lancar, Kecamatan Larangan, Pamekasan, itu.
Direktur Utama Padepokan Kiai Mudrikah KH Dr Achmad Muhlis menjelaskan, saat ini kehidupan manusia tidak bisa lepas dari teknologi. Karena itu, madrasah diniyah yang dikelola merespons perkembangan dunia informasi dan teknologi tersebut dengan membangun kesadaran melek teknologi.
Semua santri madrasah diniyah yang belajar di madrasah tersebut diberikan layanan yang menunjang pengembangan kompetensi dan penguasaan teknologi digital. ”Setiap santri diberikan fasilitas laptop dan komputer yang canggih secara cuma-cuma,” kata dosen IAIN Madura itu.
Selain fasilitas tersebut, di madrasah itu juga dilengkapi jaringan WiFi. Layanan ini bebas diakses setiap waktu. Guru yang mengajar juga profesional di bidang informasi dan teknologi. Tersedianya smart TV di setiap ruang kelas menjadi daya tawar.
”Sebagai pelengkap performa santri, tersedia Interactive Flat Panel yang sangat mendukung pembelajaran di madrasah diniyah. Genset listrik dapat diakses setiap waktu sehingga hambatan pemadaman listrik dapat teratasi,” ujar pria yang pernah dianugerahi sebagai Tokoh Pendidikan Terpopuler Jawa Pos Radar Madura tersebut.
Pembelajaran dengan kurikulim berbasis teknologi tersebut membuahkan hasil. Saat ini sudah banyak karya yang dihasilkan oleh santri madrasah diniyah. Mulai pembuatan video pendek, power point, podcast, Al-Qur’an digital, dan photoshop. Semua karya tersebut telah secara apik ditampilkan dalam saluran YouTube madrasah.
Madrasah Diniyah IBS Padepokan Kiai Mudrikah telah melakukan transformasi kelembagaan. Madrasah diniyah ini berdiri pada 1975. Saat itu ayahanda KH Muchlis, yaitu KH Moh. Mahfudz bin Abd. Adzim menyelenggarakan pendidikan madrasah diniyah untuk putri dan keluarga dekat.
Madrasah diniyah ini diberi nama Raudhatul Athfal. Materi yang diberikan pada waktu itu sama dengan madrasah diniyah pada umumnya. Mulai dari fikih, akidah, tarikh, nahwu, dan sharaf. ”Satu hal yang unik dari pendidikan yang dijalankan oleh KH Moh. Mahfudz bin Abd. Adzim, semua santri harus menghafal semua isi materi atau kitab,” kenang Kiai Muchlis.
Di akhir pembelajaran, santri yang mampu menghafal semua materi atau kitab yang diajarkan akan mendapat hadiah. Hadiah itu berupa uang tunai ratusan ribu hingga jutaan rupiah. Metode menghafal yang dijalankan KH Moh. Mahfudz bin Abd. Adzim berkembang dengan program menghafal Al-Qur’an. Penghargaan berupa pemberian uang tunai juga masih menjadi tradisi yang terwariskan hingga kini.
Seiring berjalannya waktu, santri yang belajar semakin banyak. Hingga pada 2022 lahir madrasah diniyah takmiliyah wustho (MDTW) sebagai pendidikan lanjutan dari madrasah diniyah takmiliyah awaliyah (MDTA). ”Saat ini jumlah santri yang belajar tercatat 220 anak pada semua jenjang,” ungkapnya. (sin/luq)