21.4 C
Madura
Sunday, June 4, 2023

Di Ranjang Saja Terbuka, Kenapa di Luar Tidak?

PAMEKASAN – Diskusi di Pendapa Wabup Pamekasan pada Rabu malam (28/3) lebih ramai dari sebelum-sebelumnya. Selain materi yang dibicarakan menarik, narasumber yang dihadirkan juga bkal-blakan.

”Dalam keluarga itu dibutuhkan saling keterbukaan. Di ranjang saja saling terbuka, kenapa di luar tidak?”

Pernyataan perempuan berinisial LS itu mendadak membuat Pendapa Wabup Pamekasan menjadi riuh pada Rabu malam (28/3). Hadirin yang mayoritas muda-muda itu terbahak-bahak mendengar setiap pernyataan narasumber diskusi bertajuk Teka-Teki Pelakor itu.

Mereka yang duduk di kursi itu menyimak setiap curhatan perempuan yang dikhianati suaminya itu. Audiens pun geleng-geleng kapala karena dia menjadi korban perebut laki orang (pelakor). ”Suami saya direbut wanita lain,” tuturnya.

LS mengaku tahu sendiri pelakornya dibuktikan dengan beberapa foto saat mereka bersama. ”Mengetahui itu rasanya sangat perih bagaikan dijatuhi langit,” kata perempuan asal Pamekasan itu.

Bagi dia, kunci bahagia dalam keluarga itu harus saling terbuka. Jangan bermain umpet melakukan sesuatu tanpa sepengetahuan pasangan. Jika akan menikah lagi, kata dia, sebaiknya diungkapkan secara jujur.

Apalagi agama memang memperbolehkan suami menikah. ”Tapi kalau tidak terbuka dan tiba-tiba langsung nikah itu menyakitkan. Itu menurut saya tidak ubahnya dengan perselingkuhan,” ujar permepuan berjilbab tersebut.

Di tempat yang sama, Sosiolog Novi Chamelia menjelaskan, istilah pelakor diidentikkan dengan perempuan yang memicu keributan. Sebab, perempuan itu merebut suami orang. Istilah pelakor cenderung memiliki konotasi negatif.

Baca Juga :  Galang Bantuan Korban Tsunami, Akbar Gowes Surabaya-Banten

Istilah itu mengesankan bahwa pihak yang salah hanya si perempuan. ”Kalau menggunakan istilah pelakor seolah yang agresif, yang merebut, dan yang memaksa itu perempuannya,” ujar penulis buku puisi Fa tersebut.

Artinya, lanjut Novi, jika menyebut kata pelakor otomatis akan menyalahkan perempuan atas sebuah peristiwa perselingkuhan. Padahal, masalah itu terjadi karena peran kedua belah pihak. ”Yang menjalankan ikatan cinta suci itu kan si suami. Seharusnya dia juga tidak merespons jika ada pelakor. Jangan diladeni,” terangnya.

Sementara itu, Ketua Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perlindungan Perempuan & Anak (PPTP3A) Pamekasan Ummi Supraptiningsih mengaku sering mendapatkan aduan mengenai pelakor. Banyak pelapor mengadukan suaminya selingkuh dengan perempuan lain.

”Memang banyak wanita yang menjadi korban pelakor. Ada yang minta pendampingan khusus kepada saya,” kata dosen STAIN Pamekasan ini.

Perselingkuhan, kata dia, dipicu beberapa hal. Di antaranya, suami terkadang mengaku belum punya istri. Ada juga yang saling mengetahui jika sudah memiliki istri. ”Kasus yang pernah saya tangani suaminya mengaku belum punya istri. Padahal sudah punya,” terangnya.

Baca Juga :  Tidak Mudah Memvonis dan Memutus Mata Rantai Covid-19

Tidak jarang suami itu menikah lagi tanpa sepengetahuan istri pertama. Dia menyebut kelakuan suami yang seperti itu dengan istilah poligami liar. ”Suami yang menikah lagi tanpa izin istri yang sebelumnya masuk tindak pidana. Poligami liar dalam pasal 279 KUHP ancamannya 5 tahun. Tapi itu masuk delik aduan,” terangnya.

Poligami yang tidak liar diatur dalam undang-undang. Suami yang ingin poligami harus mengajukan permohonan ke Pengadilan Agama. Hal itu untuk mencegah nikah siri yang dilarang menurut undang-undang.

Perkawinan itu sah menurut UU 174 apabilka dilaksanakan menurut ketentuan agama dan dicatatkan. Pelaku nikah siri hanya sah menurut agama, namun pencatatan tidak dilakukan. Jika tidak dicatat ke KUA juga berdampak buruk terhadap di perempuan.

Perempuan yang dinikai secara siri tidak bisa menuntut hak sebagai istri. Anak yang lahir dari pasangan suami istri siri juga dianggap anak di luar nikah. Ketika sang ayah meninggal, anak itu bukan menjadi ahli warisnya.

”Poligami harus dicatatkan agar bisa melindungi hak-hak istri dan anak. Makanya harus saling terbuka. Meski pun saya yakin tidak ada perempuan yang ingin dipoligami,” jelasnya dalam diskusi Sivitas Kotheka yang dipandu Royyan Julian itu.

PAMEKASAN – Diskusi di Pendapa Wabup Pamekasan pada Rabu malam (28/3) lebih ramai dari sebelum-sebelumnya. Selain materi yang dibicarakan menarik, narasumber yang dihadirkan juga bkal-blakan.

”Dalam keluarga itu dibutuhkan saling keterbukaan. Di ranjang saja saling terbuka, kenapa di luar tidak?”

Pernyataan perempuan berinisial LS itu mendadak membuat Pendapa Wabup Pamekasan menjadi riuh pada Rabu malam (28/3). Hadirin yang mayoritas muda-muda itu terbahak-bahak mendengar setiap pernyataan narasumber diskusi bertajuk Teka-Teki Pelakor itu.


Mereka yang duduk di kursi itu menyimak setiap curhatan perempuan yang dikhianati suaminya itu. Audiens pun geleng-geleng kapala karena dia menjadi korban perebut laki orang (pelakor). ”Suami saya direbut wanita lain,” tuturnya.

LS mengaku tahu sendiri pelakornya dibuktikan dengan beberapa foto saat mereka bersama. ”Mengetahui itu rasanya sangat perih bagaikan dijatuhi langit,” kata perempuan asal Pamekasan itu.

Bagi dia, kunci bahagia dalam keluarga itu harus saling terbuka. Jangan bermain umpet melakukan sesuatu tanpa sepengetahuan pasangan. Jika akan menikah lagi, kata dia, sebaiknya diungkapkan secara jujur.

Apalagi agama memang memperbolehkan suami menikah. ”Tapi kalau tidak terbuka dan tiba-tiba langsung nikah itu menyakitkan. Itu menurut saya tidak ubahnya dengan perselingkuhan,” ujar permepuan berjilbab tersebut.

- Advertisement -

Di tempat yang sama, Sosiolog Novi Chamelia menjelaskan, istilah pelakor diidentikkan dengan perempuan yang memicu keributan. Sebab, perempuan itu merebut suami orang. Istilah pelakor cenderung memiliki konotasi negatif.

Baca Juga :  Zef Risal, Dosen Muda Sukses Pembudi Daya Kepiting di Tengah Kota

Istilah itu mengesankan bahwa pihak yang salah hanya si perempuan. ”Kalau menggunakan istilah pelakor seolah yang agresif, yang merebut, dan yang memaksa itu perempuannya,” ujar penulis buku puisi Fa tersebut.

Artinya, lanjut Novi, jika menyebut kata pelakor otomatis akan menyalahkan perempuan atas sebuah peristiwa perselingkuhan. Padahal, masalah itu terjadi karena peran kedua belah pihak. ”Yang menjalankan ikatan cinta suci itu kan si suami. Seharusnya dia juga tidak merespons jika ada pelakor. Jangan diladeni,” terangnya.

Sementara itu, Ketua Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perlindungan Perempuan & Anak (PPTP3A) Pamekasan Ummi Supraptiningsih mengaku sering mendapatkan aduan mengenai pelakor. Banyak pelapor mengadukan suaminya selingkuh dengan perempuan lain.

”Memang banyak wanita yang menjadi korban pelakor. Ada yang minta pendampingan khusus kepada saya,” kata dosen STAIN Pamekasan ini.

Perselingkuhan, kata dia, dipicu beberapa hal. Di antaranya, suami terkadang mengaku belum punya istri. Ada juga yang saling mengetahui jika sudah memiliki istri. ”Kasus yang pernah saya tangani suaminya mengaku belum punya istri. Padahal sudah punya,” terangnya.

Baca Juga :  Abu Rizal, Pemuda Sampang Peraih Malaysia Volunteer 2018

Tidak jarang suami itu menikah lagi tanpa sepengetahuan istri pertama. Dia menyebut kelakuan suami yang seperti itu dengan istilah poligami liar. ”Suami yang menikah lagi tanpa izin istri yang sebelumnya masuk tindak pidana. Poligami liar dalam pasal 279 KUHP ancamannya 5 tahun. Tapi itu masuk delik aduan,” terangnya.

Poligami yang tidak liar diatur dalam undang-undang. Suami yang ingin poligami harus mengajukan permohonan ke Pengadilan Agama. Hal itu untuk mencegah nikah siri yang dilarang menurut undang-undang.

Perkawinan itu sah menurut UU 174 apabilka dilaksanakan menurut ketentuan agama dan dicatatkan. Pelaku nikah siri hanya sah menurut agama, namun pencatatan tidak dilakukan. Jika tidak dicatat ke KUA juga berdampak buruk terhadap di perempuan.

Perempuan yang dinikai secara siri tidak bisa menuntut hak sebagai istri. Anak yang lahir dari pasangan suami istri siri juga dianggap anak di luar nikah. Ketika sang ayah meninggal, anak itu bukan menjadi ahli warisnya.

”Poligami harus dicatatkan agar bisa melindungi hak-hak istri dan anak. Makanya harus saling terbuka. Meski pun saya yakin tidak ada perempuan yang ingin dipoligami,” jelasnya dalam diskusi Sivitas Kotheka yang dipandu Royyan Julian itu.

Artikel Terkait

Most Read

Artikel Terbaru

/