Tembakau selalu menjadi tanaman primadona petani. Namun, petani selalu menanggung rugi. Sebab, biaya produksi lebih besar dari harga jual. Melon mulai dikembangkan sebagai tanaman alternatif.
ONGKY ARISTA UA., Pamekasan, Jawa Pos Radar Madura
LALU lintas Jalan Raya Talang Siring di Desa Artodung, Kecamatan Galis, Pamekasan, tidak begitu ramai sekitar pukul 11.00 kemarin (29/8). Hanya satu dua kendaraan melintas.
Siang itu, kru Jawa Pos Radar Madura (JPRM) melaju dari arah Kota Pamekasan. Sampai di pertigaan Masjid Nurul Yaqin, Desa Artodung, kru berbelok ke kanan. Masuk ke sebuah gapura. Bermodal petunjuk Google Map, kami masuk ke jalan pelosok Desa Artodung yang berkelok-kelok.
Mengikuti rute map, kami sampai di sebuah rumah. Di tempat itu kami memarkir sepeda motor. ”Parkir di situ,” kata salah seorang perempuan yang sedang mengangkut hasil panen bawang merah. ”Petik buahnya di sawah. Harus jalan kaki. Sepeda gak bisa masuk,” sambungnya.
Kami pun berjalan kaki ke arah barat. Memasuki areal persawahan tembakau dan bawang merah. Kemudian, berbelok ke selatan mengikuti pematang sawah. Nah, saat itulah sepetak tanah dengan luas sekitar 2.500 meter persegi mulai tampak di depan mata; penuh dengan buah melon.
Sampai di sana, kami disambut sang pemilik setelah memperkenalkan diri. Namanya Jamaludin. Pria 45 tahun ini penduduk lokal atau penduduk asli Desa Artodung. ”Ini lahan milik orang tua,” jelasnya.
Tak berselang lama, kru disuguhi irisan buah melon yang sudah dikupas. Sengaja disuguhkan ke seluruh pengunjung. Melon yang disuguhkan itu ada tiga varietas, sesuai dengan yang ditanam di lahan.
Mulai dari melon varietas Luna, Delmation, dan Ameria. Kami pun mencoba. Rasanya benar-benar manis. ”Pada 2018 dan 2019 saya jual ke supplier langsung. Namun, 2020 mulai ke arah wisata petik,” kata Jamal.
Jamal mengatakan, muncul inisiatif menanam melon karena melihat pertanian tembakau yang tidak menguntungkan petani. Menurut dia, harga tembakau tidak stabil, petani rugi tapi maksa nanam. ”Saya coba mengenalkan tanaman baru, buah melon,” katanya.
Pada 2018 dan 2019 Jamal menanam untuk percontohan dan pengenalan jenis tanaman selain tembakau. Tahun 2020 dan 2021 baru dikembangkan untuk wisata petik. ”Pengunjung petik sendiri. Kalau dikemas wisata, kita butuh tenaga kerja, menyerap tenaga kerja,” terangnya.
Pria yang berdomisili di Probolinggo Kota itu mengatakan, untuk 2021 ini, ada 1.800 pohon yang ditanam. Tiap pohon ada dua buah. Berat rata-rata per buah 1,5 kilogram. ”Harga per kilogramnya Rp 17 ribu kalau petik di sini,” terangnya.
Hitung-hitungan kasarnya, pendapatan kasar dari petik buah ini hingga Rp 91 juta. Sementara modal yang dikeluarkan hanya berkisar Rp 18 juta. Dengan begitu, ada selisih Rp 73 juta sebagai hasil.
”Kalau masuk ke supplier bisa berkisar Rp 12 sampai 13 ribu (per kilogram). Jadi ada kenaikan ketika dikemas wisata,” kata laki-laki lulusan Politeknik Pertanian Jember itu.
Jamal berharap, pertanian melon yang digarapnya bisa membuat petani move on dari tembakau. ”Karena setahu saya, petani tembakau selalu rugi, namun memaksakan bertani. Jadi untuk apa bertani jika bikin remuk kantong petani sendiri?” terangnya.
Dia menyebut, pertanian melon bisa digarap dan diharapkan petani. Baik dengan pasar langsung ke supplier atau dengan dikemas wisata petik. Selain pertanian ini mudah, juga bisa melibatkan banyak masyarakat dan bisa menyerap tenaga kerja.
”Kalau tembakau kan pasarnya ke gudang saja. Kalau melon atau buah kan bebas. Semoga saja petani bisa belajar dan beralih ke tanaman yang lebih menguntungkan, sehingga bisa sejahtera,” harap Jamal.