SUMENEP – Penghasilan guru tidak tetap (GTT) masih jauh dari cukup. Untuk menambah pundi-pundi penghasilan harus nyambi kerja lain. Kewajiban mengajar tetap tidak ditinggalkan.
Insentif guru yang tidak seberapa bukan menjadi alasan untuk berhenti mengajar. Pengabdian untuk turut bertanggung jawab mencerdaskan bangsa jauh lebih besar. Ada saja jalan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Butuh ketabahan untuk menjadi guru tidak tetap. Insentif bulanan hanya Rp 250 ribu. Uang itu tidak diterima tiap bulan. Sebab, pencairan dilakuan tiap satu semester sekali.
Demikian juga yang dijalani Mahfud. Pria kelahiran 9 Oktober 1978 itu mengabdi sebagai pendidik di SDN Masalima 1, Kecamatan Masalembu. Dia bergabung di sekolah ini sejak 2011 lalu.
Pria 39 tahun itu tidak seperti warga kebanyakan. Keterbatasan fisik tidak menjadi penghalang untuk menempuh pendidikan sejak kecil. Dulu dia menimba ilmu di SDN Masalima 5, lulus 1991.
Setelah itu melanjutkan ke SMPN 1 Masalembu hingga 1993. Lalu, dia berlayar menuju daratan Sumenep. Pencarian ilmu terus dilanjutkan. Dia masuk SMAN 2 Sumenep lulus 1998.
Selama sekolah di Jalan KH Wahid Hasyim ini, dia nyantri di Pondok Pesantren Raudlatul Thalibin, Kolor. Setelah itu, dia menuju Malang. Di sana dia kuliah di Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP), sekarang Universitas Negeri Malang.
Di kampus itu dia mengambil jurusan manajemen umum lulus 2002. Lalu ambil akta IV untuk bisa mengajar. Setelah kuliah, dia jaga warung internet (warnet) di Malang hingga 2006. Dari 2006 hingga 2010 dia buka usaha warnet sendiri di Kediri.
Di tahun yang sama dia pulang kampung. Setahun kemudian dia bergabung sebagai pendidik di SDN Masalima 1. Di sekolah ini dia memegang mata pelajaran pendidikan kewarganegaraan (Pkn) dan IPS. Dengan telaten dia mendidik anak-anak yang dipercayakan wali mereka kepada sekolah.
Sejak 2015 Mahfud memiliki aktivitas baru. Dia berpikir untuk menambah pendapatan. Sebab, dia menjadi tumpuan keluarga. Menanggung kebutuhan Siti Aisyah (ibu), Tipa (nenek), dan Kholifah Nurul Hidayah (keponakan). Siti Aisyah, 55, dan Tipa, 71, sama-sama janda.
Karena itu, pria lima bersaudara itu tidak ingin dapur tak mengepul. Namun, dia juga tidak ingin berhenti sebagai guru. Nah, dia pun berinisiatif agar dua-duanya sama-sama jalan. Sementara, pendapatan sebagai guru tidak seberapa.
Dia pun berinisiatif menjual es. Modalnya? Sebuah laptop miliknya dijual untuk modal awal. Uang hasil penjualan itu dibuat beli kulkas seharga Rp 3,5 juta. Selain itu, untuk membeli bahan sebesar Rp 200 ribu.
Tiap hari dia membawa 80–100 batang es ke sekolah tempat mengajar. Modal tiap hari Rp 30 ribu. Tiap batang dijual Rp 500. Es tersebut dibawa dalam boks agar tidak cair.
Senin (17/7) siswa SDN Masalima I berseliweran di halaman sekolah. Beberapa saat kemudian Mahfud muncul menenteng boks yang dibungkus plastik merah. Guru difabel ini setiap hari datang ke sekolah tak lepas dengan kegiatan sampingan sebagai penjual es.
”Lumayan setiap hari dapat keuntungan antara Rp 10–15 ribu. Murid banyak yang beli ketika jam istirahat. Saya kadang keliling ke depan-depan kelas membawa es,” tuturnya kepada Jawa Pos Radar Madura (JPRM) siang itu.
Saat koran ini berbincang-bincang di halaman sekolah tempat Mahfud ngajar, siswa-siswi berdatangan. Mereka membeli es sang guru. Suasana bagitu akrab ketika pembeli datang. Si pembeli bebas memilih warna bungkus es sesuai selera.
Apabila tidak ada pembeli datang, Mahfud akan keliling kelas. Berharap jualannya itu laku. Kadang laku semua dalam sehari. Kadang juga masih tersisa.
Setiap hari dia jalan kali untuk berangkat dari sekolah. Pulangnya juga demikian. Jarak rumah ke sekolah sekitar satu kilometer. Dia berada di sekolah pukul 07.00–13.00. Kadang juga dibonceng orang dengan kendaraan.
Sepulang ngajar dia menjaga warnet milik temannya. Aktivitas itu dilakukan pukul 13.30 hingga pukul 17.00. ”Kami bertekad untuk terus mencerdaskan kehidupan anak bangsa. Penghasilan kecil kendala bagi kami untuk mengabdi melalui pendidikan,” pungkasnya.