23.9 C
Madura
Sunday, April 2, 2023

Diskusi Politik ala Santri Maju Tak Gentar Membela yang Bayar

SUMENEP – Kehadiran santri di kancah politik awalnya diharapkan dapat mengubah situasi menjadi lebih baik. Namun, fakta yang terjadi justru sebaliknya. Meski beberapa daerah dipimpin santri, termasuk Sumenep, tetapi sistem pemerintahannya tetap jauh dari nilai-nilai kesantrian.

Acara Ludruk Santri bertajuk Menertawakan Diri Sendiri di Akhir Tahun memasuki hari ketiga. Kegiatan yang diprakarsai oleh Jawa Pos Radar Madura (JPRM), Kancakona Kopi (KKK), dan Ikatan Alumni Annuqayah (IAA) Jumat (28/12) diisi diskusi politik ala santri.

Diskusi tersebut bertajuk Maju Tak Gentar, Membela yang Bayar. Diskusi ini dipandu wartawan JPRM Imam S. Arizal. Hadir sebagai narasumber, dosen dan pakar politik Universitas Gadjah Mada (UGM) Jogjakarta Abdul Gaffar Karim dan Ketua PC NU Sumenep KH Pandji Taufik. Acara ini diikuti para kiai, guru, santri, aktivis pemuda, dan mahasiswa.

Dalam makalahnya, Pandji menyampaikan fenomena membela yang bayar sudah menjadi rahasia umum. Ada yang mengetahui dan merasakan fenomena tersebut. Tapi ada juga yang hanya mengetahui dan tidak merasakan.

Banyak pihak yang terlibat dalam praktik politik uang ini. Baik politisi yang tidak berlatar santri, atau bahkan yang berlatar santri sekalipun. Di Sumenep, fenomena tersebut juga terjadi.

Maka tak heran manakala meskipun Sumenep dipimpin oleh santri, baik di eksekutif maupun legislatif, tetap saja tidak ada perubahan signifikan. ”Harapan masyarakat adalah terwujudnya birokrasi yang sehat dan melayani. Tapi faktanya birokrasi masih feodalistis dan kapitalistis,” kata pria asal Kecamatan Guluk-Guluk itu.

Sistem pemerintahan di Sumenep, menurut dia, masih anomali. Misalnya, Sumenep disebut-sebut sebagai kota santri, tetapi perilaku para pejabatnya tidak mengedepankan nilai-nilai kesantrian. Padahal sejak Reformasi bergulir, Sumenep senantiasa dipimpin oleh kaum santri.

Baca Juga :  Pelajaran dari Marsuki, Semangat Kerja meski dengan Kaki Palsu

”Kesenjangan antara elite dan akar rumput masih saja terjadi. Inilah yang saya kira menjadi tanggung jawab kita bersama untuk memperbaikinya,” tegasnya.

Sementara itu, Abdul Gaffar Karim lebih bicara kepada ranah politik yang bersifat teoritis. Menurut dia, politik itu sebenarnya soal pertukaran. Masyarakat memberikan dukungan kepada elite politik lalu mereka memperoleh sesuatu dari yang didukung.

”Dan sesuatu itu sangat ditentukan oleh ideologi kekuatan politik. Ideologinya apa, itu menentukan apa yang diberikan kepada mayarakat,” paparnya.

Sayangnya di Indonesia ideologi politik tidak jelas. Karena itu, siapa pun yang memimpin tidak akan memberikan dampak pembeda antara satu sama lain. Pemimpin tetap akan melakukan program sesuai dengan kepentingan para pemilik kapital.

”Sekarang saya tanya, Bapak-Ibu bayangkan tidak apa bedanya antara Jokowi yang menang dengan Prabowo yang menang setelah 2019? Apa beda yang konkret? Itu jawabannya pasti panjang dan tidak jelas. Karena memang tidak ada bedanya Jokowi dan Prabowo,” imbuhnya.

”Misalnya, pada 2014 Prabowo yang menang, kira-kira dia juga akan membangun infrastruktur seperti yang dilakukan Jokowi. Bukan karena dia mencintai rakyat Indonesia. Tapi karena ada tekanan sangat besar dari raksasa otomotif yang melihat Indonesia ini kok lesu penjualan mobil. Dan alasannya selalu karena jalan raya kurang,” tegasnya.

Menjadi presiden itu tidaklah murah. Butuh uang belasan hingga puluhan triliun rupiah. Uang sebesar itu tidak mungkin dipenuhi oleh kantong pribadi. Karena itu, para calon presiden mendapatkannya dari para sponsor.

”Tidak peduli apakah orang itu setengah tuhan seperti Prabowo atau setengah dewa seperti Jokowi. Kan begitu yang dikesankan oleh kedua pendukung itu. Seolah tidak ada salahnya antara Prabowo dan Jokowi. Padahal dua-duanya hanya politisi yang sedang ingin berkuasa,” papar pria asal Sumenep itu.

Baca Juga :  Berbincang tentang Wayang Kulit Pamekasan dengan Ki Sudirman

Negara-negara luar, seperti Australia sangat jelas ideologi politiknya. Kalau partai buruh yang menang, maka partai buruh cenderung akan menaikkan pajak. Karena pajak diperlukan oleh negara untuk mengurusi banyak sekali aspek-aspek kesejahteraan. Sebab kalau pajak naik, biaya sekolah akan lebih murah bahkan gratis.

Tapi kalau partai liberal yang menang, harga kopi akan turun. Karena negara tidak mau mengambil banyak pajak dari masyarakat. Tujuannya, agar masyarakat punya uang lebih banyak, harga barang lebih murah, dan belanja lebih banyak.

”Kalau masyarakat belanja lebih banyak, ekonomi bergerak. Jadi jelas sekali perbedaan ideologisnya,” urainya. ”Di kita, perbedaan ideologis tidak jelas. Karena perbedaan ideologis itu tidak jelas, maka turunan program-programnya juga tidak jelas. Politisi kita itu tidak konkret programnya,” tegasnya.

Karena tidak ada kejelasan ideologi, maka politik Indonesia bersifat transaksional. Setiap hal dalam politik nyaris berakhir dengan negosiasi. Keputusan politik juga masih negosiasi yang bersifat jangka pendek.

Pada saat yang sama masyarakat Indonesia masih bersifat prabayar. Mereka akan memilih elite partai tertentu jika dibayar. Timbal balik yang diminta masyarakat bukan dalam bentuk kebijakan atau program pemerintah, tapi lebih pada seberapa besar dia dapatkan sebelum pemilihan.

”Bahwa yang namanya wani piro itu bukan karena kesalahan para politisi kita semata-mata. Karena di banyak kasus yang namanya money politics diminta oleh masyarakat. Kita tidak berniat memberi, masyarakat minta. Bikin proposal malah,” tukasnya.

SUMENEP – Kehadiran santri di kancah politik awalnya diharapkan dapat mengubah situasi menjadi lebih baik. Namun, fakta yang terjadi justru sebaliknya. Meski beberapa daerah dipimpin santri, termasuk Sumenep, tetapi sistem pemerintahannya tetap jauh dari nilai-nilai kesantrian.

Acara Ludruk Santri bertajuk Menertawakan Diri Sendiri di Akhir Tahun memasuki hari ketiga. Kegiatan yang diprakarsai oleh Jawa Pos Radar Madura (JPRM), Kancakona Kopi (KKK), dan Ikatan Alumni Annuqayah (IAA) Jumat (28/12) diisi diskusi politik ala santri.

Diskusi tersebut bertajuk Maju Tak Gentar, Membela yang Bayar. Diskusi ini dipandu wartawan JPRM Imam S. Arizal. Hadir sebagai narasumber, dosen dan pakar politik Universitas Gadjah Mada (UGM) Jogjakarta Abdul Gaffar Karim dan Ketua PC NU Sumenep KH Pandji Taufik. Acara ini diikuti para kiai, guru, santri, aktivis pemuda, dan mahasiswa.


Dalam makalahnya, Pandji menyampaikan fenomena membela yang bayar sudah menjadi rahasia umum. Ada yang mengetahui dan merasakan fenomena tersebut. Tapi ada juga yang hanya mengetahui dan tidak merasakan.

Banyak pihak yang terlibat dalam praktik politik uang ini. Baik politisi yang tidak berlatar santri, atau bahkan yang berlatar santri sekalipun. Di Sumenep, fenomena tersebut juga terjadi.

Maka tak heran manakala meskipun Sumenep dipimpin oleh santri, baik di eksekutif maupun legislatif, tetap saja tidak ada perubahan signifikan. ”Harapan masyarakat adalah terwujudnya birokrasi yang sehat dan melayani. Tapi faktanya birokrasi masih feodalistis dan kapitalistis,” kata pria asal Kecamatan Guluk-Guluk itu.

Sistem pemerintahan di Sumenep, menurut dia, masih anomali. Misalnya, Sumenep disebut-sebut sebagai kota santri, tetapi perilaku para pejabatnya tidak mengedepankan nilai-nilai kesantrian. Padahal sejak Reformasi bergulir, Sumenep senantiasa dipimpin oleh kaum santri.

Baca Juga :  Budi Dayakan Rumput Laut, Sekali Panen Omzet Capai Rp 36 Juta
- Advertisement -

”Kesenjangan antara elite dan akar rumput masih saja terjadi. Inilah yang saya kira menjadi tanggung jawab kita bersama untuk memperbaikinya,” tegasnya.

Sementara itu, Abdul Gaffar Karim lebih bicara kepada ranah politik yang bersifat teoritis. Menurut dia, politik itu sebenarnya soal pertukaran. Masyarakat memberikan dukungan kepada elite politik lalu mereka memperoleh sesuatu dari yang didukung.

”Dan sesuatu itu sangat ditentukan oleh ideologi kekuatan politik. Ideologinya apa, itu menentukan apa yang diberikan kepada mayarakat,” paparnya.

Sayangnya di Indonesia ideologi politik tidak jelas. Karena itu, siapa pun yang memimpin tidak akan memberikan dampak pembeda antara satu sama lain. Pemimpin tetap akan melakukan program sesuai dengan kepentingan para pemilik kapital.

”Sekarang saya tanya, Bapak-Ibu bayangkan tidak apa bedanya antara Jokowi yang menang dengan Prabowo yang menang setelah 2019? Apa beda yang konkret? Itu jawabannya pasti panjang dan tidak jelas. Karena memang tidak ada bedanya Jokowi dan Prabowo,” imbuhnya.

”Misalnya, pada 2014 Prabowo yang menang, kira-kira dia juga akan membangun infrastruktur seperti yang dilakukan Jokowi. Bukan karena dia mencintai rakyat Indonesia. Tapi karena ada tekanan sangat besar dari raksasa otomotif yang melihat Indonesia ini kok lesu penjualan mobil. Dan alasannya selalu karena jalan raya kurang,” tegasnya.

Menjadi presiden itu tidaklah murah. Butuh uang belasan hingga puluhan triliun rupiah. Uang sebesar itu tidak mungkin dipenuhi oleh kantong pribadi. Karena itu, para calon presiden mendapatkannya dari para sponsor.

”Tidak peduli apakah orang itu setengah tuhan seperti Prabowo atau setengah dewa seperti Jokowi. Kan begitu yang dikesankan oleh kedua pendukung itu. Seolah tidak ada salahnya antara Prabowo dan Jokowi. Padahal dua-duanya hanya politisi yang sedang ingin berkuasa,” papar pria asal Sumenep itu.

Baca Juga :  Pendidikan Mampu Mengubah Keadaan

Negara-negara luar, seperti Australia sangat jelas ideologi politiknya. Kalau partai buruh yang menang, maka partai buruh cenderung akan menaikkan pajak. Karena pajak diperlukan oleh negara untuk mengurusi banyak sekali aspek-aspek kesejahteraan. Sebab kalau pajak naik, biaya sekolah akan lebih murah bahkan gratis.

Tapi kalau partai liberal yang menang, harga kopi akan turun. Karena negara tidak mau mengambil banyak pajak dari masyarakat. Tujuannya, agar masyarakat punya uang lebih banyak, harga barang lebih murah, dan belanja lebih banyak.

”Kalau masyarakat belanja lebih banyak, ekonomi bergerak. Jadi jelas sekali perbedaan ideologisnya,” urainya. ”Di kita, perbedaan ideologis tidak jelas. Karena perbedaan ideologis itu tidak jelas, maka turunan program-programnya juga tidak jelas. Politisi kita itu tidak konkret programnya,” tegasnya.

Karena tidak ada kejelasan ideologi, maka politik Indonesia bersifat transaksional. Setiap hal dalam politik nyaris berakhir dengan negosiasi. Keputusan politik juga masih negosiasi yang bersifat jangka pendek.

Pada saat yang sama masyarakat Indonesia masih bersifat prabayar. Mereka akan memilih elite partai tertentu jika dibayar. Timbal balik yang diminta masyarakat bukan dalam bentuk kebijakan atau program pemerintah, tapi lebih pada seberapa besar dia dapatkan sebelum pemilihan.

”Bahwa yang namanya wani piro itu bukan karena kesalahan para politisi kita semata-mata. Karena di banyak kasus yang namanya money politics diminta oleh masyarakat. Kita tidak berniat memberi, masyarakat minta. Bikin proposal malah,” tukasnya.

Artikel Terkait

Most Read

Artikel Terbaru

/