SUMENEP – Madrasah Diniyah (MD) Mambaul Ulum berdiri pada era 1980-an. Selama puluhan tahun, lembaga tersebut menjadi pusat pendidikan keagamaan untuk generasi muda di Sumenep barat tersebut.
MD Mambaul Ulum berlokasi di Karang Anyar, Desa/Kecamatan Ganding, Sumenep. Lembaga pendidikan agama itu didirikan pada 1981. Awalnya hanya tempat anak-anak belajar Al-Qur’an. ”Pendirian MD atas dasar keinginan tokoh masyarakat,” ujar Kepala MD Mambaul Ulum Abd. Wafi kepada Jawa Pos Radar Madura (28/3).
Pendirian MD Mambaul Ulum bertujuan memberikan layanan pendidikan representatif kepada peserta didik. Dengan didukung oleh sarana dan prasarana, motivasi belajar mereka diharapkan makin tinggi. ”Selain itu, diharapkan terdaftar di Kemenag,” ucapnya.
Dia menjelaskan, di Mambaul Ulum ada tiga jenjang. Yaitu, tingkat ula, wustha, dan ulya. Total santri sekitar 150 orang. Siswa tersebut diasramakan agar lebih maksimal dan fokus belajar pendidikan keagamaan. ”Tapi, ruang belajarnya masih nebeng ke madrasah formal, tidak punya sendiri,” ujarnya.
Santri tidak dikenakan biaya. Bahkan, biaya hidup mereka selama belajar di lembaga pendidikan tersebut ditanggung pihak yayasan. ”Jadi, gratis tidak ada SPP dan biaya makan selama ada di asrama ditanggung pengasuh,” jelas Abd. Wafi.
Dia menjelaskan, pada awal MD Mambaul Ulum berdiri, pendidik hanya enam orang. Namun, saat ini sudah berjumlah 20 orang. Para pendidik tersebut tercatat sebagai alumni MD Mambaul Ulum. ”Mereka yang ngajar adalah alumni sehingga tanpa dibayar pun mereka tetap semangat,” tuturnya.
Pelajaran unggulan yang diterapkan di madrasah tersebut yaitu cara cepat membaca kitab kuning dengan metode nubdzatul bayan. Targetnya, mereka bisa membaca dan mengartikan kitab sesuai kaidah-kaidah nahwu dan sharraf. ”Bahkan, mereka ditargetkan mampu memberi pemahaman secara tekstual dan kontekstual,” ucapnya.
Dia menjelaskan, siswa tingkat ula rata-rata masih duduk di jenjang madrasah ibtidaiyah (MI) kelas I dan II MTs. Jenjang wustha didominasi siswa kelas III MTs dan kelas I madrasah aliyah (MA). Adapun ulya terdiri atas siswa kelas III aliyah.
”Di tingkat ula, fokus belajar menulis. Untuk siswa tingkat wustha dan ulya yaitu praktik membaca kitab dan memahaminya,” ujarnya.
Untuk materi akselerasi baca kitab, ada tambahan belajar di luar kelas. Yaitu, setiap pukul 05.30–6.30. Kemudian, malam harinya dilakukan setelah kajian kitab. Dengan motode tersebut, banyak peserta didik yang berprestasi, baik tingkat kecamatan, kabupatan, provinsi, maupun nasional
”Alhamdulillah, di semua tingkatan pernah menjuarai. Bukan hanya kitab, melainkan juga lomba tartil Al-Qur’an sering meraih juara,” pungkasnya. (sin/han)