21.2 C
Madura
Tuesday, June 6, 2023

BH. Riyanto, Guru Seni yang Menggeluti Dunia Literasi

Berkarya tidak mengenal usia. Tidak mengenal rupa. Tidak pula korona. Seperti BH. Riyanto yang merampungkan buku puisi di masa pandemi.

PRENGKI WIRANANDA, Pamekasan, RadarMadura.id

KICAUAN burung memecah sunyi Desa Kaduara Barat, Kecamatan Larangan, kemarin (27/4). Dedaunan melambai gontai mengikuti arah angin. Sementara pria bertopi jenis flat cap terlihat sibuk di gazebo.

Pria itu menimang sejumlah buku. Sesekali dia membubuhkan tanda tangan di halaman pertama. Lukisan berdiri tegak di sekitar pria berbaju kotak dan mengenakan sarung itu.

Pria itu BH. Riyanto. Guru seni dan budaya di SMAN 1 Pademawu. Ratusan karya lukis lahir dari tangan dinginnya. Beberapa oretan pena terbit di harian Jawa Pos Radar Madura (JPRM).

Darah seni mengalir deras di nadinya. BH. Riyanto tidak puas hanya dengan karya lukis. Dia juga menggeluti literasi. Lahir sejumlah buku antologi puasi. Di antaranya, Pesan Pendek dari Tuhan, Hujan, dan La’ang.

Judul buku terakhir itu sebenarnya ditulis sejak setahun lalu. Tapi, rampung dan dicetak tahun ini. Pada masa pandemi. Beberapa judul puisi di dalamnya cocok dibaca pada masa Ramadan. Salah satunya puisi berjudul Pulang dan Kampung.

Baca Juga :  Cemilan Bergizi Jaga Pikiran Positif dan Daya Tahan Tubuh

Pria yang biasa disapa Budi itu mengatakan, berkarya tidak mengenal usia. Tidak mengenal status pekerjaan, juga tidak mengenal kasta. Siapa pun yang memiliki keinginan dan semangat pasti bisa berkarya.

Berkarya tidak ada ruginya. Namanya akan abadi dan dikenang sepanjang masa. Guru seni dan budaya itu mengajak seluruh generasi muda memanfaatkan waktu dengan baik untuk belajar dan berkarya.

”Seperti kata orang bijak terdahulu, jika kamu bukan anak presiden, tapi ingin dikenang, maka menulislah. Dengan menulis, namamu akan abadi dan dikenang sepanjang masa,” kata pria murah senyum itu.

BH. Riyanto mengaku akan selalu berkarya. Selama napas masih berembus, dia akan terus menulis dan melukis. ”Masih ada empat buku puisi, saya akan terus berkarya,” katanya.

Karya guru seni dan budaya itu mendapat apresiasi dari banyak penulis. Cerpenis Muna Masyari mengapresiasi buku La’ang yang baru lahir itu. Menurut dia, membaca buku puisi tersebut seperti membuka album foto.

Baca Juga :  Usia Tiga Tahun Tertarik Rima Surah Al-Ikhlas

Ada kenangan membingkai potret masa lalu, juga wajah-wajah Madura. Diksi yang dimuat dalam buku juga sangat indah. ”Diksi-diksinya mengalir tenang seperti jatuhnya gerimis,” katanya.

Hidayat Raharja, penyair sekaligus guru biologi SMAN 1 Sumenep juga mengapresiasi sehimpun puisi itu. Puisi yang dimuat dalam buku tersebut bisa menjadi cermin kehidupan sehari-hari. Pilihan kata-katanya sederhana.

Seperti menu makan harian, ringan namun memberikan manfaat dalam metabolisme sastra. Kesederhanaan menyimpan gizi yang memberikan energi untuk menggerakkan aktivitas kehidupan.

”Puisi sederhana yang bermakna dan cerminan permasalahan kehidupan yang tak sederhana. Juga kesederhanaan yang memikul kerendahan hati untuk memberikan makna yang berarti,” katanya mengomentari buku La’ang.

Tapi jangan pernah kau bayangkan serupa apa wajah

kakekmu. Kau sebut saja namanya, maka sejukkah

hatimu. Karena wajah keramatnya pun tak pernah

terekam kamera tukang foto masa itu (Pulang, 40).

Berkarya tidak mengenal usia. Tidak mengenal rupa. Tidak pula korona. Seperti BH. Riyanto yang merampungkan buku puisi di masa pandemi.

PRENGKI WIRANANDA, Pamekasan, RadarMadura.id

KICAUAN burung memecah sunyi Desa Kaduara Barat, Kecamatan Larangan, kemarin (27/4). Dedaunan melambai gontai mengikuti arah angin. Sementara pria bertopi jenis flat cap terlihat sibuk di gazebo.


Pria itu menimang sejumlah buku. Sesekali dia membubuhkan tanda tangan di halaman pertama. Lukisan berdiri tegak di sekitar pria berbaju kotak dan mengenakan sarung itu.

Pria itu BH. Riyanto. Guru seni dan budaya di SMAN 1 Pademawu. Ratusan karya lukis lahir dari tangan dinginnya. Beberapa oretan pena terbit di harian Jawa Pos Radar Madura (JPRM).

Darah seni mengalir deras di nadinya. BH. Riyanto tidak puas hanya dengan karya lukis. Dia juga menggeluti literasi. Lahir sejumlah buku antologi puasi. Di antaranya, Pesan Pendek dari Tuhan, Hujan, dan La’ang.

Judul buku terakhir itu sebenarnya ditulis sejak setahun lalu. Tapi, rampung dan dicetak tahun ini. Pada masa pandemi. Beberapa judul puisi di dalamnya cocok dibaca pada masa Ramadan. Salah satunya puisi berjudul Pulang dan Kampung.

- Advertisement -
Baca Juga :  Usia Tiga Tahun Tertarik Rima Surah Al-Ikhlas

Pria yang biasa disapa Budi itu mengatakan, berkarya tidak mengenal usia. Tidak mengenal status pekerjaan, juga tidak mengenal kasta. Siapa pun yang memiliki keinginan dan semangat pasti bisa berkarya.

Berkarya tidak ada ruginya. Namanya akan abadi dan dikenang sepanjang masa. Guru seni dan budaya itu mengajak seluruh generasi muda memanfaatkan waktu dengan baik untuk belajar dan berkarya.

”Seperti kata orang bijak terdahulu, jika kamu bukan anak presiden, tapi ingin dikenang, maka menulislah. Dengan menulis, namamu akan abadi dan dikenang sepanjang masa,” kata pria murah senyum itu.

BH. Riyanto mengaku akan selalu berkarya. Selama napas masih berembus, dia akan terus menulis dan melukis. ”Masih ada empat buku puisi, saya akan terus berkarya,” katanya.

Karya guru seni dan budaya itu mendapat apresiasi dari banyak penulis. Cerpenis Muna Masyari mengapresiasi buku La’ang yang baru lahir itu. Menurut dia, membaca buku puisi tersebut seperti membuka album foto.

Baca Juga :  Lulusan Berkualitas, 30 Alumni Diterima Jadi PNS

Ada kenangan membingkai potret masa lalu, juga wajah-wajah Madura. Diksi yang dimuat dalam buku juga sangat indah. ”Diksi-diksinya mengalir tenang seperti jatuhnya gerimis,” katanya.

Hidayat Raharja, penyair sekaligus guru biologi SMAN 1 Sumenep juga mengapresiasi sehimpun puisi itu. Puisi yang dimuat dalam buku tersebut bisa menjadi cermin kehidupan sehari-hari. Pilihan kata-katanya sederhana.

Seperti menu makan harian, ringan namun memberikan manfaat dalam metabolisme sastra. Kesederhanaan menyimpan gizi yang memberikan energi untuk menggerakkan aktivitas kehidupan.

”Puisi sederhana yang bermakna dan cerminan permasalahan kehidupan yang tak sederhana. Juga kesederhanaan yang memikul kerendahan hati untuk memberikan makna yang berarti,” katanya mengomentari buku La’ang.

Tapi jangan pernah kau bayangkan serupa apa wajah

kakekmu. Kau sebut saja namanya, maka sejukkah

hatimu. Karena wajah keramatnya pun tak pernah

terekam kamera tukang foto masa itu (Pulang, 40).

Artikel Terkait

Most Read

Artikel Terbaru

/