25.3 C
Madura
Wednesday, March 22, 2023

Arham Kenalkan Kekayaan Musik Gamelan Kontemporer di Madura

BANGKALAN – Sabtu malam (24/11) tempat tongkrongan seperti di Taman Paseban, Bangkalan, ramai. Ada pertunjukan di situ. Pekan Kesenian Bangkalan menghadirkan sejumlah pertunjukan. Mulai musik, teater, seni rupa, hingga tari.

Ada satu penampilan yang berbeda dari penampilan-penampilan sebelumnya. Yakni, musik gamelan. Tapi, tidak seperti yang terdengar biasanya. Bagi yang awam tentang seni musik, jelas kebingungan dengan gamelan aliran ini.

Ketukan musisi memainkan alat musik tradisional berbeda dengan gamelan Madura. Para penabuh terkesan meraba-raba bunyi yang dimainkan. Layaknya sedang tes suara, bisa dibilang seperti itu.

Sampai-sampai terdengar celetukan salah satu penonton: ”ini latihan atau lagi pentas”. Tabuhannya tak seperti musik gamelan yang mengiringi pertunjukan ketoprak ataupun kejung.

Meski begitu, tak sedikit penonton yang bertahan menyaksikan. Kemungkinannya ada tiga. Penonton paham dan menikmati musiknya. Bisa jadi penasaran karena bingung dengan pertunjukannya. Atau mungkin, tak ada hiburan lain di malam minggu.

Termasuk saya dan Koordinator Liputan (Korlip) Jawa Pos Radar Madura Lukman Hakim AG yang saat itu ikut menyaksikan. Sama-sama bingung. Maklum, kami awam dalam hal seni musik.

”Saya baru dengar musik gamelan kontemporer seperti ini,” celetuk saya pada Korlip. Lukman merespons tawa berbisik. ”Coba nanti kamu tanyakan ini jenis musik apa. Apa yang disampaikan dalam musiknya,” kata Lukman. Rupanya sama-sama kebingungan. Tapi, kami tetap menikmati pertunjukan.

Inilah musik kontemporer yang dikenalkan Arham. Dia komponis muda lulusan Institut Kesenian Jakarta. Paduan gamelan dan musik elektro yang membuat berbeda. Seniman musik bernama lengkap M. Arham Aryadi itu membawakan enam karya. Di antaranya hutan dan hujan, gong movement I-III, kesurupan, spectrum, dan retrieve/ambil kembali.

Satu lagi karyanya yang dibawakan: Prangko Madura. Sebuah karya yang terinspirasi dari perjalanan komponis ketika melakukan riset gamelan yang berumur 300 tahun di Madura. Gamelan Ki Elianto dari Pesisir Candi, Desa Talang Siring, Pamekasan.

Baca Juga :  Tiga Bulan Rizal Terbaring Lemah karena Kanker Tulang

”Kebetulan kenal sama teman dari Madura. Belum pernah tampil di Madura sebelumnya,” kata komponis yang juga Direktur Indonesian Contemporary Gamelan Ensemble (ICGE) itu.

Komisi karya komposisi musik yang dia peroleh di antaranya, Ensemble Modern Jerman, Ensemble Multilaterale Prancis, Quatuor Bozzini Kanada, Ensemble Studio C, dan Ensemble Gamelan UiTM Malaysia. Kemudian, HKU Gamelan University Hong Kong, dan Hong Kong New Music Ensemble.

Pengalaman konsernya juga sudah banyak. Di antaranya di Seri Komposer Malaysia ke-5 di KLPAC, Yogyakarta Contemporary Music Festival, di Institut Kesenian Jakarta, serta banyak lagi. Terakhir pentas di Madura. Pertama konser di Vihara Avalokitesvara, Jalan Teja, Candi Utara, Polagan, Galis, Kabupaten Pamekasan pada 22 November dan di Taman Paseban, Bangkalan.

Diakui, gaya musiknya berbeda dengan gamelan biasanya. Keluar dari pakem. Membuat notasi sendiri. Bermain dengan imajinasi. ”Kami belum tahu ini musik jenis apa. Kami sebut musik baru, kontemporer. Ini ekspresi saja. Tidak menggunakan pakem-pakem siapa-siapa,” katanya.

Komposisi musik gamelan ini merupakan hasil penelitian Arham tentang timbre dan spectrum pada gamelan. Meski masih musik baru, penonton terutama seniman di Bangkalan cukup antusias menyaksikan. Terlebih pada musik bertema retrieve/ambil kembali. Di beberapa bagian, sejumlah musisi masing-masing membawa satu bonang (alat musik gamelan) berkeliling Taman Paseban.

”Tung, tung, tung”, bunyinya saling bersahutan. Usai keliling, bonang yang dibawa dikembalikan lagi ke tempat semula. ”Artinya semua akan kembali,” terang Arham.

Selain sebagai kegiatan berkesenian, pertunjukan yang disajikannya saat itu juga sebagai bentuk pengenalan musik baru kepada masyarakat. Khususnya di Madura. Tampil di Madura, Arham mengaku mendapat sokongan dari Yayasan Kelola. Lembaga nirlaba yang memberikan kontribusi kepada dunia seni di Indonesia.

”Terima kasih untuk masyarakat Madura yang sudah berkenan menyaksikan pertunjukan kami. Antusias masyarakat luar biasa. Bisa sebanyak itu. Apalagi di ruang terbuka,” ujar komponis yang ikut serta mendirikan Indonesian National Orchestra (INO) bersama Franki Raden itu.

Baca Juga :  Nawardi Siap Kawal Syaikhona Muhammad Kholil

Direktur Yayasan Kelola Gita Hastarika menyebutkan, pertunjukan keliling yang dilakukan Arham merupakan program hibah seni. Program tersebut ditujukan pada seni pertunjukan musik, tari, dan teater. Hibah seni diberikan pada karya inovatif dan pentas keliling.

Di Madura, lanjutnya, ada Anwari. Seniman teater Padepokan Seni Madura yang pernah dua kali mendapat hibah seni dari Yayasan Kelola. Mendapat hibah ditentukan dari penilaian juri. Ada lima juri di luar Yayasan Kelola yang melakukan penilaian.

”Arham pilih Madura, saya sangat setuju. Karena saya sendiri belum tahu Madura itu seperti apa sebelumnya,” tuturnya saat bincang santai di dekat kolam Taman Paseban.

Sementara itu, Seniman Bangkalan Sudarsono mengapresiasi Arham yang mau tampil dengan musik baru di Madura. Menurutnya, maklum masyarakat masih banyak bertanya musik yang dibawakan ICGE. Namun itulah tahap pencarian bentuk bunyi yang dilakukan Arham.

”Dulu saya juga pernah melakukan seperti yang dilakukan Mas Arham. Memang kontroversial karena keluar dari pakem, sekehendak hati,” kata Pembina Sanggar Tarara Bangkalan itu.

”Tobuk nase’ pote nase’ jagung, terro se laen,” ucapnya. Baginya, pertunjukan yang disajikan Arham merupakan bagian dari ekspresi. ”Dia menikmati, tapi orang lain belum tentu memahami,” ujarnya.

Di Madura, kata Sudarsono, masyarakat belum paham betul pada bentuk musik khas Madura. Apalagi memahami bentuk baru yang disajikan. Kehadiran musik kontemporer bertolak dengan pemahaman masyarakat tentang musik.

Memang masih tabu untuk bisa diterima langsung masyarakat di Madura. Namun baginya ini merupakan hal baru yang perlu diapresiasi. Sebab, sudah mengenalkan kekayaan musik kepada masyarakat Pulau Garam.

Sebagai catatan, untuk mengembangkan musik kontemporer, menurutnya Madura masih butuh waktu. ”Tugas kita sebagai seniman musik di Madura mengenalkan bentuk musik khas Madura kepada khalayak,” ujarnya.

BANGKALAN – Sabtu malam (24/11) tempat tongkrongan seperti di Taman Paseban, Bangkalan, ramai. Ada pertunjukan di situ. Pekan Kesenian Bangkalan menghadirkan sejumlah pertunjukan. Mulai musik, teater, seni rupa, hingga tari.

Ada satu penampilan yang berbeda dari penampilan-penampilan sebelumnya. Yakni, musik gamelan. Tapi, tidak seperti yang terdengar biasanya. Bagi yang awam tentang seni musik, jelas kebingungan dengan gamelan aliran ini.

Ketukan musisi memainkan alat musik tradisional berbeda dengan gamelan Madura. Para penabuh terkesan meraba-raba bunyi yang dimainkan. Layaknya sedang tes suara, bisa dibilang seperti itu.


Sampai-sampai terdengar celetukan salah satu penonton: ”ini latihan atau lagi pentas”. Tabuhannya tak seperti musik gamelan yang mengiringi pertunjukan ketoprak ataupun kejung.

Meski begitu, tak sedikit penonton yang bertahan menyaksikan. Kemungkinannya ada tiga. Penonton paham dan menikmati musiknya. Bisa jadi penasaran karena bingung dengan pertunjukannya. Atau mungkin, tak ada hiburan lain di malam minggu.

Termasuk saya dan Koordinator Liputan (Korlip) Jawa Pos Radar Madura Lukman Hakim AG yang saat itu ikut menyaksikan. Sama-sama bingung. Maklum, kami awam dalam hal seni musik.

”Saya baru dengar musik gamelan kontemporer seperti ini,” celetuk saya pada Korlip. Lukman merespons tawa berbisik. ”Coba nanti kamu tanyakan ini jenis musik apa. Apa yang disampaikan dalam musiknya,” kata Lukman. Rupanya sama-sama kebingungan. Tapi, kami tetap menikmati pertunjukan.

- Advertisement -

Inilah musik kontemporer yang dikenalkan Arham. Dia komponis muda lulusan Institut Kesenian Jakarta. Paduan gamelan dan musik elektro yang membuat berbeda. Seniman musik bernama lengkap M. Arham Aryadi itu membawakan enam karya. Di antaranya hutan dan hujan, gong movement I-III, kesurupan, spectrum, dan retrieve/ambil kembali.

Satu lagi karyanya yang dibawakan: Prangko Madura. Sebuah karya yang terinspirasi dari perjalanan komponis ketika melakukan riset gamelan yang berumur 300 tahun di Madura. Gamelan Ki Elianto dari Pesisir Candi, Desa Talang Siring, Pamekasan.

Baca Juga :  AKD Bangkalan Songsong Piala AKD Jatim

”Kebetulan kenal sama teman dari Madura. Belum pernah tampil di Madura sebelumnya,” kata komponis yang juga Direktur Indonesian Contemporary Gamelan Ensemble (ICGE) itu.

Komisi karya komposisi musik yang dia peroleh di antaranya, Ensemble Modern Jerman, Ensemble Multilaterale Prancis, Quatuor Bozzini Kanada, Ensemble Studio C, dan Ensemble Gamelan UiTM Malaysia. Kemudian, HKU Gamelan University Hong Kong, dan Hong Kong New Music Ensemble.

Pengalaman konsernya juga sudah banyak. Di antaranya di Seri Komposer Malaysia ke-5 di KLPAC, Yogyakarta Contemporary Music Festival, di Institut Kesenian Jakarta, serta banyak lagi. Terakhir pentas di Madura. Pertama konser di Vihara Avalokitesvara, Jalan Teja, Candi Utara, Polagan, Galis, Kabupaten Pamekasan pada 22 November dan di Taman Paseban, Bangkalan.

Diakui, gaya musiknya berbeda dengan gamelan biasanya. Keluar dari pakem. Membuat notasi sendiri. Bermain dengan imajinasi. ”Kami belum tahu ini musik jenis apa. Kami sebut musik baru, kontemporer. Ini ekspresi saja. Tidak menggunakan pakem-pakem siapa-siapa,” katanya.

Komposisi musik gamelan ini merupakan hasil penelitian Arham tentang timbre dan spectrum pada gamelan. Meski masih musik baru, penonton terutama seniman di Bangkalan cukup antusias menyaksikan. Terlebih pada musik bertema retrieve/ambil kembali. Di beberapa bagian, sejumlah musisi masing-masing membawa satu bonang (alat musik gamelan) berkeliling Taman Paseban.

”Tung, tung, tung”, bunyinya saling bersahutan. Usai keliling, bonang yang dibawa dikembalikan lagi ke tempat semula. ”Artinya semua akan kembali,” terang Arham.

Selain sebagai kegiatan berkesenian, pertunjukan yang disajikannya saat itu juga sebagai bentuk pengenalan musik baru kepada masyarakat. Khususnya di Madura. Tampil di Madura, Arham mengaku mendapat sokongan dari Yayasan Kelola. Lembaga nirlaba yang memberikan kontribusi kepada dunia seni di Indonesia.

”Terima kasih untuk masyarakat Madura yang sudah berkenan menyaksikan pertunjukan kami. Antusias masyarakat luar biasa. Bisa sebanyak itu. Apalagi di ruang terbuka,” ujar komponis yang ikut serta mendirikan Indonesian National Orchestra (INO) bersama Franki Raden itu.

Baca Juga :  Kisah Kiki Amelia, Siswi Lumpuh yang Ingin Jadi Penulis Novel

Direktur Yayasan Kelola Gita Hastarika menyebutkan, pertunjukan keliling yang dilakukan Arham merupakan program hibah seni. Program tersebut ditujukan pada seni pertunjukan musik, tari, dan teater. Hibah seni diberikan pada karya inovatif dan pentas keliling.

Di Madura, lanjutnya, ada Anwari. Seniman teater Padepokan Seni Madura yang pernah dua kali mendapat hibah seni dari Yayasan Kelola. Mendapat hibah ditentukan dari penilaian juri. Ada lima juri di luar Yayasan Kelola yang melakukan penilaian.

”Arham pilih Madura, saya sangat setuju. Karena saya sendiri belum tahu Madura itu seperti apa sebelumnya,” tuturnya saat bincang santai di dekat kolam Taman Paseban.

Sementara itu, Seniman Bangkalan Sudarsono mengapresiasi Arham yang mau tampil dengan musik baru di Madura. Menurutnya, maklum masyarakat masih banyak bertanya musik yang dibawakan ICGE. Namun itulah tahap pencarian bentuk bunyi yang dilakukan Arham.

”Dulu saya juga pernah melakukan seperti yang dilakukan Mas Arham. Memang kontroversial karena keluar dari pakem, sekehendak hati,” kata Pembina Sanggar Tarara Bangkalan itu.

”Tobuk nase’ pote nase’ jagung, terro se laen,” ucapnya. Baginya, pertunjukan yang disajikan Arham merupakan bagian dari ekspresi. ”Dia menikmati, tapi orang lain belum tentu memahami,” ujarnya.

Di Madura, kata Sudarsono, masyarakat belum paham betul pada bentuk musik khas Madura. Apalagi memahami bentuk baru yang disajikan. Kehadiran musik kontemporer bertolak dengan pemahaman masyarakat tentang musik.

Memang masih tabu untuk bisa diterima langsung masyarakat di Madura. Namun baginya ini merupakan hal baru yang perlu diapresiasi. Sebab, sudah mengenalkan kekayaan musik kepada masyarakat Pulau Garam.

Sebagai catatan, untuk mengembangkan musik kontemporer, menurutnya Madura masih butuh waktu. ”Tugas kita sebagai seniman musik di Madura mengenalkan bentuk musik khas Madura kepada khalayak,” ujarnya.

Artikel Terkait

Most Read

Artikel Terbaru

/