27.9 C
Madura
Monday, June 5, 2023

Dengan Uang Rp 40 Ribu, Faruk Menuju Solo dan Kesasar di Kalbar

Bekerja di perantauan menjadi salah satu pilihan hidup warga Madura. Bekerja jauh dari sanak keluarga dengan keinginan mampu mengubah kondisi ekonomi keluarga. Namun, Faruk pulang kampung setelah tersesat di Kalimantan.

 

JUNAIDI PONDIYANTO, Sampang, Jawa Pos Radar Madura

 

PRIA muda bercelana pendek itu berdiri di depan pintu rumah. Di bawah teras sederhana. Bangunan berdinding gedek itu menghadap timur bersebelahan dengan rumah lain setengah jadi.

Dia adalah Faruk, pemuda asal Sampang yang baru-baru ini menyita perhatian publik. Nama lengkapnya Moh. Faruk, lahir 1992. Tinggal di Kampung Jlanyar, Desa Aeng Sareh, Kecamatan Kota Sampang.

Faruk mencuri perhatian karena bernasib malang di perantauan. Dia kesasar di Kalimantan Barat. Setelah melalui jalan berliku, dia berhasil pulang dengan selamat.

Sapanya ramah saat ditemui koran Jawa Pos Radar Madura (JPRM) kemarin (25/10). Didampingi Jatima, sang ibu, dan sanak famili, Faruk menceritakan pengalamannya selama merantau. Sebelum akhirnya pulang setelah sekitar 2 tahun meninggalkan rumah.

Pria 29 tahun itu merantau setelah meminta uang Rp 40 ribu kepada sang ibu pada 2019. Uang itu dimintanya untuk membeli sandal baru. Namun, tanpa sepengetahuan sang ibu, Faruk justru berangkat mencari pekerjaan.

Faruk berangkat setelah mendapat kabar lowongan pekerjaan dari temanya di Solo, Jawa Tengah. Hanya bermodal yakin, berangkatlah dia menuju lokasi tujuan. Padahal, Faruk sadar uang yang dibawanya tidak cukup untuk mengantarkan dirinya tiba di Solo. Apalagi, Rp 10 ribu dari Rp 40 ribu uang yang diminta sudah digunakan untuk membeli sandal.

Sisa uang yang dikantongi hanya cukup mengantar dirinya sampai Terminal Purabaya, Bungurasih, Sidoarjo. Dari Kota Bahari dia naik bus antarkota dalam provinsi (AKDP). Meski demikian, dia tetap memantapkan niat menuju Solo. Caranya dengan berjalan kaki.

Baca Juga :  Tiga Bulan Rizal Terbaring Lemah karena Kanker Tulang

Niat berjalan kaki antarprovinsi itu diurungkan karena menemukan uang Rp 100 ribu dalam perjalanan. Setiba di Solo, oleh temannya Faruk diarahkan bekerja di perkebunan. Lokasinya di Kota Pontianak, Kalimantan Barat.

Menjadi tukang kebun pohon jeruk dengan gaji Rp 2,6 juta per bulan. Namun, pekerjaan itu tidak dilakoni hingga genap setahun. Dia hanya betah kerja enam bulan, lalu memilih meninggalkan lokasi. Penyebabnya, dia merasa diperlakukan semena-mena oleh mandor.

Upaya meninggalkan perkebunan itu tidak mudah. Butuh perjuangan besar. Sebab, lokasi perkebunan berada di pedalaman. Harus berjalan kaki sekitar tiga hari untuk menemukan jalan raya.

Saat itu, dia bersama beberapa temannya yang bernasib sama. Setiba di jalan raya, masalah belum selesai. Faruk tidak tahu akan menghubungi siapa karena tidak punya alat komunikasi apa pun. Berbeda dengan keempat rekannya yang sudah menghubungi orang lain untuk meminta jemput.

Sejak saat itu, tidak ada pilihan lain kecuali pasrah meratapi nasib. Hidup di jalanan sebelum kemudian bertemu polisi bagai bertangan malaikat. Anggota Polri itu yang mengajaknya ke Polresta Pontianak.

Di markas polisi tersebut Faruk menetap. Setiap hari siap disuruh-suruh. Termasuk membantu jadi petugas kebersihan. Polisi berjanji memulangkannya ke Jawa Timur. Namun, awalnya dia tidak mengaku berasal dari Madura karena trauma masa lalu.

Terik matahari siang tidak menyurutkan Faruk untuk terus bercerita. Hawa panas musim kemarau tak menghentikan kisahnya yang berliku. Dedauanan pohon memang mengering. Hamparan sawah milik petani pun masih terlihat tandus. Tapi, semangat Faruk untuk menuntaskan riwayat perantauannya terus bersemi.

Baca Juga :  Peran Organisasi Alumni Pondok Pesantren Mambaul Ulum Bata-Bata (1)

Masa pelarian dari perkebunan itu dia jalani setahun lebih. Setelah itu, dia berani menceritakan asal daerah kepada sesama warga Madura. Kabar itulah yang kemudian sampai ke telinga Bupati Sampang Slamet Junaidi. Bupati yang akrab disapa Haji Idi itulah yang memfasilitasi kepulangan Faruk ke Kota Bahari.

”Saya nekat berangkat untuk membantu ekonomi keluarga. Saya tahu kalau orang tua sedang kesulitan ekonomi,” jelasnya.

Perasaan haru dan syukur kepada Allah tidak mampu dibendung Jatima. Kebahagiaan perempuan 61 itu tak bisa ditukar apa pun. Dia kembali melihat sang buah hati pulang dalam keadaan sehat setelah hampir dua tahun ”menghilang”. Apalagi, dirinya tidak pernah menyangka putranya nekat merantau dengan bekal uang hanya Rp 40 ribu.

Putra bungsunya itu memang beberapa kali sudah merantau. Mulai bekerja di Malasyia sebagai kuli bangunan dan jualan roti di Kota Solo. Namun, nasibnya tidak semalang saat dia merantau ke Pontianak.

Faruk adalah putra Jatima yang terakhir dari 4 bersaudara. Karena keterbatasan ekonomi, dia hanya menyekolahkan Faruk sampai tingkat sekolah dasar (SD). Apalagi, sejak kecil Faruk juga menjadi anak yatim yang ditinggalkan bapaknya saat umur dua tahun.

Selama Faruk merantau, Jatima sama sekali memang tidak mendengar kabar sang buah hati. Kemampuan mencari anaknya juga terbatas. Hanya rintihan doa yang dipanjatkan kepada Allah untuk keselamatan Faruk.

”Saya sangat bersyukur anak saya sudah bisa pulang kembali dengan selamat. Terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu pemulangan. Terima kasih, Pak Bupati,” ucap Jatima.

Bekerja di perantauan menjadi salah satu pilihan hidup warga Madura. Bekerja jauh dari sanak keluarga dengan keinginan mampu mengubah kondisi ekonomi keluarga. Namun, Faruk pulang kampung setelah tersesat di Kalimantan.

 

JUNAIDI PONDIYANTO, Sampang, Jawa Pos Radar Madura


 

PRIA muda bercelana pendek itu berdiri di depan pintu rumah. Di bawah teras sederhana. Bangunan berdinding gedek itu menghadap timur bersebelahan dengan rumah lain setengah jadi.

Dia adalah Faruk, pemuda asal Sampang yang baru-baru ini menyita perhatian publik. Nama lengkapnya Moh. Faruk, lahir 1992. Tinggal di Kampung Jlanyar, Desa Aeng Sareh, Kecamatan Kota Sampang.

Faruk mencuri perhatian karena bernasib malang di perantauan. Dia kesasar di Kalimantan Barat. Setelah melalui jalan berliku, dia berhasil pulang dengan selamat.

- Advertisement -

Sapanya ramah saat ditemui koran Jawa Pos Radar Madura (JPRM) kemarin (25/10). Didampingi Jatima, sang ibu, dan sanak famili, Faruk menceritakan pengalamannya selama merantau. Sebelum akhirnya pulang setelah sekitar 2 tahun meninggalkan rumah.

Pria 29 tahun itu merantau setelah meminta uang Rp 40 ribu kepada sang ibu pada 2019. Uang itu dimintanya untuk membeli sandal baru. Namun, tanpa sepengetahuan sang ibu, Faruk justru berangkat mencari pekerjaan.

Faruk berangkat setelah mendapat kabar lowongan pekerjaan dari temanya di Solo, Jawa Tengah. Hanya bermodal yakin, berangkatlah dia menuju lokasi tujuan. Padahal, Faruk sadar uang yang dibawanya tidak cukup untuk mengantarkan dirinya tiba di Solo. Apalagi, Rp 10 ribu dari Rp 40 ribu uang yang diminta sudah digunakan untuk membeli sandal.

Sisa uang yang dikantongi hanya cukup mengantar dirinya sampai Terminal Purabaya, Bungurasih, Sidoarjo. Dari Kota Bahari dia naik bus antarkota dalam provinsi (AKDP). Meski demikian, dia tetap memantapkan niat menuju Solo. Caranya dengan berjalan kaki.

Baca Juga :  Peran Organisasi Alumni Pondok Pesantren Mambaul Ulum Bata-Bata (1)

Niat berjalan kaki antarprovinsi itu diurungkan karena menemukan uang Rp 100 ribu dalam perjalanan. Setiba di Solo, oleh temannya Faruk diarahkan bekerja di perkebunan. Lokasinya di Kota Pontianak, Kalimantan Barat.

Menjadi tukang kebun pohon jeruk dengan gaji Rp 2,6 juta per bulan. Namun, pekerjaan itu tidak dilakoni hingga genap setahun. Dia hanya betah kerja enam bulan, lalu memilih meninggalkan lokasi. Penyebabnya, dia merasa diperlakukan semena-mena oleh mandor.

Upaya meninggalkan perkebunan itu tidak mudah. Butuh perjuangan besar. Sebab, lokasi perkebunan berada di pedalaman. Harus berjalan kaki sekitar tiga hari untuk menemukan jalan raya.

Saat itu, dia bersama beberapa temannya yang bernasib sama. Setiba di jalan raya, masalah belum selesai. Faruk tidak tahu akan menghubungi siapa karena tidak punya alat komunikasi apa pun. Berbeda dengan keempat rekannya yang sudah menghubungi orang lain untuk meminta jemput.

Sejak saat itu, tidak ada pilihan lain kecuali pasrah meratapi nasib. Hidup di jalanan sebelum kemudian bertemu polisi bagai bertangan malaikat. Anggota Polri itu yang mengajaknya ke Polresta Pontianak.

Di markas polisi tersebut Faruk menetap. Setiap hari siap disuruh-suruh. Termasuk membantu jadi petugas kebersihan. Polisi berjanji memulangkannya ke Jawa Timur. Namun, awalnya dia tidak mengaku berasal dari Madura karena trauma masa lalu.

Terik matahari siang tidak menyurutkan Faruk untuk terus bercerita. Hawa panas musim kemarau tak menghentikan kisahnya yang berliku. Dedauanan pohon memang mengering. Hamparan sawah milik petani pun masih terlihat tandus. Tapi, semangat Faruk untuk menuntaskan riwayat perantauannya terus bersemi.

Baca Juga :  Ajak Media Ambil Peran, Tekan Covid-19 dengan Patuhi Prokes

Masa pelarian dari perkebunan itu dia jalani setahun lebih. Setelah itu, dia berani menceritakan asal daerah kepada sesama warga Madura. Kabar itulah yang kemudian sampai ke telinga Bupati Sampang Slamet Junaidi. Bupati yang akrab disapa Haji Idi itulah yang memfasilitasi kepulangan Faruk ke Kota Bahari.

”Saya nekat berangkat untuk membantu ekonomi keluarga. Saya tahu kalau orang tua sedang kesulitan ekonomi,” jelasnya.

Perasaan haru dan syukur kepada Allah tidak mampu dibendung Jatima. Kebahagiaan perempuan 61 itu tak bisa ditukar apa pun. Dia kembali melihat sang buah hati pulang dalam keadaan sehat setelah hampir dua tahun ”menghilang”. Apalagi, dirinya tidak pernah menyangka putranya nekat merantau dengan bekal uang hanya Rp 40 ribu.

Putra bungsunya itu memang beberapa kali sudah merantau. Mulai bekerja di Malasyia sebagai kuli bangunan dan jualan roti di Kota Solo. Namun, nasibnya tidak semalang saat dia merantau ke Pontianak.

Faruk adalah putra Jatima yang terakhir dari 4 bersaudara. Karena keterbatasan ekonomi, dia hanya menyekolahkan Faruk sampai tingkat sekolah dasar (SD). Apalagi, sejak kecil Faruk juga menjadi anak yatim yang ditinggalkan bapaknya saat umur dua tahun.

Selama Faruk merantau, Jatima sama sekali memang tidak mendengar kabar sang buah hati. Kemampuan mencari anaknya juga terbatas. Hanya rintihan doa yang dipanjatkan kepada Allah untuk keselamatan Faruk.

”Saya sangat bersyukur anak saya sudah bisa pulang kembali dengan selamat. Terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu pemulangan. Terima kasih, Pak Bupati,” ucap Jatima.

Artikel Terkait

Most Read

Artikel Terbaru

/