SUMENEP – Tidak ada yang sungguh-sungguh memperjuangkan petani selain petani sendiri. Bersatunya petani menjadi keniscayaan. Baik penguatan kelompok maupun meningkatkan skill. Itulah spirit yang terbangun dalam pelaksanaan Kongres Petani dan Santri Madura 2018.
Kongres Petani dan Santri Madura 2018 resmi ditutup Minggu (23/12). Kongres yang diselenggarakan di Pondok Pesantren (PP) Nasy’atul Muta’allimin, Kecamatan Gapura, Sumenep itu dihadiri puluhan petani dan santri di Madura. Ada pula beberapa peserta yang datang dari Jombang, Surabaya, dan daerah lainnya di Jawa
RadarMadura.id mengunjungi arena kongres tersebut siang kemarin. Kongres di aula lantai dua PP Nasy’atul Muta’allimin itu tampak sederhana. Tidak ada umbul-umbul ucapan dari pemerintah daerah, politisi, atau perusahaan-perusahaan besar di Pulau Garam.
Kesederhanaan itu bisa dilihat dari fasilitas yang tersedia. Sebuah gentong besar terbuat dari tanah liat terpajang di depan aula. Gentong itu bertuliskan ”air sumur”. Rupanya air itulah yang dikonsumsi para peserta kongres.
Selain itu, tersedia puluhan nasi bungkus dalam sebuah kardus. Nasi-nasi tersebut merupakan sisa lebih dari yang dikonsumsi peserta kongres. Nasi-nasi bungkus itu juga didatangkan dengan tanpa sponsor apa pun.
Itulah narasi perlawanan yang dilakukan para petani dan santri peserta kongres. Kongres ini murni dibiayai oleh swadaya masyarakat. Oleh petani, peserta kongres, dan masyarakat sekitar pesantren.
”Kongres dibiayai bersama. 800 bungkus nasi itu dikirim oleh tetangga,” kata Kiai A. Dardiri Zubairi, salah seorang inisiator kongres petani dan santri sekaligus pengasuh PP Nasy’atul Muta’allimin.
”Narasumber gratis. Kita sama sekali tidak mengajukan proposal kepada siapa pun,” tegas alumnus UIN Syafir Hidayatullah Ciputat tersebut.
Air yang diminum sengaja diambil dari sumur sekitar. Tujuannya, mengenang masa-masa di mana masyarakat masih setia dengan air sumur. Hal itu juga sebagai pembuktian bahwa air sumur tak kalah sehat dengan air kemasan yang dijual dengan harga mahal.
”Air yang dipakai air sumur. Ini untuk mengenang bahwa kita sedang dibodohi sekarang. Padahal air sumur itu lebih bagus dari air kemasan,” paparnya. ”Ternyata para peserta minum air sumur, tidak ada yang sakit perut. Itu bukti bahwa air sumur sehat,” tambahnya.
Dardiri menambahkan, produk kapitalisme memang kerap kali membodohi masyarakat petani. Masyarakat dipaksa membeli air kemasan dengan alasan air sumur tidak sehat, tercemar, mengandung penyakit, dan lain semacamnya. Padahal sumur-sumur di desa belum tercemar dan layak dikonsumsi.
Memang, disadari bahwa masyarakat kontemporer tidak bisa serta-merta mengelak dari produk kapitalisme. Tetapi, upaya untuk kembali ke kearifan lokal, seperti mengonsumsi air dari sumur, perlu dilakukan. ”Tapi ada juga yang menyebut peserta kongres mengonsumsi air sumur karena kita tidak punya uang,” katanya sembari tertawa lepas.
Rencana awal, kongres ini akan merumuskan rekomendasi hingga tuntas. Tapi karena terkendala waktu, rekomendasi yang dihasilkan belum bisa dipublikasikan. Masih ada narasi-narasi yang perlu disempurnakan dan disetujui oleh seluruh peserta kongres.
Dardiri hanya menyampaikan poin-poin yang menjadi pembahasan selama kongres. Di antaranya, kian maraknya alih fungsi lahan di Madura. Banyak anak-anak petani yang juga alih profesi sehingga menyebabkan berkurangnya regenerasi petani. Tema lainnya yakni menguatnya cengkeraman kapitalisme terhadap petani.
Untuk itulah kongres petani merekomendasikan agar terbentuk satu wadah yang bisa menjadi rumah pemberdayaan petani. Mereka bisa belajar di wadah tersebut. Baik dalam rangka meningkatkan produktivitas pertanian ataupun membentengi diri dari cengkeraman kapitalisme.
”Melalui wadah tersebut petani bisa belajar membuat pupuk organik, menjaga ekosistem, membuat benih sendiri,” jelasnya. ”Karena sekarang petani banyak yang bergantung kepada perusahaan besar dalam hal pengadaan benih dan pupuk,” imbuhnya.
Dardiri memaparkan, berkurangnya lahan produktif merupakan ancaman nyata bagi petani dan seluruh masyarakat. Jika lahan produktif terus berkurang, Indonesia akan bergantung kepada pangan impor. Problemnya, ketika dunia global mengalami krisis pangan, maka Indonesia akan semakin tidak berdaya.
”Kalau negara pengimpor tidak mau mengirim pangannya ke Indonesia, maka akan menjadi ancaman jangka panjang,” tukasnya.