Minimnya pembiayaan menjadi salah satu penyebab madrasah diniyah sulit maju dan berkembang. Fasilitas dan bangunan juga banyak yang rusak dan tidak ada perbaikan.
MOH. ALI MUHSIN, Pamekasan, Jawa Pos Radar Madura
”NUN mati bertemu dengan alif, dinamakan apa”? tanya Ustad Ach. Faruq kepada siswanya saat mengajar mereka di Madrasah Diniyah Raudhun Nadhir. Dengan kompak siswa kelas dua MD itu menjawab bacaan Idhar sembari memberi contoh yang ada dalam Al-Qur’an.

Puluhan siswa itu belajar dengan semangat, meskipun dengan keterbatasan fasilitas. Mereka juga duduk di lantai. Tanpa kursi. Sementara di depan mereka hanya ada bangku kecil sebagai alat mereka utuk menulis.
Di tengah keterbatasan sarana dan prasarana itu, kegiatan balajar mengajar tetap berlangsung secara normal. Meski, kekosongan guru di beberapa kelas juga sering terjadi. Hal itu juga terjadi di beberapa lembaga madrasah diniyah yang lain.
”Seperti inilah kondisi madrasah diniyah. Fasilitasnya memang sangat tidak layak, tapi mau bagaimana lagi,” kata Ustad Faruq kepada Jawa Pos Radar Madura (JPRM).
Faruq menjelaskan, lembaganya sama sekali tidak pernah mendapatkan bantuan dari pemerintah. Karena itu, meski kondisi bangunan sudah rusak berat, pengelola tetap membiarkan. Kendalanya hanya satu, dana.
”Tidak ada dana untuk memperbaikinya. Harusnya ini sudah diperbaiki karena rusak berat,” ucapnya.
Berkenaan dengan sumber dana, hanya bersumber dari sumbangan pembinaan pendidikan (SPP) bulanan siswa. Setiap bulan hanya Rp 10 ribu. ”Itu pun mereka bayarnya di akhir tahun. Besaran iuran itu juga untuk kegiatan haflatul imtihan,” ucapnya.
Dengan demikian, honor untuk guru tidak ada. Sebab, uang yang diperoleh dikhususkan untuk kegiatan haflatul imtihan. Itu pun biaya yang terkumpul tidak mencukupi terhadap taksasi anggaran yang dibutuhkan. ”Untuk biaya haflatul imtihan saja masih banyak kurangnya,” jelas Ustad Faruq.
Melihat kondisi itu, pengelola harus mencari donatur untuk bisa memenuhi kebutuhan haflatul imtihan. ”Jadi, pengelola yang juga harus mengeluarkan,” ucapnya.
Sementara itu, kurikulum yang diterapkan tidak berbeda jauh dengan pendidikan madrasah diniyah pada umumnya. Materi yang diajarkan meliputi tajwid, tauhid, nahwu, sarraf, akhlak, Al-Qur’an, dan lain sebagainya. ”Kalau jumlah siswanya berkisar 50 orang,” ujarnya.
Dari sekian materi, pihak lembaga lebih memprioritaskan pemahaman siswa pada materi ilmu nahwu. Terutama untuk siswa kelas akhir. Sementara untuk kelas 1 fokus pada penguasan baca Al-Qur’an dan tajwid.
”Karena madrasah diniyah kan harus menguasai ilmu keagamaan. Dengan tahu belajar ilmu nahwu, maka mereka diharapkan bisa membaca kitab,” jelasnya.
Sementara itu, praktisi pendidikan Mohammad Thoha menjelaskan, keberadaan madrasah diniyah sangat dibutuhkan masyarakat. Karena itu menjadi tugas bersama, termasuk pemerintah dan pemegang kebijakan pendidikan. ”Untuk selalu mengawalnya, baik melalui dukungan kebijakan, pembiayaan, dan prasarana lainnya,” ujar dosen IAIN Madura itu.
Dia menjelaskan, sumber daya manusia (SDM) menjadi kendala utama dalam keberlangsungan pendidikan pengawal karakter ini. Oleh karena itu, lanjut Thoha, pembinaan dan peningkatan kesejahteraan SDM menjadi mutlak harus dilakukan. (*/luq)