Jogjakarta selalu melahirkan penulis-penulis berbakat. Namun, tidak semua penulis itu lahir dari Kota Gudeg. Sebagian besar berasal dari Pulau Garam. Termasuk Fawaid Abrari yang baru-baru ini menerbitkan buku.
IMAM S. ARIZAL, Jogjakarta
LELAKI berjenggot tipis itu menyeruput kopi hitam dengan ekspresi menikmati. Sesekali diisapnya sebatang rokok. Setiap sore di Kafe Basabasi, Jalan Sorowajan, Bantul, Daerah Istimewa Jogjakarta, pria bernama Fawaid Abrari itu sering meluangkan banyak waktu untuk bersantai sembari berdiskusi ringan.
Ya, di kafe milik Edi AH Iyubenu ini juga Jawa Pos Radar Madura (JPRM) berkesempatan berbincang santai dengan Abrari, sapaan akrabnya, Minggu sore (22/7). Sudah sekitar 12 tahun Fawaid Abrari berproses di Jogjakarta.
Pria kelahiran Sumenep, 12 Januari 1988, itu mulai merantau ke Jogjakarta saat kuliah di UIN Sunan Kalijaga pada 2007. Di kampus inilah dia menyelesaikan studi tafsir hadis di Fakultas Ushuluddin.
Pertemuannya dengan penulis-penulis ternama di Kota Gudeg membuat Abrari semakin tertarik untuk menulis. Sebelumnya dia memang memiliki minat terhadap dunia literasi. Semangat itu diperolehnya kala menempuh studi di pesantren di Jawa Timur.
Abrari sangat dekat dengan pesantren. Pendidikan pesantrennya ditempuh di Pondok Pesantren Nurul Islam, Tamidung, Batang-Batang, Sumenep. Kemudian, di Pondok Pesantren Nasy’atul Muta’allimin, Gapura, hingga di Pondok Pesantren Nurul Jadid, Paiton, Probolinggo.
”Masuk ke Jogjakarta membuat saya bisa berinteraksi dengan banyak penulis. Baik yang sudah punya nama besar, ataupun yang juga sama-sama penulis pemula,” kata Abrari.
Jogjakarta memang tempat yang nyaman bagi penulis-penulis asal Pulau Garam. Banyak perantau dari Madura yang sukses mengembangkan bakat menulisnya di daerah yang dipimpin oleh Sultan Hamengku Buwono X itu. Sebut saja Kuswaidi Syafii, Edi AH Iyubenu, M. Faizi, M. Mushthafa, Bernando J. Sujibto, Mahwi Air Tawar, dan Achmad Muhlis Amrin.
Ada pula Hamdani atau yang akrab dengan nama pena Ahmad Kekal Hamdani, Yan Zavin Aundjand, serta sederet penulis produktif lainnya. ”Menjadi seorang penulis itu memiliki kenikmatan tersendiri. Mereka bisa berinteraksi dengan banyak orang tanpa harus bertatap muka,” tambahnya.
Menulis, menurut dia, sangat penting. Banyak kata bijak tentang pentingnya menjadi penulis, baik dari ulama klasik maupun penulis kontemporer. Semua sepakat bahwa tradisi menulis harus lestari agar ilmu pengetahuan bisa diwariskan kepada generasi yang akan datang.
”Karena ilmu pengetahuan tak cukup disampaikan dengan lisan. Maka, tulisan yang akan mengantar ilmu pengetahuan itu kepada pembaca yang tak bisa bertatap muka,” tegasnya.
Dalam perjalanannya, Fawaid Abrari dikenal sebagai penulis fiksi dan ilmiah. Banyak buku yang telah ditulisnya. Antara lain, Rumah Hati; Sebuah Novel Ilmiah Penggugah Hati (2011). Kemudian, Soekarno dan Soeharto di Mata Para Kiai (2013). Baru-baru ini terbit Ethiosophia: Sebuah Tafsir Falsafi, Menembus Batas Rasionalitas (2019).
”Selain karya dalam bentuk buku, saya juga menulis berbagai tulisan di media massa, baik lokal maupun nasional,” tegasnya.
Saat ini dia tengah menyiapkan dua buku yang akan segera naik cetak. Kedua, Izayyak: Sebuah Sastra Arab. Buku ini berisi kisah perjalanannya ke Timur Tengah yang dirangkum dalam karya fiksi. Dia juga menyiapkan penerbitan buku Wajah Wahabi yang Sebenarnya: Sebuah Penelitian Budaya, Upaya Menepis Stigma Negatif Moderatisasi Wahabi.
”Tentu saja perjalanan panjang masih membentang, karena prinsip seseorang dalam pengembaraan mencari ilmu adalah berjalanlah sejauh mungkin, tapi jangan menjauh. Jika suatu hari ia pulang, hal itu tidak berarti kembali. Sebab, sejatinya ia tak pernah pergi,” tandasnya.