21.2 C
Madura
Wednesday, June 7, 2023

Pesan Jamal D. Rahman untuk Para Penulis Buku Tora

SUMENEP – Perkembangan sastra Madura belakangan ini cukup membanggakan. Itu dilihat dari banyaknya penulis muda yang lihai menggubah cerpen berbahasa Madura. Termasuk buku antologi careta pandha’ (carpan) Tora; Satengkes Carpan Madura yang diterbitkan Jawa Pos Radar Madura. Pemred Majalah Sastra Horison Jamal D. Rahman memiliki catatan khusus untuk para penulis kontributor buku tersebut.

Buku antologi carpan Tora; Satengkes Carpan Madura memiliki makna tersendiri bagi Jamal D. Rahman. Bagi pria asal Kecamatan Lenteng, Sumenep yang kini menetap di Jakarta itu, buku tersebut sebagai tanda sastra Madura mulai bangkit kembali. Setelah lama tidur panjang, anak-anak muda kembali menghidupkan sastra berbahasa Madura.

Bahkan menurut Jamal, dengan membaca buku Tora, dia bisa menemukan hal-hal baru, pengalaman baru, perkara baru, dan pengetahuan baru. Meski dia tidak menjelaskan secara detail apa saja hal baru tersebut. Itu sengaja agar masyarakat ikut menikmati hal baru dengan membaca buku.

”Buku ini menjadi tanda bahwa bahasa Madura digunakan untuk bahasa sastra. Ini menjadi tanda bahwa bahasa Madura mengalami kemajuan,” kata Jamal saat mengisi bedah buku di aula STKIP PGRI Sumenep, Rabu (21/3).

Lepas dari pujian-pujian yang disampaikan, Jamal juga memiliki banyak koreksi terhadap buku ini. Pertama, dia mengaku menemukan hal-hal yang tidak masuk akal dalam beberapa carpan yang tertera dalam buku Tora. Tidak masuk akal bukan karena tidak terjadi di kenyataan. Tapi dilihat dari alur cerita yang tidak masuk akal. ”Bahkan juga tidak masuk akal jika dilihat dari sudut pandang kebudayaan Madura,” tegas pria berkumis tersebut.

Baca Juga :  Sape Sono’ dan Saronen Meriahkan Sertijab Kapolres Sampang

Dia mengutip salah satu carpan yang ada di buku Tora. Diceritakan, ada seorang kiai di Madura yang mempunyai putri cantik tapi tak kunjung mendapatkan jodoh. Bukan karena tidak ada yang tidak naksir terhadap putri kiai tersebut. Tetapi, putrinya sering menolak lamaran para lelaki.

Hingga pada suatu hari, datanglah seorang kiai dari pesantren besar di Jawa Tengah untuk melamar. Si kiai yang punya putri cantik itu pun bangga. Terlebih dia akan punya besan kiai besar dan masyhur.

Tetapi apes, lamaran kiai asal Jawa Tengah ditolak oleh putrinya. Alasannya, hasil istikharah si putri menunjukkan hal yang kurang baik. ”Ini tidak masuk akal. Sebab, di Madura biasanya sebelum datang melamar masih melakukan pendekatan terlebih dahulu. Istilahnya arabas jalan,” jelasnya.

Kalau sudah pendekatan dan kemungkinan besar ditolak, tidak mungkin datang melamar. Sebaliknya, jika pada saat pendekatan itu ada sinyal baik, orang tua si lelaki akan datang melamar. Hal ini sudah menjadi adat istiadat dalam proses lamaran di Madura.

”Jadi untuk menulis cerpen, logika cerita harus dipikir. Ini maksud pengarang mungkin ingin menciptakan hal yang mengejutkan. Tapi untuk menciptakan sesuatu yang mengejutkan, logika cerita juga harus diperhatikan,” pesannya.

Baca Juga :  30 Tahun Tekuni Pekerjaan Warisan Orang Tua

Cerita lain, lanjut Jamal, tentang dua orang yang hobi sabung ayam. Ada dua lelaki yang ikut sabung ayam. Satu kalah dan satu menang. Yang kalah tidak terima, marah. Orang tersebut datang ke orang yang menang sembari membawa silet di tangannya.

Tiba di rumah si pemenang, orang yang kalah langsung menusuk perut pemenang dengan silet. Kemudian lari. Korban menjerit kesakitan, darah mengalir deras. Setelah itu meninggal dunia.

”Silet kan kecil tipis. Saya membayangkan bagaimana menusuk pakai silet. Ini juga tidak masuk akal. Apalagi sampai mati,” imbuhnya.

Pria kelahiran Sumenep 14 Desember 1967 ini juga menjelaskan tenteng cerpen yang tidak boleh menggurui. Di dalam buku Tora, kata Jamal, ada carpan yang bagus, bahasanya juga indah. Cuma carpan tersebut ditutup dengan khotbah.

”Ceritanya bagus, orang yang membaca ikut bersedih, tapi tiba-tiba penulisnya berkhotbah,” jelas alumnus Pondok Pesantren Al-Amien Prenduan ini. ”Ini dalam kritik sastra Indonesia disebut dengan penulis yang ingin menceramahi pembaca,” tegasnya.

Sebenarnya, kata penulis buku Garam-Garam Hujan ini, pesan moral tidak perlu dikhotbahkan atau ditulis secara vulgar. Seorang cerpenis cukup menyampaikan melalui alur cerita. Sebab, tugas cerpenis bercerita, bukan berkhotbah.

”Tapi buku ini secara umum saya apresiasi. Makanya, jika ingin tahu hal-hal baru, terutama tentang sastra Madura, saya rekomendasikan untuk membacanya,” tukas Jamal.

SUMENEP – Perkembangan sastra Madura belakangan ini cukup membanggakan. Itu dilihat dari banyaknya penulis muda yang lihai menggubah cerpen berbahasa Madura. Termasuk buku antologi careta pandha’ (carpan) Tora; Satengkes Carpan Madura yang diterbitkan Jawa Pos Radar Madura. Pemred Majalah Sastra Horison Jamal D. Rahman memiliki catatan khusus untuk para penulis kontributor buku tersebut.

Buku antologi carpan Tora; Satengkes Carpan Madura memiliki makna tersendiri bagi Jamal D. Rahman. Bagi pria asal Kecamatan Lenteng, Sumenep yang kini menetap di Jakarta itu, buku tersebut sebagai tanda sastra Madura mulai bangkit kembali. Setelah lama tidur panjang, anak-anak muda kembali menghidupkan sastra berbahasa Madura.

Bahkan menurut Jamal, dengan membaca buku Tora, dia bisa menemukan hal-hal baru, pengalaman baru, perkara baru, dan pengetahuan baru. Meski dia tidak menjelaskan secara detail apa saja hal baru tersebut. Itu sengaja agar masyarakat ikut menikmati hal baru dengan membaca buku.


”Buku ini menjadi tanda bahwa bahasa Madura digunakan untuk bahasa sastra. Ini menjadi tanda bahwa bahasa Madura mengalami kemajuan,” kata Jamal saat mengisi bedah buku di aula STKIP PGRI Sumenep, Rabu (21/3).

Lepas dari pujian-pujian yang disampaikan, Jamal juga memiliki banyak koreksi terhadap buku ini. Pertama, dia mengaku menemukan hal-hal yang tidak masuk akal dalam beberapa carpan yang tertera dalam buku Tora. Tidak masuk akal bukan karena tidak terjadi di kenyataan. Tapi dilihat dari alur cerita yang tidak masuk akal. ”Bahkan juga tidak masuk akal jika dilihat dari sudut pandang kebudayaan Madura,” tegas pria berkumis tersebut.

Baca Juga :  30 Tahun Tekuni Pekerjaan Warisan Orang Tua

Dia mengutip salah satu carpan yang ada di buku Tora. Diceritakan, ada seorang kiai di Madura yang mempunyai putri cantik tapi tak kunjung mendapatkan jodoh. Bukan karena tidak ada yang tidak naksir terhadap putri kiai tersebut. Tetapi, putrinya sering menolak lamaran para lelaki.

Hingga pada suatu hari, datanglah seorang kiai dari pesantren besar di Jawa Tengah untuk melamar. Si kiai yang punya putri cantik itu pun bangga. Terlebih dia akan punya besan kiai besar dan masyhur.

- Advertisement -

Tetapi apes, lamaran kiai asal Jawa Tengah ditolak oleh putrinya. Alasannya, hasil istikharah si putri menunjukkan hal yang kurang baik. ”Ini tidak masuk akal. Sebab, di Madura biasanya sebelum datang melamar masih melakukan pendekatan terlebih dahulu. Istilahnya arabas jalan,” jelasnya.

Kalau sudah pendekatan dan kemungkinan besar ditolak, tidak mungkin datang melamar. Sebaliknya, jika pada saat pendekatan itu ada sinyal baik, orang tua si lelaki akan datang melamar. Hal ini sudah menjadi adat istiadat dalam proses lamaran di Madura.

”Jadi untuk menulis cerpen, logika cerita harus dipikir. Ini maksud pengarang mungkin ingin menciptakan hal yang mengejutkan. Tapi untuk menciptakan sesuatu yang mengejutkan, logika cerita juga harus diperhatikan,” pesannya.

Baca Juga :  Arab Larang Jamaah Indonesia, Begini Kabar Warga Sampang di Madinah

Cerita lain, lanjut Jamal, tentang dua orang yang hobi sabung ayam. Ada dua lelaki yang ikut sabung ayam. Satu kalah dan satu menang. Yang kalah tidak terima, marah. Orang tersebut datang ke orang yang menang sembari membawa silet di tangannya.

Tiba di rumah si pemenang, orang yang kalah langsung menusuk perut pemenang dengan silet. Kemudian lari. Korban menjerit kesakitan, darah mengalir deras. Setelah itu meninggal dunia.

”Silet kan kecil tipis. Saya membayangkan bagaimana menusuk pakai silet. Ini juga tidak masuk akal. Apalagi sampai mati,” imbuhnya.

Pria kelahiran Sumenep 14 Desember 1967 ini juga menjelaskan tenteng cerpen yang tidak boleh menggurui. Di dalam buku Tora, kata Jamal, ada carpan yang bagus, bahasanya juga indah. Cuma carpan tersebut ditutup dengan khotbah.

”Ceritanya bagus, orang yang membaca ikut bersedih, tapi tiba-tiba penulisnya berkhotbah,” jelas alumnus Pondok Pesantren Al-Amien Prenduan ini. ”Ini dalam kritik sastra Indonesia disebut dengan penulis yang ingin menceramahi pembaca,” tegasnya.

Sebenarnya, kata penulis buku Garam-Garam Hujan ini, pesan moral tidak perlu dikhotbahkan atau ditulis secara vulgar. Seorang cerpenis cukup menyampaikan melalui alur cerita. Sebab, tugas cerpenis bercerita, bukan berkhotbah.

”Tapi buku ini secara umum saya apresiasi. Makanya, jika ingin tahu hal-hal baru, terutama tentang sastra Madura, saya rekomendasikan untuk membacanya,” tukas Jamal.

Artikel Terkait

Most Read

Artikel Terbaru

/