Siswa SDN Panaongan 4 dituntut bisa berbagi sejak dini. Setiap hari berbagi ruangan dengan kelas lain. Mereka juga harus berbagi konsentrasi.
MOH. JUNAIDI, Sumenep, Jawa Pos Radar Madura
SUASANA cukup sepi menyambut kedatangan Jawa Pos Radar Madura (JPRM) di SDN Panaongan 4, Senin (13/6). Tak terlihat senyum manis wajah-wajah siswa yang polos atau candaan mereka. Maklum, kedatangan kami pagi itu bersamaan dengan jam aktif pelajaran. Jadi, di halaman sekolah tak tampak satu pun siswa, kecuali beberapa perempuan di warung dekat sekolah di Kecamatan Pasongsongan itu. Mungkin mereka orang tua salah seorang siswa yang kebetulan mampir di warung tersebut sembari menunggu anaknya.
Tak berselang lama, seorang pria berkumis tipis keluar dari salah satu ruang kelas. Dia menyambut dan menyalami kami dengan santun. Kemudian, dia memperkenalkan diri sebagai kepala sekolah (Kepses) yang baru menjabat sebulan lalu. Edy Suharjono, nama lengkapnya. ”Saya masih baru, masih satu bulan saya di sini,” tuturnya.
Obrolan kami langsung mengarah pada proses mengajar berikut problem di SDN yang dia pimpin. Sementara dari ruang kelas yang agak jauh, terdengar suara beberapa siswa membacakan teks Pancasila. ”Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia,” teriak mereka, lantang, seolah paham betul apa makna kalimat itu, terutama dalam konteks pendidikan.
Jika pun mengerti, realitas sepertinya bertolak belakang dengan mereka. Hal itu sangat tampak. Sebab, bangku kelas yang mereka duduki saat ini tak benar-benar sesuai dengan yang semestinya. Akses dan fasilitas pendidikan mereka sangat tidak layak.
”Betul, ya, sebagaimana kenyataan yang ada, gedung sekolah terutama,” demikian kata pria yang berasal dari Kecamatan Nglegok, Kabupaten Blitar, itu.
Dia menceritakan bahwa siswa-siswi SDN Panaongan 4 belajar dalam satu ruangan bersama. Sebab, di sekolah ini hanya ada satu bangunan yang terbagi dalam tiga ruang. Satu ruangan jadi dua kelas. Antara kelas satu dan dua dipisah dengan pembatas tripleks.
”Ya, sungguh, sangat, sangat tidak efektif, satu ruang dua kelas. Untung toiletnya ada, tapi satu, dipakai guru dan murid,” ungkapnya.
Mewujudkan pendidikan yang relevan dan berkualitas tinggi, merata, dan berkelanjutan, didukung oleh infrastruktur, dan teknologi. Begitulah salah satu visi pemerintah melalui Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek).
Akan tetapi, hingga kini visi itu belum terealisasi maksimal. Buktinya, di pelosok-pelosok desa, masih banyak anak yang belajar dengan penuh keterbatasan. Satu di antaranya adalah siswa SDN Panongan 4 ini.
Sekolah ini terletak di akses utama jalan pantai utara, yakni jalan Pasongsongan–Ambunten. Tak jauh dari rumah warga. Sekolah ini terbilang masih berada di lingkungan yang cukup ramai.
Edy menyebut, SDN Panaongan 4 ini juga tidak memiliki kantor guru, apalagi perpustakaan. Jadi, siswa terpaksa memanfaatkan kelas. Sederhananya, satu ruang kelas berfungsi untuk dua hal. Yakni, kantor untuk urusan administrasi dan kelas dalam proses belajar mengajar (KBM).
Guru di sekolah ini hanya ada lima orang. Dua guru berstatus PNS. Yaitu, Edy Suharjono. Selain sebagai Kepsek, dia mengajar siswa kelas IV. Guru PNS satunya Aina, guru kelas VI.
Mereka dibantu tiga guru tidak tetap (GTT). Yakni, Siti Fatimah yang mengajar kelas I dan II, Anggaraini Sadewi mengajar kelas III, dan Ahmad Mansur guru kelas V. ”Untuk urusan administrasi kadang juga saya yang mengerjakan karena memang terbatas. Mau gimana lagi,” tegas Edy.
Edy dengan gamblang menceritakan, sejak 2000 nyaris tak ada sentuhan apa pun dari pemerintah. Terutama Dinas Pendidikan (Disdik) Sumenep. Lebih-lebih menyangkut infrastruktur dan fasilitas.
Dana bantuan operasional sekolah (BOS) memang ada. Tapi, bagi sekolah di Dusun Sumur Keramat, Desa Panaongan, Kecamatan Pasongsongan, ini hanya cukup untuk opersional. Sebab, siswanya tidak banyak. Berdasar data Kemendikbudristek, ada 42 orang. Tetapi, menurut Edy, semuanya 43 siswa.
”Per kelas ada yang hanya enam, ada yang tujuh. Kebetulan selama saya di sini, saya belum mengelola BOS, kecuali kepala sekolah yang lama,” tambahnya.
Edy berharap, pemerintah melihat kondisi SDN Panaongan 4. Para siswa setidaknya mendapat kelayakan dalam belajar. Minimal ada ruang kelas. Sebab, spirit siswa menjadi dasar pertimbangan yang layak. ”Ini demi semangat siswa di sini agar tidak pudar,” harapnya.
Kepala Disdik Sumenep Agus Dwi Saputra mengaku belum mengetahui banyak tentang SDN Panaongan 4. Dia beralasan baru menjabat kepala dinas menggantikan Moh. Iksan selaku pelaksana tugas (Plt). ”Nanti saya cek,” kata Agus melalui sambungan telepon Kamis (16/6).
Menurut dia, infrastruktur berkaitan dengan kebutuhan. Penganggarannya melalui dana alokasi khusus (DAK). Tahun ini belum bisa dilaksanakan karena sudah di-plotting. ”Semoga bisa di tahun 2023,” ucapnya.
Menurut mantan kepala disperindag itu, kondisi itu tidak hanya dialami SDN Panaongan 4. Di beberapa wilayah justru ada yang lebih parah. Namun, dia tidak memberikan perincian. (*/luq)