29.4 C
Madura
Thursday, March 30, 2023

Istiqamah Berpuasa, Jualan Kelapa demi Sekolahkan Anak

SUMENEP – Di balik laki-laki sukses ada perempuan hebat. Peribahasa itu juga cocok disematkan kepada Bupati Sumenep KH A. Busyro Karim. Kesuksesannya tidak lepas dari Nyai Hj Nuraniyah, ibu kandungnya.

Masyarakat tentu sudah kenal dengan KH A. Busyro Karim. Sejak masih muda, dia kerap menyapa. Jauh sebelum dia menjadi ketua DPRD Sumenep dua periode hingga menjadi bupati dua periode, dia sudah menjadi penceramah kondang.

Tetapi, tidak semua kenal dengan nama Nyai Hj Nuraniyah. Perempuan yang menjanda sejak usia muda inilah yang memiliki peran besar dalam kepribadian Kiai Busyro. Dialah ibu kandung dari orang nomor satu di Kota Keris saat ini.

Kiai Busyro menuturkan, peran ibunya sangat besar. Dia sosok perempuan yang kuat, mandiri, dan istiqamah beribadah. ”Keistimewaan beliau di mata saya, umi itu hafal Alquran. Kedua, beliau istiqamah berpuasa Senin dan Kamis. Kebiasaan puasa Senin dan Kamis dilakukan sejak beliau belum menikah,” terang dia kepada Jawa Pos Radar Madura (JPRM) di pendapa bupati Kamis malam (19/4).

”Waktu masih muda, umi puasa Senin dan Kamis sambil lalu menghafalkan Alquran,” tegasnya. Setiap malam Nyai Nuraniyah juga istiqamah salat Tahajud. Padahal, kegiatan mengajar santri kala itu terkadang hingga pukul 24.00.

Setelah salat Subuh, melanjutkan mengaji Alquran. Kiai Busyro juga diwajibkan membaca surah Yasin, Al-Waqi’ah, atau Al-Mulk sehabis salat Subuh. ”Kalau tidak baca, saya langsung dimarahi. Itu mengajarkan kedisiplinan bagi saya,” terangnya.

Tidak ada catatan pasti tanggal berapa Nyai Nuraniyah dilahirkan. Tetapi ketika meninggal dunia pada 2002, usia Nyai Nuraniyah sekitar 55 tahun. Jika ditarik mundur, Nyai Nuraniyah lahir sekitar 1947 atau di awal-awal Indonesia merdeka.

Sembari berbincang-bincang, Kiai Busyro menyodorkan buku Berjuang Seorang Diri; Jejak Perjalanan KH A. Busyro Karim karya Hambali Rasidi (2008). Di buku tersebut diulas peran besar seorang Nyai Nuraniyah terhadap kepribadian Kiai Busyro.

Nyai Nuraniyah memang rajin menimba ilmu sejak muda. Waku kecil, dia tinggal di Pondok Pesantren Pajinggaan (kini berubah menjadi Yayasan Miftahul Ulum) Kelurahan Bangselok, Kecamatan Kota Sumenep. Pesantren itu diasuh oleh pamannya, KH Miftahol Arifin. Kiai Miftahol merupakan kakak kandung Kiai Said, ayah Nyai Nuraniyah.

Baca Juga :  Nyekar ke Rembang, Puti Guntur: Kartini Inspirasi bagi Perempuan

Di pesantren tersebut dia mulai belajar menghafal Alquran. Pada saat itu, dia juga menempuh pendidikan formal di sekolah dasar Nahdlatul Ulama (SD NU). Lokasinya tak jauh dari pondok. Sekolah formal itu tidak tuntas. Sebab, Nyai Nuraniyah dinikahkan dengan Kiai Karim, putra KH Muhammad Thoha, asal Bluto.

Dari pernikahan itui, lahirlah seorang bayi mungil dan tampan. Laki-laki yang diharapkan menjadi pelita keluarga. Diberi nama Busyro. Busyro merupakan kata berbahasa Arab yang bermakna kebahagiaan. Inilah tanda kebahagiaan Nyai Nuraniyah sekaligus kebahagiaan bagi Nyai Halimatus Sa’diyah, nenek Busyro.

Satu tahun setelah melahirkan, biduk rumah tangga Nyai Nuraniyah retak. Dia berpisah dengan Kiai Karim. Kemudian, Kiai Karim menikah dengan perempuan lain. Sedangkan di lubuk hati terdalam Nyai Nuraniyah memiliki cinta yang tulus kepada sang suami. Bahkan, dia keberatan membagi cintanya untuk orang lain. Dia memilih untuk tidak menikah lagi. Meskipun, saat itu banyak yang hendak memperistrinya.

Nyai Nuraniyah memilih membesarkan sendiri Busyro kecil bersama Nyai Halimatus Sa’diyah. Dua perempuan yang sama-sama memiliki pendirian kuat, alim, dan istiqamah beribadah. ”Makanya, di buku itu (Berjuang Seorang Diri, Red) dikasih subjudul Masa Kecil Bersama Dua Perempuan. Itu maksudnya ibu dan nenek saya,” tuturnya.

Meski menjanda, Nyai Nuraniyah punya kepedulian tinggi terhadap pendidikan Busyro. Busyro tidak hanya diwajibkan belajar ilmu agama, tetapi juga ilmu umum. Karena itu, Busyro kecil disekolahkan di SDN Paberasan. ”Sebelum berangkat sekolah, umi biasanya berpesan, ’Kamu harus jadi orang pintar’. Kadang juga pesannya, ’Kamu harus berani’. Ketiga, harus jujur,” paparnya.

Kalimat itu menjadi pelecut Kiai Busyro kecil untuk menjadi orang sebagaimana dicita-citakan orang tuanya. Ketika dewasa, tiga pesan itu, menurut Kiai Busyro, justru memiliki pesan yang sangat kuat. Ketiga-tiganya harus dimiliki oleh orang yang ingin sukses.

”Kalau cuma pintar tapi tidak berani, tidak akan sukses lah. Berani, pintar, tapi tidak jujur juga akan habis. Ini interpretasi saya atas pesan umi,” jelas bupati dua periode itu. ”Itu yang paling sering saya dengar sejak kecil,” tegasnya.

Kisah lain datang ketika Kiai Busyro menempuh pendidikan PGA. Waktu itu Kiai Busyro sangat fokus belajar kitab kuning. Dia sempat pamit kepada Nyai Nuraniyah untuk berhenti sekolah. Dengan alasan, ingin fokus belajar agama dan meneruskan perjuangan pesantren, yakni menjadi kiai.

Baca Juga :  Bunda-Bunda Guru Harus Berperan Aktif

”Apa kata umi? Sudahlah gak usah berhenti. Meskipun tidak terlalu rajin, yang penting bersekolah. Tidak apa-apa asal tidak berhenti sekolah,” kata Kiai Busyro menirukan kalimat Nyai Nuraniyah.

Nyai Nuraniyah juga punya kepedulian terhadap pendidikan kaum hawa. Ketika ada gadis dari sanak familinya yang tidak menempuh pendidikan di pesantren, biasanya langsung diingatkan. Baginya, perempuan tidak hanya bertugas di dapur, sumur, dan kasur. Perempuan juga harus pintar.

”Umi sering bercerita tentang perempuan-perempuan sukses kepada para gadis sanak famili. Itu untuk memotivasi agar walaupun perempuan tetap harus menempuh pendidikan,” tambahnya.

Ketika Kiai Busyro menjadi ketua DPRD Sumenep, Nyai Nuraniyah juga tetap memberikan nasihat. Yang paling ditekankan olehnya yakni masa depan pesantren. Jadi apa pun kesibukan Kiai Busyro, bagi Nyai Nuraniyah, pesantren tetap harus diperhatikan dan diutamakan.

”Umi bilang ngastete (hati-hati, Red) karena jadi ketua DPRD. Beliau juga bilang ’Tapi jangan lupa pondoknya,” kisahnya.

Atas pesan itulah, pada 1999 Kiai Busyro memilih menjadi anggota DPRD Sumenep. Padahal saat itu dia punya kesempatan menjadi anggota DPR RI atau DPRD Jawa Timur. Sebab ketika itu dia menjabat ketua DPC PKB Sumenep. ”Kalau saya mau, saya bisa jadi anggota DPRD Jawa Timur atau DPR RI. Tapi karena saya diminta untuk tetap di pesantren, saya memilih jadi anggota DPRD Sumenep,” tegasnya.

Kisah tentang Nyai Nuraniyah ini tengah diangkat menjadi sebuah film. Prosesnya sedang separo jalan. Film yang disutradarai Liza Ulfa Maesura ini mengangkat kisah tentang perjuangan Nyai Nuraniyah ketika menjanda. ”Beliau itu janda. Tapi beliau tetap menyekolahkan putranya hingga perguruan tinggi,” kata Liza, Jumat (20/4).

Banyak kisah inspiratif dari perjalanan Nyai Nuraniyah. Menurut Liza, Nyai Nuraniyah biasanya menjual kelapa hasil di kebun untuk membiayai pendidikan Kiai Busyro. Bahkan tak jarang pohon kelapanya yang dijual manakala butuh biaya cukup besar. ”Beliau itu hidupnya serba terbatas. Tapi, beliau tidak mau mengorbankan pendidikan putranya,” tutur Liza.

SUMENEP – Di balik laki-laki sukses ada perempuan hebat. Peribahasa itu juga cocok disematkan kepada Bupati Sumenep KH A. Busyro Karim. Kesuksesannya tidak lepas dari Nyai Hj Nuraniyah, ibu kandungnya.

Masyarakat tentu sudah kenal dengan KH A. Busyro Karim. Sejak masih muda, dia kerap menyapa. Jauh sebelum dia menjadi ketua DPRD Sumenep dua periode hingga menjadi bupati dua periode, dia sudah menjadi penceramah kondang.

Tetapi, tidak semua kenal dengan nama Nyai Hj Nuraniyah. Perempuan yang menjanda sejak usia muda inilah yang memiliki peran besar dalam kepribadian Kiai Busyro. Dialah ibu kandung dari orang nomor satu di Kota Keris saat ini.


Kiai Busyro menuturkan, peran ibunya sangat besar. Dia sosok perempuan yang kuat, mandiri, dan istiqamah beribadah. ”Keistimewaan beliau di mata saya, umi itu hafal Alquran. Kedua, beliau istiqamah berpuasa Senin dan Kamis. Kebiasaan puasa Senin dan Kamis dilakukan sejak beliau belum menikah,” terang dia kepada Jawa Pos Radar Madura (JPRM) di pendapa bupati Kamis malam (19/4).

”Waktu masih muda, umi puasa Senin dan Kamis sambil lalu menghafalkan Alquran,” tegasnya. Setiap malam Nyai Nuraniyah juga istiqamah salat Tahajud. Padahal, kegiatan mengajar santri kala itu terkadang hingga pukul 24.00.

Setelah salat Subuh, melanjutkan mengaji Alquran. Kiai Busyro juga diwajibkan membaca surah Yasin, Al-Waqi’ah, atau Al-Mulk sehabis salat Subuh. ”Kalau tidak baca, saya langsung dimarahi. Itu mengajarkan kedisiplinan bagi saya,” terangnya.

Tidak ada catatan pasti tanggal berapa Nyai Nuraniyah dilahirkan. Tetapi ketika meninggal dunia pada 2002, usia Nyai Nuraniyah sekitar 55 tahun. Jika ditarik mundur, Nyai Nuraniyah lahir sekitar 1947 atau di awal-awal Indonesia merdeka.

- Advertisement -

Sembari berbincang-bincang, Kiai Busyro menyodorkan buku Berjuang Seorang Diri; Jejak Perjalanan KH A. Busyro Karim karya Hambali Rasidi (2008). Di buku tersebut diulas peran besar seorang Nyai Nuraniyah terhadap kepribadian Kiai Busyro.

Nyai Nuraniyah memang rajin menimba ilmu sejak muda. Waku kecil, dia tinggal di Pondok Pesantren Pajinggaan (kini berubah menjadi Yayasan Miftahul Ulum) Kelurahan Bangselok, Kecamatan Kota Sumenep. Pesantren itu diasuh oleh pamannya, KH Miftahol Arifin. Kiai Miftahol merupakan kakak kandung Kiai Said, ayah Nyai Nuraniyah.

Baca Juga :  Sosok Imam S.Arifin bagi Teman Dekatnya

Di pesantren tersebut dia mulai belajar menghafal Alquran. Pada saat itu, dia juga menempuh pendidikan formal di sekolah dasar Nahdlatul Ulama (SD NU). Lokasinya tak jauh dari pondok. Sekolah formal itu tidak tuntas. Sebab, Nyai Nuraniyah dinikahkan dengan Kiai Karim, putra KH Muhammad Thoha, asal Bluto.

Dari pernikahan itui, lahirlah seorang bayi mungil dan tampan. Laki-laki yang diharapkan menjadi pelita keluarga. Diberi nama Busyro. Busyro merupakan kata berbahasa Arab yang bermakna kebahagiaan. Inilah tanda kebahagiaan Nyai Nuraniyah sekaligus kebahagiaan bagi Nyai Halimatus Sa’diyah, nenek Busyro.

Satu tahun setelah melahirkan, biduk rumah tangga Nyai Nuraniyah retak. Dia berpisah dengan Kiai Karim. Kemudian, Kiai Karim menikah dengan perempuan lain. Sedangkan di lubuk hati terdalam Nyai Nuraniyah memiliki cinta yang tulus kepada sang suami. Bahkan, dia keberatan membagi cintanya untuk orang lain. Dia memilih untuk tidak menikah lagi. Meskipun, saat itu banyak yang hendak memperistrinya.

Nyai Nuraniyah memilih membesarkan sendiri Busyro kecil bersama Nyai Halimatus Sa’diyah. Dua perempuan yang sama-sama memiliki pendirian kuat, alim, dan istiqamah beribadah. ”Makanya, di buku itu (Berjuang Seorang Diri, Red) dikasih subjudul Masa Kecil Bersama Dua Perempuan. Itu maksudnya ibu dan nenek saya,” tuturnya.

Meski menjanda, Nyai Nuraniyah punya kepedulian tinggi terhadap pendidikan Busyro. Busyro tidak hanya diwajibkan belajar ilmu agama, tetapi juga ilmu umum. Karena itu, Busyro kecil disekolahkan di SDN Paberasan. ”Sebelum berangkat sekolah, umi biasanya berpesan, ’Kamu harus jadi orang pintar’. Kadang juga pesannya, ’Kamu harus berani’. Ketiga, harus jujur,” paparnya.

Kalimat itu menjadi pelecut Kiai Busyro kecil untuk menjadi orang sebagaimana dicita-citakan orang tuanya. Ketika dewasa, tiga pesan itu, menurut Kiai Busyro, justru memiliki pesan yang sangat kuat. Ketiga-tiganya harus dimiliki oleh orang yang ingin sukses.

”Kalau cuma pintar tapi tidak berani, tidak akan sukses lah. Berani, pintar, tapi tidak jujur juga akan habis. Ini interpretasi saya atas pesan umi,” jelas bupati dua periode itu. ”Itu yang paling sering saya dengar sejak kecil,” tegasnya.

Kisah lain datang ketika Kiai Busyro menempuh pendidikan PGA. Waktu itu Kiai Busyro sangat fokus belajar kitab kuning. Dia sempat pamit kepada Nyai Nuraniyah untuk berhenti sekolah. Dengan alasan, ingin fokus belajar agama dan meneruskan perjuangan pesantren, yakni menjadi kiai.

Baca Juga :  Peringati Hari Kartini Petugas Gunakan Busana Tradisional

”Apa kata umi? Sudahlah gak usah berhenti. Meskipun tidak terlalu rajin, yang penting bersekolah. Tidak apa-apa asal tidak berhenti sekolah,” kata Kiai Busyro menirukan kalimat Nyai Nuraniyah.

Nyai Nuraniyah juga punya kepedulian terhadap pendidikan kaum hawa. Ketika ada gadis dari sanak familinya yang tidak menempuh pendidikan di pesantren, biasanya langsung diingatkan. Baginya, perempuan tidak hanya bertugas di dapur, sumur, dan kasur. Perempuan juga harus pintar.

”Umi sering bercerita tentang perempuan-perempuan sukses kepada para gadis sanak famili. Itu untuk memotivasi agar walaupun perempuan tetap harus menempuh pendidikan,” tambahnya.

Ketika Kiai Busyro menjadi ketua DPRD Sumenep, Nyai Nuraniyah juga tetap memberikan nasihat. Yang paling ditekankan olehnya yakni masa depan pesantren. Jadi apa pun kesibukan Kiai Busyro, bagi Nyai Nuraniyah, pesantren tetap harus diperhatikan dan diutamakan.

”Umi bilang ngastete (hati-hati, Red) karena jadi ketua DPRD. Beliau juga bilang ’Tapi jangan lupa pondoknya,” kisahnya.

Atas pesan itulah, pada 1999 Kiai Busyro memilih menjadi anggota DPRD Sumenep. Padahal saat itu dia punya kesempatan menjadi anggota DPR RI atau DPRD Jawa Timur. Sebab ketika itu dia menjabat ketua DPC PKB Sumenep. ”Kalau saya mau, saya bisa jadi anggota DPRD Jawa Timur atau DPR RI. Tapi karena saya diminta untuk tetap di pesantren, saya memilih jadi anggota DPRD Sumenep,” tegasnya.

Kisah tentang Nyai Nuraniyah ini tengah diangkat menjadi sebuah film. Prosesnya sedang separo jalan. Film yang disutradarai Liza Ulfa Maesura ini mengangkat kisah tentang perjuangan Nyai Nuraniyah ketika menjanda. ”Beliau itu janda. Tapi beliau tetap menyekolahkan putranya hingga perguruan tinggi,” kata Liza, Jumat (20/4).

Banyak kisah inspiratif dari perjalanan Nyai Nuraniyah. Menurut Liza, Nyai Nuraniyah biasanya menjual kelapa hasil di kebun untuk membiayai pendidikan Kiai Busyro. Bahkan tak jarang pohon kelapanya yang dijual manakala butuh biaya cukup besar. ”Beliau itu hidupnya serba terbatas. Tapi, beliau tidak mau mengorbankan pendidikan putranya,” tutur Liza.

Artikel Terkait

Most Read

Artikel Terbaru

/