Kesejahteraan guru honorer nonkategori memprihatinkan. Mereka hanya dibayar Rp 150 ribu setiap bulan. Tanggung jawab mendidik siswa tidak berbeda dengan guru yang lain.
PRENGKI WIRANANDA, Pamekasan
RUANG rapat Komisi IV DPRD Pamekasan masih ramai hingga kemarin (21/2). Cium pipi kanan cium pipi kiri (cipika cipiki) dan mengucapkan selamat atas dilantiknya Bambang Harto Cahyono sebagai anggota dewan belum usai. Puluhan guru berseragam PGRI antre masuk ruangan itu.
Guru berpenampilan rapi itu datang bukan untuk menyampaikan selamat. Tetapi, mereka datang untuk menyampaikan nasib. Segudang keluhan atas perlakuan pemerintah sejak puluhan tahun mereka terima akan diadukan kepada wakil rakyat.
Pria berkopiah berada di barisan depan. Di tangannya, map biru tebal berisi aspirasi guru. Di dalam map tersebut, terdapat kuitansi pembayaran honor tiap guru yang mengajar di sekolah dasar negeri (SDN) itu.
Guru yang berjejer di depan ruang rapat komisi IV tidak kunjung masuk. Euforia pelantikan dewan belum kunjung usai. Sekitar 15 menit berselang, ruangan steril. Hanya wakil rakyat yang ada di dalam.
Para pahlawan tanpa tanda jasa itu pun masuk satu per satu. Puluhan guru itu langsung menempati kursi tamu di ruang rapat tersebut. Jajan dan air mineral berangsur diberikan kepada pengajar itu.
Ketua Forum Guru Honorer Nonkategori Pamekasan Mohammad Sahi mengatakan, perlakuan pemerintah terhadap guru honorer nonkategori kurang baik. Kesehatan dan kesejahteraan mereka tidak dijamin. Setiap bulan guru hanya digaji Rp 150 ribu.
Ironisnya, gaji yang teramat kecil itu dibagikan tidak setiap bulan. Tetapi, dirapel setiap tiga bulan sekali. ”Apa iya, selama tiga bulan kami tidak makan?” katanya.
Kemudian, kesehatan juga tidak dijamin. Beberapa waktu lalu, ada istri guru honorer nonkategori sakit dan harus dirujuk ke rumah sakit. Guru tersebut tidak memiliki uang untuk biaya. Akibatnya, dia harus ngutang kepada tetangga.
Sendainya guru honorer nonkategori itu mendapat fasilitas jaminan kesehatan, akan lebih mudah berobat jika sakit. Karena itu, Sahi berharap pemerintah lebih memperhatikan nasib guru tersebut.
Menurut dia, honor Rp 150 ribu setiap bulan sangat tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Sementara, untuk mencari kerja lain, mereka tidak bisa. Sebab, guru honorer nonkategori itu hanya memiliki jatah libur hari Minggu.
Selain kesejahteraan dan kesehatan yang tidak dijamin oleh pemerintah, mereka kerap mendapat intimidasi dari pimpinan sekolah. Jika melakukan kesalahan sedikit saja, semisal terlambat, ancamannya langsung pemecatan.
Kepala sekolah bisa kapan saja memecat guru honorer nonkategori. Meski mengabdi puluhan tahun, jika kepala sekolah ingin memecat, itu sangat bisa. Sebab, mereka tidak memiliki legalitas sebagai guru honor dari pemerintah.
Sahi berharap, bukan hanya guru honorer kategori dua (K-2) yang diberi SK oleh pemerintah. Tetapi, guru nonkategori juga diperlakukan sama. ”Kami memohon keadilan dari pemerintah,” ucapnya.
Pria yang mengajar di SDN Larangan Badung 6 itu menyampaikan, sejauh ini guru honorer itu belum merasakan keadilan. Perlakuan pemerintah terhadap sesama honorer saja tidak sama.
Yakni, bagi guru pendidikan agama Islam dan pendidikan jasmani, olahraga, dan kesehatan mendapat honor tinggi. Sementara honorer lainnya, meski sudah puluhan tahun mengabdi, honornya tetap Rp 150 ribu. ”Guru honorer nonkategori berjumlah 1.789 orang,” katanya.
Ketua Komisi IV DPRD Pamekasan Muhammad Sahur berjanji akan memperjuangkan guru honorer nonkategori itu. Menurut dia, gaji Rp 150 ribu setiap bulan tersebut sangat tidak manusiawi.
Meski tidak mencapai gaji honorer kategori dua, dewan akan memperjuangkan ada peningkatan nominal. Harapannya, kebutuhan biaya hidup guru itu lebih terjamin. ”Kalau kebutuhan hidup terjamin, mengajarnya juga lebih maksimal,” katanya.
Dewan bakal memanggil Dinas Pendidikan (Disdik) Pamekasan untuk mencari solusi keluh kesah honorer tersebut. Harapannya, dalam waktu dekat, solusi terbaik segera ditemukan.
Di tempat terpisah, Kepala Disdik Pamekasan Moch. Tarsun mengatakan, gaji honor nonkategori itu berdasarkan kesepakatan antara yang bersangkutan dan pihak sekolah. Sebab, mereka melamar ke sekolah, bukan pada pemerintah.
Meski demikian, pemerintah tidak menutup mata. Mereka diberi tunjangan hari raya (THR) Rp 600 ribu. Disdik bakal berupaya memperjuangkan nominal THR itu ditingkatkan. ”Mohon bersabar, kami akan terus memperjuangkan,” pintanya.