Setiap yang hidup pasti akan mati. Begitu juga dengan pertemuan, harus siap diakhiri dengan perpisahan. Begitulah hidup dan kenyataan yang mesti dihadapi. Manusia hanya merangkai kisah, lalu ditinggalkan sebagai kenangan.
MOH. JUNAIDI, Sumenep, Jawa Pos Radar Madura
KEPERGIAN maestro musik dangdut Imam S. Arifin sungguh memukul hati kawan-kawan seperjuangannya. Baru sebulan yang lalu mereka berkumpul lagi di kota kelahirannya, Sumenep.
Penyanyi dengan sederet album lagu itu pulang ke Kota Keris pasca keluar dari penjara, dan berniat menemui kawan-kawannya. Hal itu dilakukan Imam untuk mencari sedikit hiburan dan ketenangan akan kehidupan kelam yang merundungnya.
Sadey Gozal menuturkan, kepulangan Imam ke Sumenep benar-benar disambut secara istimewa. Betapa tidak, nyaris tiap hari, pergi-pulang, Sadey Gozal meluangkan waktu untuk menjemput dan mengantar hanya untuk menyeduh secangkir kopi bersama, dan bernyanyi ria satu sampai dua lagu. ”Itu yang kami lakukan sebelum dia berpulang,” ungkapnya saat takziah ke rumah almarhum, Sabtu (18/12).
Sadey menuturkan, Imam merupakan sosok periang dan sangat menghargai kebersamaan. Kemasyhurannya di belantara musik dangdut tanah air tidak lantas membuatnya lupa kawan-kawannya. ”Itu yang paling membekas di hati kami,” tambahnya.
Soedarmaji, Moh. Rifai, Sadey Gozal, dan Abdullah adalah kawan-kawan satu angkatan. Konon, mereka pernah membentuk satu grup musik bernama Aretka tahun 1980-an. Imam, memang mengambil posisi sebagai vokalis. Grup itu, kata Sadey, biasa tampil di Radio Republik Indonesia (RRI) Sumenep. Sesekali juga dapat undangan tampil di acara manten atau resepsi pernikahan.
”Satu angkatan itu ada Yus Yunus, Imam, Nono, dan Encung Hariyadi. Mereka juga satu angkatan,” terang Sadey.
Ingat grup tersebut, mereka berupaya menghadirkan kembali memori empat dasawarsa silam. Sebuah kisah, yang kata Sadey akan selalu hidup dalam Potret Kenangan mereka. Berawal dari grup itu, Imam benar-benar mengasah kemampuan vokal dan penciptaan lagu. ”Iya, betul. Kami punya grup musik itu. Tapi, masih tradisional sekali peralatannya,” kata Sadey.
Bisa dibayangkan, kata Sadey, bagaimana kegigihan penyanyi mantan kekasih Nana Mardiana itu. Bahkan, mereka menyebut Imam berada di nomor dua setelah raja dangdut Rhoma Irama. Dalam hal penciptaan lagu, Sadey menyebut Imam berkiblat pada Rhoma Irama, Broery Bojo Limo, dan Ebiet G. Ade. ”Dari mereka, lahirlah Imam S. Arifin,” ungkapnya.
Penyanyi yang menyebut lebih baik putih tulang daripada putih mata itu memang sosok istimewa bagi kawan-kawannya. Maklum, jika kemudian kematiannya menyentak hati mereka. ”Doa suci kami baginya,” tegas Sadey.
Siang itu, suasana di rumah duka benar-benar diselimuti mendung, gerimis kesedihan hanya tertahan di dahan-dahan pohon, dan mata sahabatnya. Kepergian, memang kerap menyisakan kepiluan. ”Tapi, toh kehidupan hanya butuh satu kunci, pemahaman,” timpal Abdullah.
Sementara itu, budayawan Ibnu Hajar, yang juga merupakan kawan dekatnya mengungkapkan, Imam adalah kreator yang tidak hanya sekadar menyanyi. Tetapi, juga seorang pecinta.
”Hal itu yang saya temukan dalam sosok Imam S. Arfin. Sangat sulit menemukan penyanyi yang juga pencipta lagu,” kata Ibnu.
Imam, bagi dia tidak hanya mampu terkenal, melainkan juga bisa mengharumklan tanah kelahirannya, Sumenep. Dengan adanya trio Sakera, seperti Yus Yunus, Jhonny Iskandar, dan dilengkapi Imam S. Arfin, Sumenep patut memberikan apresiasi kepadanya. ”Sangat patut dia diapresiasi,” tambahnya.
Bahkan, kata Ibnu, Imam, melalui musik dangdutnya mampu mengangkat dinamika kultural masyarakat Madura. Yakni, bahasa-bahasa daerah yang dipopulerkan ke dalam lagunya, yakni Ancor Pessena Tellor, dan Lebih Baik Putih Tulang daripada Putih Mata.
Artinya, Imam berupaya memasukkan unsur-unsur kearifan lokal melalui bahasa-bahasa cinta dalam lagunya. ”Dan itu tidak hanya sekadar entertain an sich, nggak. Makanya, dia pantas dijadikan sebagai kreator dan legenda dangdut, tidak hanya bagi Madura, bahkan Indonesia,” tutup budayawan penulis buku Perempuan Kecil Pembawa Besi itu.