Fenomena mudik Lebaran menjadi budaya yang tak terelakkan. Pulang kampung berkumpul bersama keluarga saat Lebaran. Namun, tidak demikian dengan Supriadi, sopir bus antarkota antarprovinsi (AKAP) yang tidak bisa berlebaran karena tugas.
JUNAIDI PONDIYANTO, Sumeenp, Jawa Pos Radar Madura
KURSI kemudi bus berpuluh-puluh tahun menjadi tempat paling sering ditempati Supriadi. Dengung suara mesin, gerak jarum spidometer, hingga pedal gas seakan menyatu dengannya. Entah berapa ribu kilometer jalan yang sudah ditempuh.
Pekerjaan itu sudah ditekuni Supriadi sekitar 30 tahunan. Menjadi pejuang transportasi mengantarkan penumpang hingga pada titik tujuan. Dia juga bertanggung jawab atas keselamatan penumpang agar tidak menjadi korban kecelakaan lalu lintas (laka lantas).
Saat ditemui di Terminal Tipe A Arya Wiraraja Sumenep, Supriadi mengaku belum lama tiba di terminal. Mengemudikan bus Gunung Harta rute Jakarta–Madura. Perusahaan otobus (PO) yang menjadi tempatnya bekerja selama tujuh tahun terakhir.
Sebelum menyopiri bus Gunung Harta, Supriadi berpindah-pindah PO. Salah satunya, sopir bus pariwisata rute Madura–Jakarta. Bukan waktu yang singkat dan bukan pula pekerjaan mudah. Namun, Supriadi mantap menjadikan pekerjaannya sebagai ladang untuk beribadah.
Sebagai sopir bus, Supriadi menyaksikan langsung geliat budaya mudik menjelang Lebaran. Peningkatan jumlah penumpang pasti terjadi memasuki bulan puasa dan menjelang Hari Raya Idul Fitri.
Merasakan hangatnya kebersamaan dengan keluarga pada momen hari raya. Ya, itu sebatas harapan yang sulit diwujudkan Supriadi. Sebab, peningkatan jumlah penumpang berarti menambah beban tugasnya.
Tidak bisa pulang saat Lebaran kini menjadi hal biasa bagi Supriadi. Pengalaman yang sama mungkin juga dirasakan kru bus yang lain. Mereka harus menahan rindu dan tidak mudik karena bus tetap beroperasi mengantarkan penumpang.
Protes dari istri dan anak-anak juga kerap diterima Supriadi. Meminta dia untuk sejenak pulang dan tidak berlebaran di jalanan. Namun pada akhirnya, keluarga Supriadi harus memaklumi dan menerima keadaan tersebut.
”Ayo ayah pulang, masak hari raya di jalan,” kenang Supriadi menirukan ucapan salah seorang anaknya.
Namun, pengalaman baru dialami Supriadi pada 2020. Akhirnya, dia bisa berlebaran bersama keluarga di rumah setelah pemerintah mengeluarkan kebijakan larangan mudik. Perusahaannya mengizinkan PO Gunung Harta tidak beroperasi.
”Saya tidak pernah Lebaran di rumah selama puluhan tahun. Baru tahun 2020 lalu saya bisa kumpul dengan keluarga. Sebab, mudik dilarang,” tutur laki-laki asal Kecamatan Gondanglegi, Kabupaten Malang, itu.
Disinggung kabar larangan mudik tahun ini, Supriadi menyatakan akan mengikuti kebijakan pemerintah tersebut. Namun, dia mengeluh karena pemasukannya berkurang drastis. Sebab, Pasalnya larangan mudik berbarengan dengan momen meningkatnya penumpang.
Momen itu merupakan salah satu kesempatan yang ditunggu perusahaan jasa transportasi karena akan banjir pesanan. Di sisi lain, larangan mudik menjadi kesempatan bagi Supriadi agar berlebaran bersama keluarga. Namun, sebagai buruh, Supriadi tetap akan mengikuti instruksi pimpinan.
”Kalau saya sih netral (mudik, Red). Dilarang lagi, saya akan patuh. Kalau tidak dilarang, perusahaan pasti meminta saya tetap bekerja. Dan itu tetap akan saya lakoni,” jelas pria berusia 53 tahun itu.