Kiai Faizi bukan polisi lalu lintas (polantas). Tapi, dia sering jadi narasumber acara terkait dengan lalu lintas. Hasil pengamatannya tentang perilaku manusia di jalan raya dituangkan dalam buku.
DARI garis kekiaian, Kiai M. Faizi merupakan generasi keempat dari pendiri Pondok Pesantren Annuqayah Guluk-Guluk. Dia putra Kiai Abd. Adhim. Kiai Abd. Adhim merupakan putra Nyai Muthmainah. Nyai Mutmainah adalah putri Nyai Aisyah yang merupakan putri Kiai Syarqawi, pendiri Ponpes Annuqayah.
Nama Kiai Faizi tak hanya dikenal sebagai pengasuh pondok pesantren. Tetapi juga dikenal sebagai seniman. Baik di bidang sastra maupun di bidang musik. Dia juga dikenal sebagai pemerhati masalah lingkungan.
Di tengah kesibukannya mengurus pondok pesantren, kiai ini aktif menulis. Tulisannya dipublikasikan melalui media sosial, laman kormeddal.blogspot.com, sabajarin.wordpress.com, media massa, dan banyak buku.
Topik yang dibahas beragam. Mulai dari karya sastra, catatan perjalanan, pengendalian sampah, agama, dan lain-lain. Salah satu buku kiai yang sedang mendalami fingerstyle dalam memainkan gitar ini berjudul Celoteh Jalanan.
”Itu bukan soal bus, melainkan transportasi jalan umum. Habitus atau perilaku manusia di jalan raya,” ungkapnya kepada tim Acabis, Sabtu (10/4).
Dia kemudian menjelaskan perilaku pengguna jalan raya. Menurut dia, generasi saat ini adalah generasi gagal. ”Misal begini, perilaku kita cuma 1 kilometer saja kita nglakson-nya sampai tujuh kali. Itu buat apa?” ucapnya.
Dia mengajak berpikir perilaku pengendara yang suka mengobrak bunyi klakson. Menurut dia, andai sekali pencet klakson pulsa habis Rp 5 ribu, pengendara tidak akan sembarangan membunyikan klakson. Karena itu, dalam catatan Fikih Jalan Raya-nya dia menulis ”jangan buang klakson ke sembarang terlinga”.
”Saya mengatakan, generasi ini generasi gagal di jalan. Kita sudah tidak bisa diperbaiki. Harus menunggu anak cucu kita kayaknya,” jelas kiai penyuka kopi itu.
Menurut dia, mudahnya pengendara menyalakan klakson tidak hanya pemborosan energi. Tetapi polusi suara. Dia juga membahas perilaku orang parkir kendaraan dan menyalakan lampu sein. Sebab, banyak yang tidak jujur dalam berkendara. Sein nyala kanan, tapi belok kiri atau sebaliknya. Ada juga yang belok tanpa menyalakan sein.
”Itu yang saya bahas. Ada juga dari perspektif ushul fiqh. Ada juga dari budaya atau kata orang Madura tengka,” papar penulis buku Ruang Kelas Berjalan itu.
Faizi optimistis generasi berikutnya bisa lebih baik dari generasi sekarang dalam berlalu lintas. Hal itu mengacu pada perkembangan pendidikan. Selain itu juga berkembangnya teknologi dalam pengawasan berlalu lintas.
Menurut dia, sekarang orang lebih banyak terdidik. Lebih banyak membaca. Lebih banyak tahu. Dulu, kenang dia, orang menerobos di lampu merah karena tidak ada petugas. Itu menunjukkan perilaku manusia gampang mencuri karena tidak merasa diawasi oleh Tuhan. Tapi sekarang orang tidak takut kepada petugas dan tidak takut sama Tuhan. Tapi justru takut karena diawasi karena tersembunyi atau closed-circuit television (CCTV).
Kiai Faizi mengaitkan perilaku di jalan raya dengan situasi pandemi Covid-19 saat ini. Menurut dia, generasi gagal di jalan menjadi penyebab tidak maksimalnya kampanye di rumah saja. ”Bagaimana mungkin kita bisa bertahan 14 hari di dalam rumah, wong 3 detik saja di lampu merah tidak bisa. Saya pikir itu sudah mengakar,” jelas kiai yang senang merawat Colt ”Pariwisata” T120 itu.
Yang dimaksud Faizi, tidak sedikit pengendara yang tidak sabar ketika berhenti di bawah lampu lalu lintas (traffic light). Lampu hijau baru saja menyala sudah ada yang langsung menekan tombol klakson. Padahal, tidak ada satu pun yang ingin berlama-lama di tempat itu.
Hobi bus bukan berarti Kiai Faizi punya bus. Seperti yang dia katakan bahwa anggota komunitas bus berasal dari berbagai kalangan. Termasuk dirinya yang seorang kiai pondok pesantren.
Meski demikian, dia punya Colt ”Pariwisata” T120. Kendaraan roda empat ini yang selalu setia menemaninya ke banyak tempat. Bahkan, panitia acara kadang mengundang Kiai Faizi armadanya.
Suatu ketika, Colt ”Pariwisata” T120 dibiarkan berjalan tanpa sopir di lapangan sepak bolah Guluk-Guluk. Sementara Kiai Faizi lari-lari kecil di samping kanan sebelum akhirnya meloncat ke balik setir. Teman-teman sesama penghobi Colt dan bus sering berkunjung ke rumahnya di Pondok Pesantren Annuqayah Daerah Al-Furqaan Sabajarin.
Buku Faizi yang sudah terbit antara lain berjudul Sareyang, Merentang Sajak Madura-Jerman, Jalan Keempat, Nyalasar, dan Permaisuri Malamku. Selain itu, Merusak Bumi dari Meja Makan, Beauty & The Bis, Ruang Kelas Berjalan, dan Celoteh Jalanan. Lalu, Safari; Buku Saku Perjalanan, Asmaul Husna di Hatiku, dan Doa Sehari-hari untuk Buah Hati Ayah Bunda.