SUMENEP – Perempuan Indonesia bukan hanya RA Kartini. Masih banyak perempuan-perempuan lain yang memiliki semangat juang demi mengangkat derajat kaum hawa. Salah satunya adalah Nyai Siti Maryam.
Wajah Nyai Siti Maryam sudah mulai keriput. Suaranya pelan namun sangat jelas. Usianya pun sudah menginjak 60 tahun. Tapi dalam mendidik santri, dia memiliki semangat tinggi layaknya perempuan yang masih usia 40-an.
Kamis siang (19/4), Jawa Pos Radar Madura (JPRM) menemui Nyi Seppo, sapaan akrab Nyai Siti Maryam di kediamannya. Perempuan yang lahir pada 15 Muharam sekitar 60 tahun yang lalu itu tinggal di Desa Bilapora Timur.
Butuh waktu sekitar 30 menit dari Kota Sumenep untuk sampai di rumah Nyai Siti. Dia adalah pengasuh Pondok Pesantren Darussalam.
Setelah memanggil salam, JPRM dipersilakan untuk duduk. Rumah tempat tinggal Nyai Siti menghadap ke selatan. Rumah itu bernuansa hijau. Mulai dari cat dinding hingga gorden.
Saat sowan ke dalem Nyai Siti, JPRM ditemani Kepala SMK Darussalam Musfik. Ada pula KH Ahsan Husni, menantu Nyai Siti. Termasuk Ailatul Istiqomah, cucu Nyai Siti, juga dipanggil untuk mendampingi.
”Dulu saya aktif mengisi pengajian di luar pesantren. Tapi karena sudah tua, aktivitas saya hanya di pondok,” kata Nyai Siti memulai pembicaraan.
Nyai Siti Maryam merupakan putri Kiai Jamaluddin dan Nyai Masrurah. Sebagaimana ditulis Khanifah, Nyi Seppo Sang Pendidik (Mengenal Nyai Siti Maryam, Bilapora Sumenep, Madura) disebutkan bahwa dari jalur ayah, Nyai Siti Maryam merupakan keturunan Sunan Ampel.
Silsilahnya, Nyai Siti Maryam binti Jamaluddin bin Khazin/Abdul Mu’in bin Murtadho bin Mufid bin Sihhah bin Dzu Limah bin Abdul Karim bin Syish bin Ali Zainal Abidin (Sunan Cendana) bin Khatib bin Musa bin Qasim (Sunan Drajat) bin Raden Rahmat (Sunan Ampel).
Sementara dari jalur ibu, dia merupakan keturunan dari pendiri Pondok Pesantren Annuqayah KH Muhammad Syarqawi. Nyai Siti Maryam merupakan putri Nyai Masrurah binti Tsuwaibah binti Khadijah binti Kiai Muhammad Syarqawi.
Dia menikah pada usia 13 tahun dengan Kiai Ahmad Jazuli bin Thohiruddin. Setelah menikah, dia tinggal di Pondok Pesantren Darussalam. Pesantren ini konon didirikan sekitar abad ke-19 oleh Kiai Harru, kakek Kiai Jazuli. Kepemimpinan pesantren diwariskan secara turun-temurun. Mulai 1961, pesantren tersebut dipimpin oleh Kiai Ahmad Jazuli.
Kontribusi besar Nyai Siti yaitu turut memelopori berdirinya pondok putri. Sebelum kepemimpinan Kiai Jazuli, Pondok Pesantren Darussalam hanya menerima santri putra. Barulah pada 1975 pesantren tersebut menerima santri putri. Saat itu, Nyai Siti berusia sekitar 17 tahun atau empat tahun setelah menikahi Kiai Jazuli.
Kiai Jazuli meninggal 2004. Setelah itu pondok pesantren diasuh oleh Nyi Seppo. Saat ini ada sekitar 40 santri putri dan 20 santri putra.
Di pesantren ini, Nyai Siti mendidik santri dengan ilmu-ilmu agama. Dia juga mengajar kitab fiqih, seperti Safinah an-Najah, Sullam at-Taufiq, dan lain sebagainya. Tetapi saat usianya sudah sepuh, kegiatan pengajian di pesantren diserahkan kepada santri-santri senior.
Meski sibuk menjadi pengasuh, dia tetap beraktivitas di luar pesantren. Dia pernah menjadi Ketua Muslimat NU Bilapora Timur. Juga menjadi pengurus Muslimat NU tingkat Kecamatan Ganding. ”Saya juga dulu aktif di Muslimat NU Cabang Sumenep. Ketika ada acara di Sumenep, saya sering hadir,” tuturnya.
Bagi dia, pendidikan antara laki-laki dan perempuan harus setara. Tidak hanya laki-laki yang boleh pintar. Perempuan juga harus cerdas dan berwawasan luas. Sebab, perempuan merupakan madrasah pertama bagi anak-anaknya. Karena itulah, meski dia menikah di usia 13 tahun, tapi dia melarang santri-santrinya nikah dini.
Baginya, perempuan minimal harus lulus sekolah setara SMA. Bahkan, jika ada yang mampu secara biaya, dia meminta santri-santrinya untuk melanjutkan ke perguruan tinggi. Dia berkeyakinan, pendidikan akan menentukan masa depan keluarga.
”Kalau ada santri yang baru lulus SMP dipamitkan untuk dinikahkan, saya melarangnya,” jelasnya. ”Saya bilang ke orang tuanya agar menunggu sampai lulus SMK. Alhamdulillah, rata-rata mereka mau sekolah hingga tingkat SMK,” tegasnya.
Sebagian santri memang memilih ada yang menikah sehabis lulus SMP. Tetapi, mereka tetap melanjutkan pendidikan hingga tingkat SMK. Di pesantren tersebut, lembaga pendidikan formal tersedia dari tingkat PAUD hingga SMK.
”Seandainya di sini ada perguruan tingginya, mungkin saya bisa bilang agar tidak dinikahkan sebelum mereka lulus sarjana,” paparnya. ”Tapi, saya sering bilang agar mereka melanjutkan ke perguruan tinggi,” tambahnya.
Nyai Siti juga mendorong agar perempuan tampil dalam bidang politik dan kepemimpinan. Bahkan, Desa Bilapora Timur pernah dipimpin oleh Eni Setiasih, salah satu aktivis Muslimat NU. Awalnya kepemimpinan Eni ditentang masyarakat. Tetapi, berkah bimbingan dan arahan Nyai Siti, masyarakat menerima dipimpin oleh perempuan.
”Meski perempuan, dia sangat bagus dalam memimpin desa. Masyarakat senang,” kata Nyai Siti mengenang kepemimpinan Eni Setiasih. ”Tapi setelah satu periode memimpin, dia tidak mencalonkan diri lagi. Padahal masyarakat masih senang,” imbuhnya.