21.5 C
Madura
Tuesday, June 6, 2023

Iconis IV IAIN Madura Angkat Tema Tradisi Islam Madura

ORANG Madura tidak hanya tinggal di Pulau Madura. Prof. Robert Hefner menyebut masjid dan lembaga pesantren di timur Jawa sebagian besar dibangun oleh orang Madura sejak abad ke-19.

INTERNATIONAL Conference on Islamic Studies (Iconis) & Call for Papers IAIN Madura keempat digelar via Zoom di ruang rektorat, Rabu (18/11). Tema besar yang diangkat tentang tradisi Islam Madura.

Dalam konferensi internasional itu ada empat keynote speaker yang diundang untuk mengupas tentang tradisi Islam Madura. Pertama, Prof. Robert Hefner dari Boston University, United State of America, dan Prof. Ken Miichi dari Waseda University, Jepang.

Ketiga, Yanwar Pribadi dari UIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten, dan Rektor IAIN Madura Dr. Mohammad Kosim. Keempat keynote speaker ini adalah para cendekiawan yang pernah bersentuhan langsung dan melakukan penelitian tentang Islam Madura.

Kosim memaparkan sejumlah faktor alasan tradisi Islam Madura diangkat dalam 4th Iconis ini. Pertama, tinjauan etnisitas, Madura terbesar ketiga setelah Jawa dan Sunda. Kedua, penutur bahasa Madura di Indonesia di ranking terbesar keempat setelah Jawa, Sunda, dan Melayu.

Ketiga, penyebaran Islam di Madura hampir sempurna. Dengan indikasi, sulitnya ditemukan penduduk asli Madura yang tidak beragama Islam. ”Madura identik dengan Islam, padahal Madura bukan persinggahan pertama para penyebar Islam di nusantara. Madura hanya pinggiran dari proyek islamisasi Jawa, tapi kemudian sukses dan Madura identik dengan Islam,” terangnya.

Dari alasan ketiga inilah, kata Kosim, perlu muncul kajian-kajian ilmiah tentang Islam Madura. Bagaimana mungkin ada identitas Islam yang begitu lekat dengan Madura. Untuk itu, Iconis keempat mengangkat tema tradisi Islam Madura untuk memperkaya khazanah atas Islam Madura itu sendiri. ”Ini sangat penting dikaji, ada apa di dalamnya,” tambahnya.

Baca Juga :  Pemred JPRM Usul M. Tabrani Jadi Nama Gedung Pemuda

Keempat, imbuh Kosim, ketika Hamka datang ke Madura pada 1936 menyinggung Madura sebagai pulau kecil. Namun, semangat Islam sudah masuk ke dalam sumsum orang Madura. Tanahnya miskin, tapi penduduknya kaya dengan iman.

Hamka juga menyinggung tentang surau yang ada hampir di setiap rumah tangga. Itu dianggap sebagai tanda kuatnya keberislaman orang Madura. ”Selain itu, kiai di Madura memiliki posisi sentral dan sakral,” tukasnya.

Pria kelahiran Sampang itu berharap, Iconis keempat ini bisa menggali identitas Madura lebih kompleks dan mampu mendorong peranan orang Madura di Indonesia. ”Dengan konferensi ini, kajian tentang Madura dari berbagai perspektif bisa bertambah dan bisa memperkaya tentang Madura,” katanya.

Prof. Robert Hefner menyampaikan bahwa orang Madura pandai menyesuaikan diri. Salah satu hasil penelitian yang dia lakukan menunjukkan bahwa orang Madura yang tinggal di luar Madura lebih banyak daripada yang tinggal di Pulau Garam itu.

Hanya, menurut Robert, orang Madura ini tidak banyak diketahui dan tidak banyak menunjukkan identitasnya. Bahkan, Robert mengatakan, wilayah Malang ke timur hingga Banyuwangi sebenarnya wilayah Madura.

Keberhasilan Madura menduduki ujung timur Jawa ini karena dua hal. Pertama, orang Madura banyak memelopori berdirinya masjid. ”Lembaga pesantren, di bagian timur Jawa sebagian besar dibangun oleh orang Madura, kendati orang Jawa juga ikut serta di dalamnya sejak abad ke-19,” ungkapnya.

Baca Juga :  Tertib Aset

Untuk itu, Robert mengatakan bahwa Jawa Timur sebetulnya tidak murni orang Jawa. Sebab, yang merintis di dalamnya adalah tangan-tangan orang Madura. ”Masjid dan sebagian pesantren di ujung timur ini diprakarsai oleh orang Madura,” tambahnya.

Efek dari peranan orang Madura di wilayah Jawa Timur yang begitu besar ini membuat orang Madura tidak hanya bergerak dalam pendirian masjid dan pesantren. Tapi, juga merintis pola-pola keberislaman atau islamisasi masyarakat. Ini faktor kedua mengapa Madura menguasai ujung timur Jawa.

”Setelah abad ke-18, tidak ada keraton lagi di Jawa Timur yang signifikan, tidak ada priayi seperti orang Surakarta atau Jogjakarta, jadi pola masyarakatnya lebih terfokus ke kitab kuning, belajar tentang fikih dan akhlak,” katanya.

Dia mengatakan, yang membawa pola islamisasi di wilayah Jawa Timur ini, utamanya tentang ilmu fikih dan akhlak, sebagian besar adalah orang Madura. ”Ini dimulai dari pembukaan pesantren dan pendirian masjid, dan ini kemudian menjadi fokus keislaman,” katanya.

Dalam Iconis keempat itu tidak hanya digelar seminar, tapi juga forum call for papers atau publikasi sekaligus presentasi hasil penelitian dari sejumlah akademisi dari berbagai daerah di dalam atau luar negeri.

Sekitar 65 artikel yang masuk dan mengupas tentang tradisi Islam Madura. Setelah diseleksi, hanya 46 yang masuk. Sebanyak 46 artikel ini dipresentasikan via Zoom. Presentasi ini dimulai pukul 13.00 hingga selesai. (*/luq/par)

ORANG Madura tidak hanya tinggal di Pulau Madura. Prof. Robert Hefner menyebut masjid dan lembaga pesantren di timur Jawa sebagian besar dibangun oleh orang Madura sejak abad ke-19.

INTERNATIONAL Conference on Islamic Studies (Iconis) & Call for Papers IAIN Madura keempat digelar via Zoom di ruang rektorat, Rabu (18/11). Tema besar yang diangkat tentang tradisi Islam Madura.


Dalam konferensi internasional itu ada empat keynote speaker yang diundang untuk mengupas tentang tradisi Islam Madura. Pertama, Prof. Robert Hefner dari Boston University, United State of America, dan Prof. Ken Miichi dari Waseda University, Jepang.

Ketiga, Yanwar Pribadi dari UIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten, dan Rektor IAIN Madura Dr. Mohammad Kosim. Keempat keynote speaker ini adalah para cendekiawan yang pernah bersentuhan langsung dan melakukan penelitian tentang Islam Madura.

Kosim memaparkan sejumlah faktor alasan tradisi Islam Madura diangkat dalam 4th Iconis ini. Pertama, tinjauan etnisitas, Madura terbesar ketiga setelah Jawa dan Sunda. Kedua, penutur bahasa Madura di Indonesia di ranking terbesar keempat setelah Jawa, Sunda, dan Melayu.

Ketiga, penyebaran Islam di Madura hampir sempurna. Dengan indikasi, sulitnya ditemukan penduduk asli Madura yang tidak beragama Islam. ”Madura identik dengan Islam, padahal Madura bukan persinggahan pertama para penyebar Islam di nusantara. Madura hanya pinggiran dari proyek islamisasi Jawa, tapi kemudian sukses dan Madura identik dengan Islam,” terangnya.

- Advertisement -

Dari alasan ketiga inilah, kata Kosim, perlu muncul kajian-kajian ilmiah tentang Islam Madura. Bagaimana mungkin ada identitas Islam yang begitu lekat dengan Madura. Untuk itu, Iconis keempat mengangkat tema tradisi Islam Madura untuk memperkaya khazanah atas Islam Madura itu sendiri. ”Ini sangat penting dikaji, ada apa di dalamnya,” tambahnya.

Baca Juga :  Kesan Alfiatus Sholehah Usai Video Conference dengan Mendikbud Nadiem

Keempat, imbuh Kosim, ketika Hamka datang ke Madura pada 1936 menyinggung Madura sebagai pulau kecil. Namun, semangat Islam sudah masuk ke dalam sumsum orang Madura. Tanahnya miskin, tapi penduduknya kaya dengan iman.

Hamka juga menyinggung tentang surau yang ada hampir di setiap rumah tangga. Itu dianggap sebagai tanda kuatnya keberislaman orang Madura. ”Selain itu, kiai di Madura memiliki posisi sentral dan sakral,” tukasnya.

Pria kelahiran Sampang itu berharap, Iconis keempat ini bisa menggali identitas Madura lebih kompleks dan mampu mendorong peranan orang Madura di Indonesia. ”Dengan konferensi ini, kajian tentang Madura dari berbagai perspektif bisa bertambah dan bisa memperkaya tentang Madura,” katanya.

Prof. Robert Hefner menyampaikan bahwa orang Madura pandai menyesuaikan diri. Salah satu hasil penelitian yang dia lakukan menunjukkan bahwa orang Madura yang tinggal di luar Madura lebih banyak daripada yang tinggal di Pulau Garam itu.

Hanya, menurut Robert, orang Madura ini tidak banyak diketahui dan tidak banyak menunjukkan identitasnya. Bahkan, Robert mengatakan, wilayah Malang ke timur hingga Banyuwangi sebenarnya wilayah Madura.

Keberhasilan Madura menduduki ujung timur Jawa ini karena dua hal. Pertama, orang Madura banyak memelopori berdirinya masjid. ”Lembaga pesantren, di bagian timur Jawa sebagian besar dibangun oleh orang Madura, kendati orang Jawa juga ikut serta di dalamnya sejak abad ke-19,” ungkapnya.

Baca Juga :  Pemred JPRM Usul M. Tabrani Jadi Nama Gedung Pemuda

Untuk itu, Robert mengatakan bahwa Jawa Timur sebetulnya tidak murni orang Jawa. Sebab, yang merintis di dalamnya adalah tangan-tangan orang Madura. ”Masjid dan sebagian pesantren di ujung timur ini diprakarsai oleh orang Madura,” tambahnya.

Efek dari peranan orang Madura di wilayah Jawa Timur yang begitu besar ini membuat orang Madura tidak hanya bergerak dalam pendirian masjid dan pesantren. Tapi, juga merintis pola-pola keberislaman atau islamisasi masyarakat. Ini faktor kedua mengapa Madura menguasai ujung timur Jawa.

”Setelah abad ke-18, tidak ada keraton lagi di Jawa Timur yang signifikan, tidak ada priayi seperti orang Surakarta atau Jogjakarta, jadi pola masyarakatnya lebih terfokus ke kitab kuning, belajar tentang fikih dan akhlak,” katanya.

Dia mengatakan, yang membawa pola islamisasi di wilayah Jawa Timur ini, utamanya tentang ilmu fikih dan akhlak, sebagian besar adalah orang Madura. ”Ini dimulai dari pembukaan pesantren dan pendirian masjid, dan ini kemudian menjadi fokus keislaman,” katanya.

Dalam Iconis keempat itu tidak hanya digelar seminar, tapi juga forum call for papers atau publikasi sekaligus presentasi hasil penelitian dari sejumlah akademisi dari berbagai daerah di dalam atau luar negeri.

Sekitar 65 artikel yang masuk dan mengupas tentang tradisi Islam Madura. Setelah diseleksi, hanya 46 yang masuk. Sebanyak 46 artikel ini dipresentasikan via Zoom. Presentasi ini dimulai pukul 13.00 hingga selesai. (*/luq/par)

Artikel Terkait

Most Read

Artikel Terbaru

/