20.7 C
Madura
Tuesday, May 30, 2023

Abdullah Sajjad, Pahlawan Kemerdekaan dari Pondok Pesantren Annuqayah (1)

Mengajar Santri dengan Penuh Kehati-hatian

Nama KH. Abdullah Sajjad tidak asing di telinga masyarakat Sumenep. Terutama, masyarakat Guluk-Guluk. Lebih-lebih bagi santri Pondok Pesantren (Ponpes) Annuqayah. Selain sebagai pengasuh pesantren, kiai yang satu ini masyhur sebagai mujahid. Gugur di tangan kolonial Belanda.

MOH. JUNAIDI, Sumenep, Jawa Pos Radar Madura

SEBUAH lukisan menempel di dinding di ruang tamu. Tepatnya dalem Latee. Lukisan itu menggambarkan sesosok laki-laki tampan nan gagah. Yakni, KH. Abdullah Sajjad yang lahir dari rahim perempuan bernama Ny. Mariyah.

Sumber lain ada yang menyebut Ny. Qamariyah. Ny. Mariyah atau Ny. Qamariyah merupakan istri kedua KH. Moh. Asy-Syarqawi, ulama keturunan Sunan Kudus sekaligus pendiri Ponpes Annuqayah.

Malam itu, Sabtu (7/8), cucu KH. Abdullah Sajjad, Prof. Abd. A’la (putra almarhum KH. Ahmad Basyir), memulai cerita tentang sosok kakeknya. Termasuk biografi dan sanad keilmuan KH. Abdullah Sajjad.

Menurut dia, sang kakek adalah ulama yang senang berkelana. Artinya, senang menimba ilmu dari satu pesantren ke pesantren lain. Beberapa pesantren pernah dijadikan ladang untuk memperdalam pengetahuan agama. Beberapa di antaranya adalah Pondok Pesantren Darul Ulum Banyunyar, Pamekasan.

Kemudian, belajar kepada Syaikhona Muhammad Kholil Bangkalan di Kademangan. Selanjutnya di Pesantren Tebuireng asuhan Hadratussyekh KH. Hasyim Asy’ari. Selain itu, Pesantren Siwalan Panji Sidoarjo hingga ke Tanah Suci Makkah bersama kakak kandungnya, Kiai Ilyas As-Syarqawi.

”Di Makkah beliau konon satu perguruan dengan KH. Abdul Wahid Hasyim, ayah KH. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur,” terang kiai yang juga akrab disapa Kiai A’la Basyir kepada Jawa Pos Radar Madura (JPRM).

Akan tetapi, kata Kiai A’la, tidak ada yang mengetahui secara pasti tahun kelahiran KH Abdullah Sajjad. Belum ada sumber atau catatan resmi dan valid yang menyebutkan hal itu. ”Diperkirakan 1890–1895, tapi belum pasti,” lanjut kiai yang juga dikenal sebagai guru besar yang pernah menjadi rektor Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya itu.

Baca Juga :  Nur Anisa Maharani, Bayi 7 Bulan Menderita Lymphangioma sejak Lahir

Kiai A’la menceritakan, semasa hidup, KH. Abdullah Sajjad dikenal sebagai sosok ulama yang sangat mencintai dan berpegang teguh pada Al-Qur’an. Bahkan, menjadi pelajaran utama para santri. ”Namun, menurut keterangan para santrinya, beliau juga kurang berkenan bila santri menghafalkan Al-Qur’an, tapi lebih mendorong agar dipelajari dan diamalkan dalam kehidupan,” katanya.

Pesantren yang diasuhnya itu merupakan warisan sang ayah. Atas ajakan kakaknya, KH. Moh. Ilyas (ayah almarhum KH. Abd. Warits), KH. Abdullah Sajjad berpartisipasi mengurusi pesantren. Tidak lama setelah itu, didirikanlah pesantren baru yang belakangan dikenal dengan sebutan Annuqayah Latee. ”Itu perkiraan tahun 1923,” katanya.

Sejak itulah, KH. Abdullah Sajjad berupaya mengenalkan sistem madrasah (klasikal) sebagaimana yang dipelajarinya di Pesantren Tebuireng, Jombang. Tidak hanya di pesantren, KH. Abdullah Sajjad juga mengajar langsung masyarakat. Hal itu menandakan bahwa sosoknya merupakan kiai yang memiliki jiwa sosial yang sangat tinggi.

”Termasuk kitab-kitab kuning. Misalnya, Sullamut Taufiq, Safinatun Najah, Tafsir Jalallain, dan Hikam. Itu diajarkan, baik kepada santri maupun kepada masyarakat. Tapi disesuaikan dengan taraf kemampuan santrinya,” jelas Kiai A’la.

Prof. A’la mengungkapkan, semasa hidup, KH. Abdullah Sajjad punya dua tantangan besar. Terutama berhadapan dengan kolonialisme Belanda. Di sisi lain, saat itu di Madura, khususnya Sumenep, bermunculan kelompok-kelompok yang berseberangan dengan pemikiran dan pemahaman masyarakat Madura tentang agama Islam. Misalnya, kelompok yang kerap membidahkan tradisi pesantren.

Baca Juga :  Kesan Personel Band Tipe X Usai Perform di Madura

Karena itu, selain berjuang mempertahankan negara dari kekejaman penjajah, KH Abdullah Sajjad juga berupaya melawan kelompok-kelompok tersebut. Salah satunya, mengajar santrinya dengan penuh kehati-hatian.

”KH. Abdul Basith, paman saya, pernah menceritakan bahwa beliau selalu memberikan catatan dan imbauan khusus untuk kitab-kitab yang dianggapnya ekstrem. Terutama dalam bidang tasawuf. Itu sempat ditemukan pada kitab karya Ibnu Arabi peninggalan beliau. Ada tulisan yang intinya adalah berhati-hati dalam membaca kitab yang satu ini,” papar Kiai A’la.

Catatan dan imbauan itu dilakukan agar santri tidak salah memahami bacaan-bacaan yang bersumber dari referensi (yang dianggap) ekstrem oleh ulama pesantren kala itu. Atau bahasa kasarnya, kitab-kitab yang berisi materi agak berat. ”Sampai seperti itu dari saking hati-hatinya,” tegas penulis buku Jahiliyah Kontemporer dan Hegemoni Nalar Kekerasan itu.

Merujuk pada catatan salah seorang putranya, KH. Abdul Basith, dan diterima JPRM dari santri Ponpes Annuqayah Latee disebutkan, KH. Abdullah Sajjad memiliki dua istri. Pertama Ny. Shafiyah Munawwar, yang tidak lain adalah sepupu dari garis keturunan ibu. Istri kedua Ny. Hj. Aminah Az-Zahra’, seorang perempuan yang hidup serba kekurangan di Desa Penanggungan, Kecamatan Guluk-Guluk. Dia dinikahi setelah istri pertama wafat.

Dari istri pertama dikaruniai tujuh buah hati (putra-putri). Yakni, Ny. Maimunah, Ny. Hj. Mu’adzah, KH. Ahmad Basyir, KH. Ishomuddin, KH. Abd. Hafidh, Ny. Hj. ’Arifah, dan ketujuh meninggal ketika masih kecil bernama Mujahid. Sedangkan dari istri kedua, lahir tiga anak. Yaitu, Ny. Hj. Maftuhah, KH. Abdul Basith, dan Ny. Hj. Zainab Khabirah. (*/luq)

Nama KH. Abdullah Sajjad tidak asing di telinga masyarakat Sumenep. Terutama, masyarakat Guluk-Guluk. Lebih-lebih bagi santri Pondok Pesantren (Ponpes) Annuqayah. Selain sebagai pengasuh pesantren, kiai yang satu ini masyhur sebagai mujahid. Gugur di tangan kolonial Belanda.

MOH. JUNAIDI, Sumenep, Jawa Pos Radar Madura

SEBUAH lukisan menempel di dinding di ruang tamu. Tepatnya dalem Latee. Lukisan itu menggambarkan sesosok laki-laki tampan nan gagah. Yakni, KH. Abdullah Sajjad yang lahir dari rahim perempuan bernama Ny. Mariyah.


Sumber lain ada yang menyebut Ny. Qamariyah. Ny. Mariyah atau Ny. Qamariyah merupakan istri kedua KH. Moh. Asy-Syarqawi, ulama keturunan Sunan Kudus sekaligus pendiri Ponpes Annuqayah.

Malam itu, Sabtu (7/8), cucu KH. Abdullah Sajjad, Prof. Abd. A’la (putra almarhum KH. Ahmad Basyir), memulai cerita tentang sosok kakeknya. Termasuk biografi dan sanad keilmuan KH. Abdullah Sajjad.

Menurut dia, sang kakek adalah ulama yang senang berkelana. Artinya, senang menimba ilmu dari satu pesantren ke pesantren lain. Beberapa pesantren pernah dijadikan ladang untuk memperdalam pengetahuan agama. Beberapa di antaranya adalah Pondok Pesantren Darul Ulum Banyunyar, Pamekasan.

Kemudian, belajar kepada Syaikhona Muhammad Kholil Bangkalan di Kademangan. Selanjutnya di Pesantren Tebuireng asuhan Hadratussyekh KH. Hasyim Asy’ari. Selain itu, Pesantren Siwalan Panji Sidoarjo hingga ke Tanah Suci Makkah bersama kakak kandungnya, Kiai Ilyas As-Syarqawi.

- Advertisement -

”Di Makkah beliau konon satu perguruan dengan KH. Abdul Wahid Hasyim, ayah KH. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur,” terang kiai yang juga akrab disapa Kiai A’la Basyir kepada Jawa Pos Radar Madura (JPRM).

Akan tetapi, kata Kiai A’la, tidak ada yang mengetahui secara pasti tahun kelahiran KH Abdullah Sajjad. Belum ada sumber atau catatan resmi dan valid yang menyebutkan hal itu. ”Diperkirakan 1890–1895, tapi belum pasti,” lanjut kiai yang juga dikenal sebagai guru besar yang pernah menjadi rektor Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya itu.

Baca Juga :  Dosen-Dosen Peduli Pemuda agar Cinta Literasi dan Kesenian (1)

Kiai A’la menceritakan, semasa hidup, KH. Abdullah Sajjad dikenal sebagai sosok ulama yang sangat mencintai dan berpegang teguh pada Al-Qur’an. Bahkan, menjadi pelajaran utama para santri. ”Namun, menurut keterangan para santrinya, beliau juga kurang berkenan bila santri menghafalkan Al-Qur’an, tapi lebih mendorong agar dipelajari dan diamalkan dalam kehidupan,” katanya.

Pesantren yang diasuhnya itu merupakan warisan sang ayah. Atas ajakan kakaknya, KH. Moh. Ilyas (ayah almarhum KH. Abd. Warits), KH. Abdullah Sajjad berpartisipasi mengurusi pesantren. Tidak lama setelah itu, didirikanlah pesantren baru yang belakangan dikenal dengan sebutan Annuqayah Latee. ”Itu perkiraan tahun 1923,” katanya.

Sejak itulah, KH. Abdullah Sajjad berupaya mengenalkan sistem madrasah (klasikal) sebagaimana yang dipelajarinya di Pesantren Tebuireng, Jombang. Tidak hanya di pesantren, KH. Abdullah Sajjad juga mengajar langsung masyarakat. Hal itu menandakan bahwa sosoknya merupakan kiai yang memiliki jiwa sosial yang sangat tinggi.

”Termasuk kitab-kitab kuning. Misalnya, Sullamut Taufiq, Safinatun Najah, Tafsir Jalallain, dan Hikam. Itu diajarkan, baik kepada santri maupun kepada masyarakat. Tapi disesuaikan dengan taraf kemampuan santrinya,” jelas Kiai A’la.

Prof. A’la mengungkapkan, semasa hidup, KH. Abdullah Sajjad punya dua tantangan besar. Terutama berhadapan dengan kolonialisme Belanda. Di sisi lain, saat itu di Madura, khususnya Sumenep, bermunculan kelompok-kelompok yang berseberangan dengan pemikiran dan pemahaman masyarakat Madura tentang agama Islam. Misalnya, kelompok yang kerap membidahkan tradisi pesantren.

Baca Juga :  Kesan Personel Band Tipe X Usai Perform di Madura

Karena itu, selain berjuang mempertahankan negara dari kekejaman penjajah, KH Abdullah Sajjad juga berupaya melawan kelompok-kelompok tersebut. Salah satunya, mengajar santrinya dengan penuh kehati-hatian.

”KH. Abdul Basith, paman saya, pernah menceritakan bahwa beliau selalu memberikan catatan dan imbauan khusus untuk kitab-kitab yang dianggapnya ekstrem. Terutama dalam bidang tasawuf. Itu sempat ditemukan pada kitab karya Ibnu Arabi peninggalan beliau. Ada tulisan yang intinya adalah berhati-hati dalam membaca kitab yang satu ini,” papar Kiai A’la.

Catatan dan imbauan itu dilakukan agar santri tidak salah memahami bacaan-bacaan yang bersumber dari referensi (yang dianggap) ekstrem oleh ulama pesantren kala itu. Atau bahasa kasarnya, kitab-kitab yang berisi materi agak berat. ”Sampai seperti itu dari saking hati-hatinya,” tegas penulis buku Jahiliyah Kontemporer dan Hegemoni Nalar Kekerasan itu.

Merujuk pada catatan salah seorang putranya, KH. Abdul Basith, dan diterima JPRM dari santri Ponpes Annuqayah Latee disebutkan, KH. Abdullah Sajjad memiliki dua istri. Pertama Ny. Shafiyah Munawwar, yang tidak lain adalah sepupu dari garis keturunan ibu. Istri kedua Ny. Hj. Aminah Az-Zahra’, seorang perempuan yang hidup serba kekurangan di Desa Penanggungan, Kecamatan Guluk-Guluk. Dia dinikahi setelah istri pertama wafat.

Dari istri pertama dikaruniai tujuh buah hati (putra-putri). Yakni, Ny. Maimunah, Ny. Hj. Mu’adzah, KH. Ahmad Basyir, KH. Ishomuddin, KH. Abd. Hafidh, Ny. Hj. ’Arifah, dan ketujuh meninggal ketika masih kecil bernama Mujahid. Sedangkan dari istri kedua, lahir tiga anak. Yaitu, Ny. Hj. Maftuhah, KH. Abdul Basith, dan Ny. Hj. Zainab Khabirah. (*/luq)

Artikel Terkait

Most Read

Artikel Terbaru

/