26.4 C
Madura
Sunday, March 26, 2023

Tak Ada di Manuskrip, Raden Bukan Gelar Bangsawan

Gelar raden biasanya diidentikkan dengan gelar kebangsawanan. Mereka yang memiliki gelar raden merupakan keturunan raja. Namun, tidak demikian bagi KH. Abdul Hannan Ihsan. Menurut ketua Lembaga Pencatat, Pemelihara, dan Penelitian Silsilah NAAT (LP3SN) ini, gelar raden justru lebih dekat dengan keturunan ulama. Seperti apa penjelasannya?

KIAI Abdul Hannan tidak mau main-main dalam meneliti, mencatat, dan memelihara nasab Wali Sanga di nusantara. Ketua LP3SN ini harus berkeliling Indonesia untuk menelaah beberapa manuskrip yang dimiliki para keturunan Wali Sanga. Sejumlah kesulitan pun dihadapi. Salah satunya tradisi sebagian masyarakat Madura dalam memperlakukan manuskrip.

Menurut dia, banyak orang Madura yang salah dalam memaknai manuskrip. Peninggalan berupa tulisan zaman daluhu sering dianggap sebagai jimat. Sehingga, jangankan untuk membacanya, menyentuhnya saja mereka tidak berani. Karena barang itu dianggap sesuatu yang keramat.

Suami Nyai Suryati itu mengatakan, pola pikir seperti itu harus diubah. Menurutnya, penginggalan para leluhur sebetulnya untuk dipelajari oleh anak cucu, bukan untuk disimpan. Dengan begitu, kita yang ada di zaman sekarang bisa memahami seperti apa kondisi zaman dulu. Termasuk dalam hal nasab atau silsilah keturunan.

Suatu ketika Kiai Abdul Hannan menjumpai peristiwa yang menurut dia lucu. Ada lembaran manuskrip yang disobek kemudian dijadikan jimat untuk anaknya yang hendak merantau supaya sukses. Akhirnya peninggalan para sesepuh itu tak berguna untuk mengurai silsilah. ”Ada pula yang dibungkus sampai lapuk. Sampai hancur luar biasa. Gak boleh dibuka,” ungkap kiai yang sudah dikaruniai 3 anak itu.

Kisah tersebut tak jauh berbeda dengan pengalaman di keluarganya sendiri. Namun, setelah lama tersimpan, akhirnya Kiai Abdul Hannan memberanikan diri membuka dan mempelajari manuskrip yang ada di rumah kakeknya. Ternyata isi manuskrip tersebut membuka mata pengetahuan dan luar biasa bermanfaat.

Manuskrip itu tidak hanya mengungkap silsilah keluarga Kiai Abdul Hannan. Tapi mencakup silsilah kiai di Pamekasan dan Bangkalan. Bahkan, silsilah kiai-kiai tanah Jawa juga tercantum.

Seperti Kiai Slaseh (sesepuh KH Maimoen Zubair Sarang di Kecamatan Klampis, Bangkalan) dan Kiai Kasan Besari (Ponorogo). Dari catatan-catatan itulah ada Kiai Ponorogo. ”Lalu kami cari anak cucunya, akhirnya nyambung. Bahkan, saya juga sampai ke Kalimantan,” ungkap pengasuh Ponpes Al-Ihsani, Desa Sendang Dajah, Kecamatan Labang, Bangkalan, tersebut.

Baca Juga :  Mengunjungi Mawan, Kuli Pengangkut Air yang Hidup Sebatang Kara

Kiai Abdul Hannan yakin dengan terpeliharanya silsilah atau nasab maka banyak manfaat yang bisa diperoleh. Dengan mengetahui nasab manusia itu bisa saling terkait. Bahkan bisa menjadi solusi ketika ada konflik. ”Contohnya, saya dengan Sampean ada konflik. Tapi kemudian saya tahu bahwa saya dan Sampean ternyata satu jalur, akhirnya adem hati ini. Oh, ini masih famili saya,” jelasnya kepada tim Acabis JPRM yang berkunjung ke rumahnya, Rabu (21/4).

Dia kemudian mengingatkan tentang tragedi berdarah di Sampit, Kalimantan Tengah, pada 2001. Semestinya hal tersebut tidak terjadi andai kedua pihak memahami sejarah kedekatan Madura dengan Kalimantan pada masa lalu.

Kiai Abdul Hannan mengungkapkan, dari garis ibu, Sultan Abdurraham Al-Qadri atau pendiri Kesultanan Pontianak merupakan Suku Dayak. Sedangkan dari pihak ayah berasal dia dari golongan habaib yang bernama Syarif Husein. Nah, habaib ini erat hubungannya dengan Madura.

”Bahkan, nisan Syarif Husein didatangkan dari Sumenep sebagai hadiah dari Pangeran Natakusuma,” ungkapnya sambil menunjukkan video saat dirinya berziarah ke makam Syarif Husein.

Pada nisan tersebut, lanjut Kiai Abdul Hannan, tertulis tahun 1781. Itu artinya sepuluh tahun setelah pendirian Kesultanan Al-Qadri di Pontianak. ”Seandainya masyarakat Dayak dan Madura tahu sejarah itu, insyaallah tidak akan terjadi konflik. Bahkan, Pangeran Natakusuma memberi gelar Sayiddil Habib kepada Syarif Husein,” jelasnya.

Dalam pembicaraan itulah, Kiai Abdul Hannan menjelaskan tentang istilah raden yang selama ini identik dengan keturunan raja. Menurut dia, gelar raden populer setelah zaman Wali Sanga. Tetapi, dalam manuskrip tidak ada kata raden.

Dia mengungkapkan, merujuk pada manuskrip, sebetulnya istilahnya bukan raden. Tapi rahadian. Jadi raden itu bukan gelar untuk keturunan raja. Itu sebenarnya gelar yang populer di zaman Wali Sanga. Di manuskrip tertulis rohaddien. Kemudian, ada yang mengatakan rois dien atau pemimpn agama. ”Tapi ini tidak ada di manuskrip. Karena pemimpin agama itu manunggal bersama umara,” jelasnya.

Ketua Panitia Deklarasi Naqobah Ansab Awliya Tis’ah (NAAT) NAAT ini kemudian mencontohkan kesatuan antara ulama dan umara di Keraton Surakarta. Di keraton tersebut selain senopati juga sekaligus panoto gomo. ”Kalau kita melihat di Negara Kertagama tidak ada istilah raden, nggak ada istilah raden wijaya. Yang ada dyah wijaya. Itu sebenarnya gelar bangsawan,” tegasnya.

Baca Juga :  Peringati Word Cleanup Day dengan Bersi-Bersih Pantai

Berkaitan dengan itu, wali atau sunan sangat erat kaitannya dengan kerajaan di Madura. Semua kerajaan di Madura merupakan keturunan sunan. Bahkan, makam Lembu Peteng (Bondang Kejawan) sebagai leluhur raja-raja Madura ada di Ampel, Surabaya. ”Beliau itu santri dari Sunan Ampel (Ahmad Rahmatillah). Lembu Peteng adalah putra Brawijaya. Tapi kemudian ke bawah-bawahnya ada kaitannya,” ungkapnya.

Dia mencontohkan Cakraningrat III yang merupakan anak dari Cakraningrat II yang bergelar Pangeran Siding Kamal. Cakraningrat II ini satu sisi anak dari Cakraningrat I. Di sisi lain dia anak dari seorang ibu yang merupakan keturunan Syaikh Banyusangkah yang merupakan keturunan Sunan Giri (Muhammad Ainul Yakin). ”Jadi raja Madura yang pertama itu, istrinya, Syarifah Ambami itu keturunan Sunan Giri,” jelasnya.

Alumnus Pondok Pesantren Al-Khoziny Buduran, Sidoarjo, itu mengungkapkan, berbicara tentang keturunan Wali Sanga di Madura setidaknya ada empat darah yang mengalir di ulama-ulama Pulau Garam. Mulai dari Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Gunung Jati, dan Sunan Kudus (Sayyid Ja’far Shadiq Asmatkan).

Dalam meneliti nasab Wali Sanga tersebut, Kiai Abdul Hanan tidak sendirian. Dia bekerja sama dengan munsib atau ahli nasab di setiap daerah di Indonesia. Sebab, setiap wilayah ada munsib masing-masing. Bahkan, dari setiap keturunan Wali Sanga. Sekarang banyak keturunan Wali Sanga yang kepate obor. Oleh karena itu, dideklarasikan NAAT di Bangkalan pada 2020 lalu,” terangnya.

Ketertarikan dirinya menjaga nasab Wali Sanga juga merujuk amanat dari Sunan Giri. ”Sunan Giri sendiri membuat statement bahwa barang siapa yang mencatat keturunan Nabi Adam sampai Nabi Muhammad dan dari Nabi Muhammad sampai ke aku, dan dari aku sampai ke keturunanku ila yaumil qiyamah, maka orang yang memperhatikan nasab ini akan dijaga dari segala musibah dan ujian,” pungkas kakak kandung Bindara Muhammad Mas’ud dan Siti Hindun itu. 

Gelar raden biasanya diidentikkan dengan gelar kebangsawanan. Mereka yang memiliki gelar raden merupakan keturunan raja. Namun, tidak demikian bagi KH. Abdul Hannan Ihsan. Menurut ketua Lembaga Pencatat, Pemelihara, dan Penelitian Silsilah NAAT (LP3SN) ini, gelar raden justru lebih dekat dengan keturunan ulama. Seperti apa penjelasannya?

KIAI Abdul Hannan tidak mau main-main dalam meneliti, mencatat, dan memelihara nasab Wali Sanga di nusantara. Ketua LP3SN ini harus berkeliling Indonesia untuk menelaah beberapa manuskrip yang dimiliki para keturunan Wali Sanga. Sejumlah kesulitan pun dihadapi. Salah satunya tradisi sebagian masyarakat Madura dalam memperlakukan manuskrip.

Menurut dia, banyak orang Madura yang salah dalam memaknai manuskrip. Peninggalan berupa tulisan zaman daluhu sering dianggap sebagai jimat. Sehingga, jangankan untuk membacanya, menyentuhnya saja mereka tidak berani. Karena barang itu dianggap sesuatu yang keramat.


Suami Nyai Suryati itu mengatakan, pola pikir seperti itu harus diubah. Menurutnya, penginggalan para leluhur sebetulnya untuk dipelajari oleh anak cucu, bukan untuk disimpan. Dengan begitu, kita yang ada di zaman sekarang bisa memahami seperti apa kondisi zaman dulu. Termasuk dalam hal nasab atau silsilah keturunan.

Suatu ketika Kiai Abdul Hannan menjumpai peristiwa yang menurut dia lucu. Ada lembaran manuskrip yang disobek kemudian dijadikan jimat untuk anaknya yang hendak merantau supaya sukses. Akhirnya peninggalan para sesepuh itu tak berguna untuk mengurai silsilah. ”Ada pula yang dibungkus sampai lapuk. Sampai hancur luar biasa. Gak boleh dibuka,” ungkap kiai yang sudah dikaruniai 3 anak itu.

Kisah tersebut tak jauh berbeda dengan pengalaman di keluarganya sendiri. Namun, setelah lama tersimpan, akhirnya Kiai Abdul Hannan memberanikan diri membuka dan mempelajari manuskrip yang ada di rumah kakeknya. Ternyata isi manuskrip tersebut membuka mata pengetahuan dan luar biasa bermanfaat.

Manuskrip itu tidak hanya mengungkap silsilah keluarga Kiai Abdul Hannan. Tapi mencakup silsilah kiai di Pamekasan dan Bangkalan. Bahkan, silsilah kiai-kiai tanah Jawa juga tercantum.

- Advertisement -

Seperti Kiai Slaseh (sesepuh KH Maimoen Zubair Sarang di Kecamatan Klampis, Bangkalan) dan Kiai Kasan Besari (Ponorogo). Dari catatan-catatan itulah ada Kiai Ponorogo. ”Lalu kami cari anak cucunya, akhirnya nyambung. Bahkan, saya juga sampai ke Kalimantan,” ungkap pengasuh Ponpes Al-Ihsani, Desa Sendang Dajah, Kecamatan Labang, Bangkalan, tersebut.

Baca Juga :  Di Ponpes Annuqayah, KH Ma’ruf Amin Beri Ijazah Sahih Bukhari

Kiai Abdul Hannan yakin dengan terpeliharanya silsilah atau nasab maka banyak manfaat yang bisa diperoleh. Dengan mengetahui nasab manusia itu bisa saling terkait. Bahkan bisa menjadi solusi ketika ada konflik. ”Contohnya, saya dengan Sampean ada konflik. Tapi kemudian saya tahu bahwa saya dan Sampean ternyata satu jalur, akhirnya adem hati ini. Oh, ini masih famili saya,” jelasnya kepada tim Acabis JPRM yang berkunjung ke rumahnya, Rabu (21/4).

Dia kemudian mengingatkan tentang tragedi berdarah di Sampit, Kalimantan Tengah, pada 2001. Semestinya hal tersebut tidak terjadi andai kedua pihak memahami sejarah kedekatan Madura dengan Kalimantan pada masa lalu.

Kiai Abdul Hannan mengungkapkan, dari garis ibu, Sultan Abdurraham Al-Qadri atau pendiri Kesultanan Pontianak merupakan Suku Dayak. Sedangkan dari pihak ayah berasal dia dari golongan habaib yang bernama Syarif Husein. Nah, habaib ini erat hubungannya dengan Madura.

”Bahkan, nisan Syarif Husein didatangkan dari Sumenep sebagai hadiah dari Pangeran Natakusuma,” ungkapnya sambil menunjukkan video saat dirinya berziarah ke makam Syarif Husein.

Pada nisan tersebut, lanjut Kiai Abdul Hannan, tertulis tahun 1781. Itu artinya sepuluh tahun setelah pendirian Kesultanan Al-Qadri di Pontianak. ”Seandainya masyarakat Dayak dan Madura tahu sejarah itu, insyaallah tidak akan terjadi konflik. Bahkan, Pangeran Natakusuma memberi gelar Sayiddil Habib kepada Syarif Husein,” jelasnya.

Dalam pembicaraan itulah, Kiai Abdul Hannan menjelaskan tentang istilah raden yang selama ini identik dengan keturunan raja. Menurut dia, gelar raden populer setelah zaman Wali Sanga. Tetapi, dalam manuskrip tidak ada kata raden.

Dia mengungkapkan, merujuk pada manuskrip, sebetulnya istilahnya bukan raden. Tapi rahadian. Jadi raden itu bukan gelar untuk keturunan raja. Itu sebenarnya gelar yang populer di zaman Wali Sanga. Di manuskrip tertulis rohaddien. Kemudian, ada yang mengatakan rois dien atau pemimpn agama. ”Tapi ini tidak ada di manuskrip. Karena pemimpin agama itu manunggal bersama umara,” jelasnya.

Ketua Panitia Deklarasi Naqobah Ansab Awliya Tis’ah (NAAT) NAAT ini kemudian mencontohkan kesatuan antara ulama dan umara di Keraton Surakarta. Di keraton tersebut selain senopati juga sekaligus panoto gomo. ”Kalau kita melihat di Negara Kertagama tidak ada istilah raden, nggak ada istilah raden wijaya. Yang ada dyah wijaya. Itu sebenarnya gelar bangsawan,” tegasnya.

Baca Juga :  Mengunjungi Sumur Bekas Ari-Ari Syaikhona Muhammad Kholil Bangkalan

Berkaitan dengan itu, wali atau sunan sangat erat kaitannya dengan kerajaan di Madura. Semua kerajaan di Madura merupakan keturunan sunan. Bahkan, makam Lembu Peteng (Bondang Kejawan) sebagai leluhur raja-raja Madura ada di Ampel, Surabaya. ”Beliau itu santri dari Sunan Ampel (Ahmad Rahmatillah). Lembu Peteng adalah putra Brawijaya. Tapi kemudian ke bawah-bawahnya ada kaitannya,” ungkapnya.

Dia mencontohkan Cakraningrat III yang merupakan anak dari Cakraningrat II yang bergelar Pangeran Siding Kamal. Cakraningrat II ini satu sisi anak dari Cakraningrat I. Di sisi lain dia anak dari seorang ibu yang merupakan keturunan Syaikh Banyusangkah yang merupakan keturunan Sunan Giri (Muhammad Ainul Yakin). ”Jadi raja Madura yang pertama itu, istrinya, Syarifah Ambami itu keturunan Sunan Giri,” jelasnya.

Alumnus Pondok Pesantren Al-Khoziny Buduran, Sidoarjo, itu mengungkapkan, berbicara tentang keturunan Wali Sanga di Madura setidaknya ada empat darah yang mengalir di ulama-ulama Pulau Garam. Mulai dari Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Gunung Jati, dan Sunan Kudus (Sayyid Ja’far Shadiq Asmatkan).

Dalam meneliti nasab Wali Sanga tersebut, Kiai Abdul Hanan tidak sendirian. Dia bekerja sama dengan munsib atau ahli nasab di setiap daerah di Indonesia. Sebab, setiap wilayah ada munsib masing-masing. Bahkan, dari setiap keturunan Wali Sanga. Sekarang banyak keturunan Wali Sanga yang kepate obor. Oleh karena itu, dideklarasikan NAAT di Bangkalan pada 2020 lalu,” terangnya.

Ketertarikan dirinya menjaga nasab Wali Sanga juga merujuk amanat dari Sunan Giri. ”Sunan Giri sendiri membuat statement bahwa barang siapa yang mencatat keturunan Nabi Adam sampai Nabi Muhammad dan dari Nabi Muhammad sampai ke aku, dan dari aku sampai ke keturunanku ila yaumil qiyamah, maka orang yang memperhatikan nasab ini akan dijaga dari segala musibah dan ujian,” pungkas kakak kandung Bindara Muhammad Mas’ud dan Siti Hindun itu. 

Artikel Terkait

Most Read

Artikel Terbaru

/