21.5 C
Madura
Monday, March 27, 2023

S. Herianto, Guru SD yang Produktif Hasilkan Buku

Kesibukan mengajar di SDN Pangarangan III tidak menghambat semangat S. Herianto untuk menulis. Lulusan Pascasarjana Universitas Negeri Malang ini juga aktif membina Tim Cilik Penulis Sumenep.

HALAMAN SDN Pangarangan III tampak sepi kemarin (15/10). Maklum saat itu pukul 09.45. Siswa dan guru ada kegiatan belajar mengajar (KBM).

Terlihat dua mahasiswa beralmamater Univesitas Wiraraja (Unija) di halaman sekolah di Jalan Urip Sumoharjo tersebut. Mereka lalu mengantarkan RadarMadura.id bertemu dengan seorang pengajar sekaligus penulis produktif. Namanya S. Herianto.

Pria berbatik itu kemudian mengajak RadarMadura.id ke salah satu ruangan. Di sana kami ngobrol santai. S. Herianto bercerita banyak tentang awal mula dirinya menulis hingga menularkan hobi kepada anak didiknya.

Pria lulusan pascasarjana Universitas Negeri Malang itu memulai menulis setelah lulus SMA pada 1993. Dia memilih menulis lantaran kebingungannya untuk mendapatkan pekerjaan.

Dia juga penasaran dengan jargon yang disampaikan penulis terkenal Arswendo Atmowiloto. Bahwa, kita tidak bisa hidup dari menulis.

Rasa penasaran itulah menjadi pupuk semangat untuk membuktikan jargon yang disampaikan Arswendo Atmowiloto.

Pada awalnya, S. Herianto hanya menulis carita-cerita remaja yang dikirimkan ke majalah Aneka Yes, Anita, dan Ceria Remaja. Dari karya itu, dia mendapatkan insentif dari majalah yang memuat tulisannya.

Saking seringnya tulisan yang dimuat di majalah, pundi-pundi pendapatannya kian bertambah. Meski begitu, S. Herianto belum memiliki tekad untuk menjadi seorang penulis buku.

Setelah karyanya banyak terbit di majalah, dia memilih menggeluti dunia seni lukis. Dengan maksud yang sama, yaitu mendapatkan uang melalui karya-karya. ”Ternyata ada yang pesan, yaitu lukis wajah 1 keluarga polisi,” kenangnya.

Baca Juga :  Kisah Subaidah, Pedagang Janur Ketupat Asal Sumenep

Setelah tiga tahun menggeluti dunia seni lukis, S. Herianto kembali ke aktivitas lamanya, yaitu menulis. Namun, dia belum berniat menjadi penulis buku.

Pada awal 2000, dia melompat ke bidang yang lain. Yakni, dunia fotografi dengan objek seorang model perempuan. Setelah cukup lama mendalami fotografi model, S. Herianto merasa bosan.

Kemudian, dia lebih banyak menggeluti dunia fotografer human interest dan landscape. Di antaranya, pemandangan alam, gunung, dan bangunan. Dia mengaku dari fasil potret-memotret itu memiliki ide tentang apa yang akan ditulis.

”Ternyata dari foto, saya bisa memiliki pandangan untuk menulis. Foto-foto yang human interest banyak membantu memercikkan ide-ide menulis,” ceritanya.

 Titik awal dia bertekad menjadi penulis ketika salah satu cerpennya berjudul Al Quran pada 2000 masuk dalam antologi Graffiti Imaji. Jurinya kala itu merupakan penulis terkenal Sapardi Djoko Damono dan Putu Wijaya.

Kala itu, sarjana bahasa dan sastra itu aktif mengajar di Pulau Paliat, Kecamatan Sapeken. Meski mendapatkan undangan untuk launching buku itu di Kalimantan, dia tidak bisa hadir lantaran terkendala masalah transportasi laut.

Padahal, sebenarnya saat itu S. Herianto ingin hadir dalam kegiatan tersebut. Keinginannya untuk hadir tidak hanya ingin ikut launching, tetapi juga ingin bertemu pengarang terkenal yang menjadi idolanya, yakni Putu Wijaya.

Dia mengaku sangat senang jika mendapat balasan surat dari idolanya itu. ”Dulu menunggu balasan (surat) Putu Wijaya itu seperti menunggu suratnya pacar. Pertama kali mendapat balasan surat, sungguh sangat luar biasa senangnya, bisa mendapatkan surat dari penulis terkenal,” ungkapnya.

Baca Juga :  Batu Kombung Menginspirasi Sugat Ibnu Ali Produksi Batik Kontemporer

S. Herianto menghasilkan enam buku. Buku yang berjudul Laskar Lempung paling berkesan. Sebab, buku itu mengantarkan dirinya sebagai Tokoh Peduli Literasi 2018.

Laskar Lempung menjadi saksi perjalanan pengabdiannya selama mengajar di Pulau Paliat, Kecamatan Sapeken.

Sedangkan buku karangan S. Herianto yang paling membanggakan berjudul Iva & Pinky. Buku itu berisi cerita anak. Distribusinya uang sampai ke Jepang. Dari karya yang sampai ke Negeri Sakura itu dia mendapatkan benefit yang cukup menguntungkan.

Sebagai penulis, dia ingin mendidik siswanya untuk terus meningkatan budaya literasi. Salah satu upayannya, membentuk tim penulis cilik Pangarangan III. Tapi karena ada permintaan dari beberapa sekolah yang ingin bergabung, diberi nama Tim Cilik Penulis Sumenep.

Tim cilik penulis dibina cara menulis cerpen maupun puisi yang bagus. Bahkan, saat ini mereka sudah menghasilkan buku antologi cerita rakyat Sumenep berjudul Komala. Selain itu, ada majalah yang visioner terbit per 6 bulan sekali.

Dari perjalanan hidupnya, S. Herianto mengaku bisa membantah jargon Arswendo Atmowiloto itu. Dia bisa membuktikan bahwa dari menulis kesejahteraannya kian terjamin. Buktinya, dua karyanya berjudul Kitab Literasi Sekolah dan Peradaban Fauna sudah menjalin kerja sama dangan salah satu percetakan.

Dari kerja sama tersebut, karyanya akan dicetak 3.000 eksemplar dan dia akan mendapatkan fee enam persen. Bahkan, tanda tangan kontrak sudah dilakukan. ”Teruslah menulis, dengan menulis kita akan abadi,” pesannya. (jup)

Kesibukan mengajar di SDN Pangarangan III tidak menghambat semangat S. Herianto untuk menulis. Lulusan Pascasarjana Universitas Negeri Malang ini juga aktif membina Tim Cilik Penulis Sumenep.

HALAMAN SDN Pangarangan III tampak sepi kemarin (15/10). Maklum saat itu pukul 09.45. Siswa dan guru ada kegiatan belajar mengajar (KBM).

Terlihat dua mahasiswa beralmamater Univesitas Wiraraja (Unija) di halaman sekolah di Jalan Urip Sumoharjo tersebut. Mereka lalu mengantarkan RadarMadura.id bertemu dengan seorang pengajar sekaligus penulis produktif. Namanya S. Herianto.


Pria berbatik itu kemudian mengajak RadarMadura.id ke salah satu ruangan. Di sana kami ngobrol santai. S. Herianto bercerita banyak tentang awal mula dirinya menulis hingga menularkan hobi kepada anak didiknya.

Pria lulusan pascasarjana Universitas Negeri Malang itu memulai menulis setelah lulus SMA pada 1993. Dia memilih menulis lantaran kebingungannya untuk mendapatkan pekerjaan.

Dia juga penasaran dengan jargon yang disampaikan penulis terkenal Arswendo Atmowiloto. Bahwa, kita tidak bisa hidup dari menulis.

Rasa penasaran itulah menjadi pupuk semangat untuk membuktikan jargon yang disampaikan Arswendo Atmowiloto.

- Advertisement -

Pada awalnya, S. Herianto hanya menulis carita-cerita remaja yang dikirimkan ke majalah Aneka Yes, Anita, dan Ceria Remaja. Dari karya itu, dia mendapatkan insentif dari majalah yang memuat tulisannya.

Saking seringnya tulisan yang dimuat di majalah, pundi-pundi pendapatannya kian bertambah. Meski begitu, S. Herianto belum memiliki tekad untuk menjadi seorang penulis buku.

Setelah karyanya banyak terbit di majalah, dia memilih menggeluti dunia seni lukis. Dengan maksud yang sama, yaitu mendapatkan uang melalui karya-karya. ”Ternyata ada yang pesan, yaitu lukis wajah 1 keluarga polisi,” kenangnya.

Baca Juga :  Batu Kombung Menginspirasi Sugat Ibnu Ali Produksi Batik Kontemporer

Setelah tiga tahun menggeluti dunia seni lukis, S. Herianto kembali ke aktivitas lamanya, yaitu menulis. Namun, dia belum berniat menjadi penulis buku.

Pada awal 2000, dia melompat ke bidang yang lain. Yakni, dunia fotografi dengan objek seorang model perempuan. Setelah cukup lama mendalami fotografi model, S. Herianto merasa bosan.

Kemudian, dia lebih banyak menggeluti dunia fotografer human interest dan landscape. Di antaranya, pemandangan alam, gunung, dan bangunan. Dia mengaku dari fasil potret-memotret itu memiliki ide tentang apa yang akan ditulis.

”Ternyata dari foto, saya bisa memiliki pandangan untuk menulis. Foto-foto yang human interest banyak membantu memercikkan ide-ide menulis,” ceritanya.

 Titik awal dia bertekad menjadi penulis ketika salah satu cerpennya berjudul Al Quran pada 2000 masuk dalam antologi Graffiti Imaji. Jurinya kala itu merupakan penulis terkenal Sapardi Djoko Damono dan Putu Wijaya.

Kala itu, sarjana bahasa dan sastra itu aktif mengajar di Pulau Paliat, Kecamatan Sapeken. Meski mendapatkan undangan untuk launching buku itu di Kalimantan, dia tidak bisa hadir lantaran terkendala masalah transportasi laut.

Padahal, sebenarnya saat itu S. Herianto ingin hadir dalam kegiatan tersebut. Keinginannya untuk hadir tidak hanya ingin ikut launching, tetapi juga ingin bertemu pengarang terkenal yang menjadi idolanya, yakni Putu Wijaya.

Dia mengaku sangat senang jika mendapat balasan surat dari idolanya itu. ”Dulu menunggu balasan (surat) Putu Wijaya itu seperti menunggu suratnya pacar. Pertama kali mendapat balasan surat, sungguh sangat luar biasa senangnya, bisa mendapatkan surat dari penulis terkenal,” ungkapnya.

Baca Juga :  Kisah Subaidah, Pedagang Janur Ketupat Asal Sumenep

S. Herianto menghasilkan enam buku. Buku yang berjudul Laskar Lempung paling berkesan. Sebab, buku itu mengantarkan dirinya sebagai Tokoh Peduli Literasi 2018.

Laskar Lempung menjadi saksi perjalanan pengabdiannya selama mengajar di Pulau Paliat, Kecamatan Sapeken.

Sedangkan buku karangan S. Herianto yang paling membanggakan berjudul Iva & Pinky. Buku itu berisi cerita anak. Distribusinya uang sampai ke Jepang. Dari karya yang sampai ke Negeri Sakura itu dia mendapatkan benefit yang cukup menguntungkan.

Sebagai penulis, dia ingin mendidik siswanya untuk terus meningkatan budaya literasi. Salah satu upayannya, membentuk tim penulis cilik Pangarangan III. Tapi karena ada permintaan dari beberapa sekolah yang ingin bergabung, diberi nama Tim Cilik Penulis Sumenep.

Tim cilik penulis dibina cara menulis cerpen maupun puisi yang bagus. Bahkan, saat ini mereka sudah menghasilkan buku antologi cerita rakyat Sumenep berjudul Komala. Selain itu, ada majalah yang visioner terbit per 6 bulan sekali.

Dari perjalanan hidupnya, S. Herianto mengaku bisa membantah jargon Arswendo Atmowiloto itu. Dia bisa membuktikan bahwa dari menulis kesejahteraannya kian terjamin. Buktinya, dua karyanya berjudul Kitab Literasi Sekolah dan Peradaban Fauna sudah menjalin kerja sama dangan salah satu percetakan.

Dari kerja sama tersebut, karyanya akan dicetak 3.000 eksemplar dan dia akan mendapatkan fee enam persen. Bahkan, tanda tangan kontrak sudah dilakukan. ”Teruslah menulis, dengan menulis kita akan abadi,” pesannya. (jup)

Artikel Terkait

Most Read

Artikel Terbaru

/