Kelor bukan tanaman asing di Madura. Sejak dahulu, daunnya dipetik untuk dijadikan sayur. Istana Kelor mengolah menjadi beberapa produk hingga lebih digemari masyarakat.
DARUL HAKIM, Bangkalan, Jawa Pos Radar Madura
LIMA batang kelor menjulang berjejer di depan rumah Hasin. Bangunan yang menghadap ke barat itu berukuran 6×12 meter persegi. Warna hijau kombinasi oranye. Berdiri tegak di Perumahan Darussalam, Desa Bilaporah, Kecamatan Socah, Bangkalan.
Bangunan terdiri atas dua ruangan. Ruangan sisi timur dijadikan kamar. Ruangan sisi barat dijadikan tempat produksi daun kelor. Luasnya 2×3 meter persegi. Dindingnya diberi aluminium foil. Ada tempat pengering. Hasil olahan diproduksi di tempat itu.
Hasin menggeluti usahanya sejak 2017. Dia melihat potensi tanaman kelor yang banyak tumbuh di Madura. Apalagi, kelor punya predikat tanaman ajaib oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Bahkan, di Eropa dijadikan tanaman untuk mencegah gizi buruk anak-anak.
”Tanaman ini di Madura sudah familier mulai dari nenek moyang. Kalau di desa-desa, pasti (nasi jagung) sandingannya sayur daun kelor,” katanya saat ditemui Rabu (13/10).
Potensi yang melimpah itu belum dimanfaatkan secara maksimal. Padahal, kandungan maronggi cukup bagus. Melihat potensi itu, pria 35 tahun tersebut fokus untuk mengembangkan menjadi tanaman yang bisa diolah dan dinikmati semua kalangan. ”Generasi saat ini hampir tidak begitu familier dengan tanaman kelor ini,” imbuhnya.
Hasin mengolah daun kelor menjadi makanan dan minuman siap saji. Daun kelor awalnya dijadikan tepung. Tepung serbaguna. Bisa dimanfaatkan menjadi berbagai olahan pangan lain. Dijadikan mi, pentol, roti, dan minuman. Minuman hangat dan dingin. ”Kalau hangat bisa dijadikan kopi dan teh,” ujarnya.
Menurut ayah bagi ketiga buah hatinya itu, olahan dengan bahan dasar daun kelor merupakan upaya agar masyarakat bisa menikmati. Sebab, daun kelor sejauh ini hanya dijadikan sayur. Namun, tidak semua orang mau makan sayur, termasuk anak-anak. ”Daun kelor ini sangat baik untuk anak-anak,” urainya.
Menurut Hasin, anak-anak saat ini banyak tidak mau makan sayur daun kelor. Karena itu, olahan yang dilakukan dirinya menjadi salah satu inovasi agar anak-anak bisa suka. Hasin menyulap daun kelor menjadi mi, pentol, teh, dan lainnya. Hasilnya, anak-anak sangat suka. Sehingga dengan sendirinya, anak-anak makan sayur sekaligus nutrisinya juga dapat.
”Olahan daun kelor yang kami produksi banyak dinikmati masyarakat. Permintaan selama pandemi meningkat. Saya bahkan kewalahan karena hanya industri rumahan. Modal juga terbatas,” jelasnya.
Setelah diolah menjadi makanan siap saji, banyak permintaan dari konsumen. Mungkin karena masyarakat sudah mulai sadar bahwa manfaat mengonsumsi daun kelor luar biasa.
Tujuan utama pengolahan daun itu bukan berdagang atau dijual. Niatnya hanya ingin agar masyarakat mengenal, mencintai, dan merawat kelor serta memanfaatkan untuk memenuhi gizi keluarga. ”Ketika banyak permintaan, itu saya anggap bonus,” urainya.
Meski demikian, permintaan pasar tidak dapat ditolak. Pesanan daring dari berbagai daerah berdatangan. ”Pengiriman sudah kami lakukan ke beberapa wilayah. Seperti Jakarta, Bali, Surabaya, Kalimantan. Hampir semua daerah sudah dikirim,” ceritanya.
Yang menjadi idola pengiriman online adalah teh. Karena praktis dan tinggal diseduh. Sementara mi dan pentol diminati masyarakat sekitar. Harga teh per bungkus Rp 20 ribu. Harga mi dan pentol Rp 12 ribu. ”Ada yang makan di tempat. Ada pula yang pesan melalui Grab Food,” jelasnya.
Daun kelor yang disulap menjadi minuman dilakukan sejak 2017. Lalu, berinovasi menjadi makanan siap saji di akhir 2019. Agar tidak kewalahan, Hasin menanam kelor di rumahnya. Juga bekerja sama dengan pemerintah desa. Sebagian lagi mengambil daun kelor dari tetangga. ”Untuk sementara ini masih mencukupi,” bebernya.
Hasin sudah empat tahun menjalani usaha ini. Namun, hingga saat ini belum ada teman atau keluarga yang mengikuti jejaknya. Dia berharap pemerintah memanfaatkan tanaman kelor menjadi kekayaan lokal dan menjadi keunggulan daerah. Tanaman kelor itu sangat murah, simpel, dan mudah ditanam serta diolah untuk dimanfaatkan.
”Kita harus bisa membaca peluang. Bahwasanya daun kelor ini potensi untuk dijadikan kekayaan lokal dan bisa dimanfaatkan menjadi solusi angka stunting yang sampai saat ini menjadi perhatian pemerintah,” jelasnya.
Menurut dia, jika peluang ini bisa dibaca pemerintah, akan lebih maksimal untuk menambah kekayaan daerah. Minimal, masyarakat sekitar sehat. Berbeda jika dilakukan perorangan seperti dirinya. Sebab, kemampuannya terbatas.
Hasin mengajak kepada milenial berkarya sesuai keahlian masing-masing. Lebih-lebih mengembangkan potensi yang ada di sekitar. ”Alhamdulillah, dari pemerintah sudah ada perhatian. Seperti pembinaan dan lainnya,” tandas Hasin.
Sayur atau gangan untuk malorga ka gerrungan. Makan sayur maronggi memang macalerong ka gigi. Tapi tanaman dengan daun kecil-kecil itu kaya gizi.