21.6 C
Madura
Wednesday, March 22, 2023

Didirikan Empat Saudara, Kiai Yang Melukis Dekornya

Konsisten melestarikan kesenian tradisional sama dengan merawat kekayaan dan menghormati leluhur. Ini yang dilakukan Rukun Famili. Umurnya sama dengan kemerdekaan Republik Indonesia.

JUNAIDI PONDIYANTO, Sumenep, Jawa Pos Radar Madura

RUKUN Famili selalu di hati. Penggemar pasti padat ketika ludruk asal Desa Tanjung, Kecamatan Saronggi, ini manggung. Kelompok seni tradisi ini digandrungi masyarakat Madura hingga Pulau Jawa.

Kiprahnya dalam melestarikan kesenian sudah lebih dari setengah abad. Tahun ini, Rukun Famili berumur 75 tahun. Sama dengan umur republik ini. Berdiri pada 1945. Namun, kepastian tanggal dan bulan berdirinya luput dari catatan ahli waris.

Rukun Famili dirintis oleh empat orang bersaudara: Diporejo, Wiroguno, Yudho Prawiro, dan Asmoro Sastro. Pertama kali bernama Rukun Sentoso. Tampilan awal sangat sederhana dengan peralatan seadanya.

Diporejo pernah menjabat Kades Pagar Batu. Zainal Abidin atau Wiroguno alias Pa’na Pakkar/Abdul Pakkar juga mantan Kades Pagar Batu. Sedangkan Yudho Prawiro pernah memimpin Desa Tanjung. Sementara Asmoro Sastro pernah menjabat kepala sekolah di Desa Pagar Batu.

Pada awal berdiri, latar panggung Rukun Sentoso hanya terbuat dari karung goni (kaddu’) dengan pewarna pakaian. Musik pengiring masih menggunakan suara mulut. Karena itu, para pemusik (najaga) itu selalu menyediakan ra-kara untuk pe-kape.

Pencahayaan juga seadanya. Sesuai dengan kondisi kala itu yang tiada aliran listrik. Jumlah anggota bisa dihitung jari. Mereka berasal dari anak-anak para perintis. 

Meski sederhana, penampilan kelompok seni ini berhasil mencuri perhatian masyarakat. Kemajuan semakin tampak memasuki 1947. Dua tahun setelah berdiri.

Latar panggung yang digunakan mulai diganti seng dengan pewarna cat. Dekorasi (pajangan) digarap oleh seorang kiai asal Desa Pagar Batu, Kecamatan Saronggi. Yakni, KH Ahmad Zaini. Penunjukan kiai ini sesuai persetujuan para pendiri sembari berharap berkah kiai.

Baca Juga :  Ngaji Budaya Literasi Madura Bersama Budayawan Ibnu Hajar

Tak ayal karya lukis kiai itu bernuansa islami. Seperti burak, Kakbah, pohon kurma, dan masjid. Karena itu, gambar yang dihasilkan kadang tidak sesuai dengan cerita yang dibawakan saat tanpil.

Seperti adegan sidang kerajaan di depan Kakbah atau mang-temangan di depan air zamzam. Saat ”hijrah” dari Desa Pagar Batu ke Desa Tanjung juga sama. Pelukis dekor juga seorang kiai. Kali ini pendiri madrasah, Kiai Mukalsum.

Pada 1947, nama Rukun Sentoso diganti. Sekalipun hanya merubah nama, cara yang dilakukan tidak sembarangan. Melalui ritual salat istikharah selama tujuh hari. Salat ini dilakukan oleh salah satu anggota. Yakni, Samsul Gani alias Socca Prawiro, putra Wiroguno.

Pada malam ke-7 tidak ada petunjuk langsung untuk mengubah nama menjadi Rukun Famili. Samsul Gani hanya menceritakan mimpinya yang menggambarkan keguyupan keluarga besar para pendiri kelompok ini.

Setelah dimusyawarahkan, akhirnya disepakati mengganti nama menjadi Rukun Famili yang bermakna kerukunan keluarga.

Harapan tidak selalu berbanding lurus dengan kenyataan. Kebesaran dan ketenaran Rukun Famili mulai diuji. Konflik internal mulai menerpa hingga berujung pada perpecahan. Figur-figur dominan keluar dari grup dan mendirikan kelompok lain.

Perpecahan kali pertama terjadi 1953. Saat itu Wirogono keluar dan mendirikan ludruk Rukun Muda. Sejak saat itu Rukun Famili dipimpin oleh Yudho Prawiro.

Permasalahan yang sama kembali terjadi pada 1960. Asmoro Sastro juga keluar dari keanggotaan Rukun Famili. Dia mendirikan ludruk Seni Remaja. Pemain peran juga ikut keluar.

Perpecahan kembali terjadi pada 1970. Aktor utama pada masanya juga keluar dan membantu kelompok ludruk Banjir Dunia. Semua grup pecahan dari Rukun Famili otomatis menjadi pesaing ketat.

Setelah itu, perpecahan terakhir terjadi 1977. Kali ini aktor utama lawakan Suharun keluar dari barisan Rukun Famili. Lalu, muncul Rukun Karya.

Baca Juga :  Risau di Rantau, Perantau Ini Surati Bupati Sumenep

Perpecahan ini tidak membuat Rukun Famili kehabisan stok pemain. Moh. Irsyad, perwakilan keluarga Yudho Prawiro pernah membacakan sejarah singkat Rukun Famili pada hari ulang tahun ke-68.

Dia mengungkapkan, pelawak pertama Zainullah tidak ada duanya. Jangankan orangnya keluar, tangannya saja yang muncul, penonton sudah tertawa. Sebab, tangan pelawak ini (maaf) tidak sempurna.

Lalu, diganti Junaidi dan Pa’i. Juga, tidak ada duanya. Pa’i terkenal andalan. Jangankan orangnya, bila kakinya saja keluar, penonton sudah terpingkal-pingkal. Lalu, ada Ramon dan Pepen.

Kendati banyak yang keluar, eksistensi Rukun Famili justru semakin digandrungi masyarakat. Peran mereka yang pindah segera diimprovisasi dan mendidik pengganti baru.

Kini Rukun Famili dipimpin Haji Mas’odi atau Yudho Prawiro II. Dia menggantikan kepemimpinan ayahandanya, Yudho Prawiro yang meninggal dunia 1982. Menurut Masodi, dinamika memang terus terjadi. Sesuai ajaran Yudho Prawiro.

Perpecahan di tubuh Rukun Famili disikapi dengan optimisime. Dengan demikian, dibuatlah semboyan, ”Patah tumbuh, hilang berganti. Tak lapuk karena hujan, tak lekang karena panas matahari.” Rukun Famili akan selalu dan selalu berjaya dalam situasi apa pun.

”Nampaknya dari banyak grup pecahan itu yang masih aktif sampai sekarang hanya Rukun Karya,” jelas laki-laki lima cucu yang lahir pada tahun Rukun Famili berdiri itu.

Eksistensi Rukun Famili mendapat apresiasi Bupati Sumenep A. Busyro Karim. Dia hadir pada peringatan 70 tahun Rukun Famili di Desa Tanjung. Pada peringatan tahun 2015 itu dia ”buka rahasia” bahwa juga menyukai ludruk sejak kecil.

Menurut bupati, eksistensi Rukun Famili perlu diapresiasi dan perlu mendapatkan penghargaan. Sebab, dari sisi umur, sulit kelompok seniman bertahan lama. Selain itu, karena Rukun Famili mampu mempertahankan kesenian tradisi di tengah serbuan budaya luar.

Konsisten melestarikan kesenian tradisional sama dengan merawat kekayaan dan menghormati leluhur. Ini yang dilakukan Rukun Famili. Umurnya sama dengan kemerdekaan Republik Indonesia.

JUNAIDI PONDIYANTO, Sumenep, Jawa Pos Radar Madura

RUKUN Famili selalu di hati. Penggemar pasti padat ketika ludruk asal Desa Tanjung, Kecamatan Saronggi, ini manggung. Kelompok seni tradisi ini digandrungi masyarakat Madura hingga Pulau Jawa.


Kiprahnya dalam melestarikan kesenian sudah lebih dari setengah abad. Tahun ini, Rukun Famili berumur 75 tahun. Sama dengan umur republik ini. Berdiri pada 1945. Namun, kepastian tanggal dan bulan berdirinya luput dari catatan ahli waris.

Rukun Famili dirintis oleh empat orang bersaudara: Diporejo, Wiroguno, Yudho Prawiro, dan Asmoro Sastro. Pertama kali bernama Rukun Sentoso. Tampilan awal sangat sederhana dengan peralatan seadanya.

Diporejo pernah menjabat Kades Pagar Batu. Zainal Abidin atau Wiroguno alias Pa’na Pakkar/Abdul Pakkar juga mantan Kades Pagar Batu. Sedangkan Yudho Prawiro pernah memimpin Desa Tanjung. Sementara Asmoro Sastro pernah menjabat kepala sekolah di Desa Pagar Batu.

Pada awal berdiri, latar panggung Rukun Sentoso hanya terbuat dari karung goni (kaddu’) dengan pewarna pakaian. Musik pengiring masih menggunakan suara mulut. Karena itu, para pemusik (najaga) itu selalu menyediakan ra-kara untuk pe-kape.

- Advertisement -

Pencahayaan juga seadanya. Sesuai dengan kondisi kala itu yang tiada aliran listrik. Jumlah anggota bisa dihitung jari. Mereka berasal dari anak-anak para perintis. 

Meski sederhana, penampilan kelompok seni ini berhasil mencuri perhatian masyarakat. Kemajuan semakin tampak memasuki 1947. Dua tahun setelah berdiri.

Latar panggung yang digunakan mulai diganti seng dengan pewarna cat. Dekorasi (pajangan) digarap oleh seorang kiai asal Desa Pagar Batu, Kecamatan Saronggi. Yakni, KH Ahmad Zaini. Penunjukan kiai ini sesuai persetujuan para pendiri sembari berharap berkah kiai.

Baca Juga :  Pengembangan Wisata Terhalang Status Tanah

Tak ayal karya lukis kiai itu bernuansa islami. Seperti burak, Kakbah, pohon kurma, dan masjid. Karena itu, gambar yang dihasilkan kadang tidak sesuai dengan cerita yang dibawakan saat tanpil.

Seperti adegan sidang kerajaan di depan Kakbah atau mang-temangan di depan air zamzam. Saat ”hijrah” dari Desa Pagar Batu ke Desa Tanjung juga sama. Pelukis dekor juga seorang kiai. Kali ini pendiri madrasah, Kiai Mukalsum.

Pada 1947, nama Rukun Sentoso diganti. Sekalipun hanya merubah nama, cara yang dilakukan tidak sembarangan. Melalui ritual salat istikharah selama tujuh hari. Salat ini dilakukan oleh salah satu anggota. Yakni, Samsul Gani alias Socca Prawiro, putra Wiroguno.

Pada malam ke-7 tidak ada petunjuk langsung untuk mengubah nama menjadi Rukun Famili. Samsul Gani hanya menceritakan mimpinya yang menggambarkan keguyupan keluarga besar para pendiri kelompok ini.

Setelah dimusyawarahkan, akhirnya disepakati mengganti nama menjadi Rukun Famili yang bermakna kerukunan keluarga.

Harapan tidak selalu berbanding lurus dengan kenyataan. Kebesaran dan ketenaran Rukun Famili mulai diuji. Konflik internal mulai menerpa hingga berujung pada perpecahan. Figur-figur dominan keluar dari grup dan mendirikan kelompok lain.

Perpecahan kali pertama terjadi 1953. Saat itu Wirogono keluar dan mendirikan ludruk Rukun Muda. Sejak saat itu Rukun Famili dipimpin oleh Yudho Prawiro.

Permasalahan yang sama kembali terjadi pada 1960. Asmoro Sastro juga keluar dari keanggotaan Rukun Famili. Dia mendirikan ludruk Seni Remaja. Pemain peran juga ikut keluar.

Perpecahan kembali terjadi pada 1970. Aktor utama pada masanya juga keluar dan membantu kelompok ludruk Banjir Dunia. Semua grup pecahan dari Rukun Famili otomatis menjadi pesaing ketat.

Setelah itu, perpecahan terakhir terjadi 1977. Kali ini aktor utama lawakan Suharun keluar dari barisan Rukun Famili. Lalu, muncul Rukun Karya.

Baca Juga :  Kembangkan Wisata Premium, Agribisnis UTM Sebar 90 Mahasiswa ke Desa-Desa

Perpecahan ini tidak membuat Rukun Famili kehabisan stok pemain. Moh. Irsyad, perwakilan keluarga Yudho Prawiro pernah membacakan sejarah singkat Rukun Famili pada hari ulang tahun ke-68.

Dia mengungkapkan, pelawak pertama Zainullah tidak ada duanya. Jangankan orangnya keluar, tangannya saja yang muncul, penonton sudah tertawa. Sebab, tangan pelawak ini (maaf) tidak sempurna.

Lalu, diganti Junaidi dan Pa’i. Juga, tidak ada duanya. Pa’i terkenal andalan. Jangankan orangnya, bila kakinya saja keluar, penonton sudah terpingkal-pingkal. Lalu, ada Ramon dan Pepen.

Kendati banyak yang keluar, eksistensi Rukun Famili justru semakin digandrungi masyarakat. Peran mereka yang pindah segera diimprovisasi dan mendidik pengganti baru.

Kini Rukun Famili dipimpin Haji Mas’odi atau Yudho Prawiro II. Dia menggantikan kepemimpinan ayahandanya, Yudho Prawiro yang meninggal dunia 1982. Menurut Masodi, dinamika memang terus terjadi. Sesuai ajaran Yudho Prawiro.

Perpecahan di tubuh Rukun Famili disikapi dengan optimisime. Dengan demikian, dibuatlah semboyan, ”Patah tumbuh, hilang berganti. Tak lapuk karena hujan, tak lekang karena panas matahari.” Rukun Famili akan selalu dan selalu berjaya dalam situasi apa pun.

”Nampaknya dari banyak grup pecahan itu yang masih aktif sampai sekarang hanya Rukun Karya,” jelas laki-laki lima cucu yang lahir pada tahun Rukun Famili berdiri itu.

Eksistensi Rukun Famili mendapat apresiasi Bupati Sumenep A. Busyro Karim. Dia hadir pada peringatan 70 tahun Rukun Famili di Desa Tanjung. Pada peringatan tahun 2015 itu dia ”buka rahasia” bahwa juga menyukai ludruk sejak kecil.

Menurut bupati, eksistensi Rukun Famili perlu diapresiasi dan perlu mendapatkan penghargaan. Sebab, dari sisi umur, sulit kelompok seniman bertahan lama. Selain itu, karena Rukun Famili mampu mempertahankan kesenian tradisi di tengah serbuan budaya luar.

Artikel Terkait

Most Read

Artikel Terbaru

/