21.5 C
Madura
Tuesday, June 6, 2023

Usia Tiga Tahun Tertarik Rima Surah Al-Ikhlas

”Hati-hati dengan orang yang sedang ngomong keras. Takut-takut hatinya tak dekat dengan Allah. Kalau saya ngomong keras, itu saya sedang tidak dekat dengan Allah. Bahkan mungkin saya jauh dengan Allah. Karena itu, perasaan perlu dilembutkan.”

FERI FERDIANSYAH, Sumenep,  Jawa Pos Radar Madura

KALIMAT di atas disampaikan KH D. Zawawi Imron saat tim Acabis berkunjung ke rumahnya di Kecamatan Batang-Batang, Sumenep, Senin (22/3). Penyair 78 tahun tersebut menekankan pentingnya melembutkan hati dalam menajamkan intuisi agar mudah membuat puisi.

”Semakin dekat orang dengan Allah, semakin mudah orang menajamkan rasa kasih sayang,” ingatnya.

Obrolan santai itu diawali dengan cerita perjalanan dia menjadi seorang penyair. Ketertarikannya terhadap dunia sastra diawali saat Zawawi berusia tiga tahun. Di usia itu, Zawawi kecil sudah diajarkan menghafal surah Al-Ikhlas dan kagum terhadap Al-Qur’an.

Baca Juga :  Kreativitas Mbah Supar, Perajin Gerabah Lintas Generasi

Kekagumannya pada Al-Qur’an kala itu bukan pada maknanya, melainkan rimanya. Menurut dia, ada kesamaan bunyi. Seperti bunyi ad ..ad ..ad di akhir setiap ayat surah Al-Ikhlas.

”Puisi itu kan begitu. Wah, luar biasa itu Allah. Tidak main-main bikin keindahan Al-Qur’an,” ucap Zawawi sambil melemparkan pandanganya ke atas. Suasana pun sejenak menjadi hening.

Saat ditanya alasan berpuisi, Zawawi menjawab dengan intonasi yang lebih rendah dari sebelumnya. Kalau dijawab secara sekuler, kata dia, karena tuntutan naluri. Tapi karena seorang muslim, dia dianugerahi bakat oleh Allah untuk menyenangi kata-kata. Mencari bunga kata-kata. Mencari getaran kata-kata, kemudian menjadi puisi.

Perbincangan di serambi rumah itu pun kembali berlanjut. Penyair si Cerulit Emas itu mengaku, dengan berpuisi bisa menghindari perkataan kasar. Dengan sastra, dia lebih mudah menulis dan lebih mudah bicara. ”Daripada saya bicara kasar-kasar,” kembali Zawawi mengingatkan pentingnya berperilaku lembut sebagai seorang muslim.

Baca Juga :  Apa Salahnya Bilang ”Minta Tolong” kepada Anggota?

Zawawi menambahkan, setiap hari umat muslim diajarkan menyebut Arrahman Arrahim. Jika menghayati sifat Arrahman Arrahim, manusia harus siap menjadi keran Allah. Menjadi penyalur kasih sayang kepada umat manusia. ”Baik yang dekat maupun yang jauh. Yang dekat mungkin bisa dengan duit, kalau yang jauh mungkin dengan puisi,” ungkapnya.

Karya Zawawi Imron tidak hanya dinikmati masyarakat Indonesia. Buku berjudul Cerulit Emas diterjemahkan ke bahasa Belanda oleh Profesor Handmajaer menjadi Golden Sikkel. ”Kalau tidak ada manfaatnya bagi mereka kan tidak mungkin mereka menerjemahkan. Buat apa kan? Belum tentu laku untuk dicetak. Apalagi dari negeri bekas jajahannya,” terang Zawawi. 

”Hati-hati dengan orang yang sedang ngomong keras. Takut-takut hatinya tak dekat dengan Allah. Kalau saya ngomong keras, itu saya sedang tidak dekat dengan Allah. Bahkan mungkin saya jauh dengan Allah. Karena itu, perasaan perlu dilembutkan.”

FERI FERDIANSYAH, Sumenep,  Jawa Pos Radar Madura

KALIMAT di atas disampaikan KH D. Zawawi Imron saat tim Acabis berkunjung ke rumahnya di Kecamatan Batang-Batang, Sumenep, Senin (22/3). Penyair 78 tahun tersebut menekankan pentingnya melembutkan hati dalam menajamkan intuisi agar mudah membuat puisi.


”Semakin dekat orang dengan Allah, semakin mudah orang menajamkan rasa kasih sayang,” ingatnya.

Obrolan santai itu diawali dengan cerita perjalanan dia menjadi seorang penyair. Ketertarikannya terhadap dunia sastra diawali saat Zawawi berusia tiga tahun. Di usia itu, Zawawi kecil sudah diajarkan menghafal surah Al-Ikhlas dan kagum terhadap Al-Qur’an.

Baca Juga :  Pesan Ibunda Mahfud MD setelah Dilantik Jadi Menko Polhukam

Kekagumannya pada Al-Qur’an kala itu bukan pada maknanya, melainkan rimanya. Menurut dia, ada kesamaan bunyi. Seperti bunyi ad ..ad ..ad di akhir setiap ayat surah Al-Ikhlas.

”Puisi itu kan begitu. Wah, luar biasa itu Allah. Tidak main-main bikin keindahan Al-Qur’an,” ucap Zawawi sambil melemparkan pandanganya ke atas. Suasana pun sejenak menjadi hening.

- Advertisement -

Saat ditanya alasan berpuisi, Zawawi menjawab dengan intonasi yang lebih rendah dari sebelumnya. Kalau dijawab secara sekuler, kata dia, karena tuntutan naluri. Tapi karena seorang muslim, dia dianugerahi bakat oleh Allah untuk menyenangi kata-kata. Mencari bunga kata-kata. Mencari getaran kata-kata, kemudian menjadi puisi.

Perbincangan di serambi rumah itu pun kembali berlanjut. Penyair si Cerulit Emas itu mengaku, dengan berpuisi bisa menghindari perkataan kasar. Dengan sastra, dia lebih mudah menulis dan lebih mudah bicara. ”Daripada saya bicara kasar-kasar,” kembali Zawawi mengingatkan pentingnya berperilaku lembut sebagai seorang muslim.

Baca Juga :  Cerita Relawan Penanggulangan Bencana Pamekasan

Zawawi menambahkan, setiap hari umat muslim diajarkan menyebut Arrahman Arrahim. Jika menghayati sifat Arrahman Arrahim, manusia harus siap menjadi keran Allah. Menjadi penyalur kasih sayang kepada umat manusia. ”Baik yang dekat maupun yang jauh. Yang dekat mungkin bisa dengan duit, kalau yang jauh mungkin dengan puisi,” ungkapnya.

Karya Zawawi Imron tidak hanya dinikmati masyarakat Indonesia. Buku berjudul Cerulit Emas diterjemahkan ke bahasa Belanda oleh Profesor Handmajaer menjadi Golden Sikkel. ”Kalau tidak ada manfaatnya bagi mereka kan tidak mungkin mereka menerjemahkan. Buat apa kan? Belum tentu laku untuk dicetak. Apalagi dari negeri bekas jajahannya,” terang Zawawi. 

Artikel Terkait

Most Read

Artikel Terbaru

/