Kaki kanan yang diamputasi tidak menjadi alasan bagi Marsuki untuk berhenti bekerja. Dia tetap gigih. Dia sadar bahwa kodrat manusia adalah bekerja dan berusaha untuk menjemput rezeki.
MATAHARI tepat di atas kepala ketika RadarMadura.id tiba di pesisir Desa Lembung, Kecamatan Galis, Pamekasan, Kamis (11/10). Terik begitu menyengat. Hilir mudik buruh garam di sekitar tambak keluar-masuk gudang penyimpanan.
Tampak pula rombongan ibu-ibu menuju pesisir di ujung timur Desa Lembung. Ibu-ibu itu hendak menangkap lorjuk. Mereka menuruni anak tangga kayu di pesisir yang penuh dengan tumbuhan mangrove.
Perahu-perahu nelayan tergolek lemas. Rombongan ibu-ibu yang memegang alat galian itu tidak langsung beraksi. Harus menunggu hingga air laut benar-benar surut.
Di tengah-tengah terik dan hilir mudik buruh garam dan ibu-ibu itu sedang berlangsung pembangunan jembatan penghubung antargazebo di destinasi ekowisata mangrove. Kegiatan itu merupakan program Dinas Pariwisata dan Kebudayaan (Disparbud) Pamekasan.
Pembangunan tersebut digarap oleh beberapa tukang sejak hampir dua bulan lalu. Di antara para tukang itu ada lelaki tua yang begitu semangat bekerja. Dia memegang pacul pahat, gergaji, pensil, meteran, dan penggaris.
Pada jam istirahat kerja siang itu, para tukang pun beristirahat. Hanya seorang lelaki tua bercaping kain yang terus saja menggarisi sirap kayu. Kemudian, memotong sisi-sisi kayu. Lalu, dipasang pada dasar jembatan penghubung.
Lelaki 60 tahun itu bernama Marsuki. Dia lebih semangat bekerja daripada teman tukangnya yang lain. Jam istirahatnya tak buru-buru dia ambil. Ketika temannya sudah duduk nyaman berteduh dan meminum air, dia masih berjemur di bawah terik matahari.
Sekilas memandang lelaki tua asal Desa Tanjung, Kecamatan Pademawu, itu biasa saja. Tetapi ketika memandang Marsuki lebih lekat, perasaan haru itu pun tiba-tiba muncul. Di samping karena umurnya yang sudah tua, kulitnya mulai mengeriput, pakaiannya sudah lusuh, dia juga tak memiliki kaki kanan.
Perasaan haru itu pun kian memuncah. Alangkah bersyukurnya orang-orang yang masih dikaruniai kesehatan dan organ tubuh yang lengkap.
Kaki kanan Marsuki diamputasi sekitar 10 tahun lalu. Itu karena menderita penyakit. Sebelum proses amputasi, dia menderita luka dan sakit dari ujung jari kelingking kaki kanannya hingga menjalar ke betis.
Sakit yang dideritanya itu dia rasakan selama bertahun-tahun. Hingga kemudian dia tidak kuat menahan sakit dan memutuskan mengamputasi kaki kanannya. Tepat di bagian lutut.
Sekarang dia hanya memiliki kaki kiri lengkap dan hanya organ paha kanan. ”Tidak tahu apa penyakitnya. Bukan kencing manis kata dokter,” tutur Marsuki kepada JPRM.
Marsuki menjadi tukang jauh sebelum dia menderita penyakit yang menurut dokter dan dia sendiri bukanlah kencing manis. Jadi, hasrat bekerjanya pun dia tuangkan kendati kaki kanannya memakai kaki palsu.
”Ketimbang berdiam, karena masih bisa bergerak dan bekerja, kecuali bekerja bangunan karena tidak bisa naik,” cerita lelaki yang dulunya pernah menjadi kuli bangunan itu.
Sambil bercerita nasibnya itu, tangan Marsuki terus memotong sirap kayu. Kemudian memahatnya perlahan-lahan. Kemudian, berdiri dan duduk setelah mengambil peralatan.
Langkah Marsuki pincang. Keringatnya mengucur deras di sela aktivitas kerjanya. Terik itu seperti tidak berhawa panas. Dia terus bekerja. Sambil lalu bercerita tentang nasibnya yang sakit sepanjang sepuluh tahun dan menghabiskan ratusan juta.
”Kaki palsu ini ngambilnya ke Surabaya. Gratis. Sebelumnya memang ada yang bertugas mengukur kaki saya,” ungkap ketika dijumpai saat memotong kayu jembatan penghubung gazebo.
Beberapa saat kemudian di mencopot kaki palsunya. Menceritakan kronologi penyakitnya. Termasuk saat tapak kakinya mulai patah, kering, dan mengelupas. Seperti digerogoti virus ganas.
Pun dia bercerita sakit luar biasanya siang malam hingga berujung amputasi di salah satu rumah sakit di Pamekasan. Hingga lama-lama dia tak kuat menahan sedih. Matanya memerah. Air matanya jatuh perlahan. Lalu, dia menundukkan kepala sambil terisak-isak.
”Saya hanya merasa bahwa diri saya tidak sama dengan orang lain,” katanya sambil mengusap air mata dengan tangannya yang sudah keriput itu.
Namun, di sela air mata yang terkucur perlahan itu dia yakin barangkali penyakit itu adalah cara Tuhan untuk mengangkat derajatnya kelak. ”Hanya saya sadar bahwa ini sudah pemberian Allah yang harus diterima dan mungkin jadi bekal kebaikan kelak,” katanya.
Lelaki empat anak itu akan terus bekerja karena sudah kewajiban manusia bekerja dan berusaha. Kendati memakai kaki palsu yang sedikit menyusahkan geraknya. ”Yang penting dengan keadaan ini kita tidak putus asa,” terangnya.