KH. Syarqawi Dhofir merupakan generasi keempat almarhum KH. Syarqawi, pendiri Ponpes Annuqayah Guluk-Guluk dari putrinya Nyai Fathullah yang bersuamikan KH. Quraisyin. Alumnus Ponpes Al-Amien Prenduan ini memilih filsafat murni dalam jenjang kesarjanaannya di Universitas Gadjah Mada. Seperti apa logika sebagai alat utama berfilsafat digunakan dalam Islam? Berikut hasil pertemuan tim Acabis Jawa Pos Radar Madura (JPRM) dengan kiai yang biasa disapa Abah ini.
Oleh: FERI FERDIANSYAH
SEJAK mengundurkan diri dari keanggotaan Majelis A’wan Ponpes Al-Amien Prenduan pada 2008 silam, Abah lebih banyak menghabiskan waktu untuk mengisi pengajian di beberapa masjid. Rutinitas lainnya adalah berdiskusi bersama rekan-rekannya di Tabun Art Educulture milik Kiai Turmidzi Djaka di Desa Aeng Panas, Kecamatan Pragaan. Diskusi tersebut biasanya dihadiri sejumlah dosen, kiai hingga masyarakat umum.
Tim Acabis mendapat kesempatan bertemu dengan Abah di rumahnya di Desa Prenduan, Kecamatan Pragaan, Sumenep. Mantan Pembantu Rektor I Bidang Akademik di Institut Dirosat Islamiyah Al-Amien (IDIA) Prenduan itu mempersilakan tim Acabis untuk masuk ke bagian belakang rumahnya. Kami pun berbincang di ruangan yang tepat berada di sisi timur musala pribadinya itu.
Abah pun memulai perbincangan tentang filsafat dengan sangat hati-hati. Menurut dia, ketika Islam diajarkan langsung oleh Rasulullah, semua persoalan yang diajukan langsung terjawab. ”Tentu jawaban nabi adalah jawaban sebagai wahyu. Sehingga tidak menyisakan persoalan,” ucap kiai 62 tahun itu.
Namun seiring waktu berjalan, lanjut Abah, Islam berkembang ke luar jazirah Arab. Salah satunya ke wilayah Yunani. Di sinilah umat Islam mulai bersentuhan dengan budaya Yunani. Sejak itulah persoalan kefilsafatan mulai muncul. Nah, saat itu kondisi tidak seperti di era Rasulullah yang semua pertanyaan langsung terjawab. Menyikapi masalah kefilsafatan umat Islam kemudian terpecah. Ada yang menolak filsafat dan ada pula kelompok yang menerima filsafat.
Abah kemudian menjelaskan penolakan yang terjadi saat itu sebenarnya bukan menolak filsafat secara utuh. Tapi, hanya menolak produk kefilsafatan. ”Kenapa begitu? Karena ketika menolak, mereka juga menggunakan argumen kefilsafatan,” terangnya.
Contoh jelas penolakan produk filsafat misalnya terjadi pada prinsip logika yang diajukan aristoteles. Filsuf Yunani tersebut mengatakan, la wujuda min adami wala adami min wujudi. ”Artinya, sekali ada, ada terus. Sekali tiada, tiada terus. Sebab keberadaan tidak mungkin lahir dari ketiadaan. Begitupun sebaliknya,” terang Abah menyebutkan prinsip Aristoteles yang ditolak umat muslim.
Abah kembali menegaskan bahwa yang ditolak bukan filsafatnya, melainkan kesimpulan filsuf yang tidak sesuai dengan ajaran agama. Menurut dia, dalam konteks ini, prinsip logika yang diajukan oleh Aristoteles bertentangan dengan ajaran Islam. Karena Tuhan dalam ajaran Islam tentu saja bisa menciptakan dari ada menjadi tidak ada. Begitupun sebaliknya.
Lalu, cara berpikir filsafat seperti apa yang diterima umat Islam? Sebelum menjawab hal itu Abah menjelaskan bahwa dalam konteks tersebut kesimpulan Aristoteles membawa logika pada wilayah metafisik-esensial. Tentu, saja ada benturan dengan nilai-nilai yang diajarkan oleh agama.
Kembali pada penerimaan filsafat di kalangan muslim, Abah menjelaskan cara berpikir filsafat yang ada di kalangan muslim, khususnya dalam hal logika bisa ditemukan pada kitab ushul fiqh Ar-Risalah. Kitab karya Imam Syafii ini, menurut Abah, sarat dengan cara berpikir filsafat. Logika menjadi alat utama dalam berfilsafat.
Namun, logika yang dibawa Imam Syafii berbeda dengan yang dibawa Aristoteles. Jika Aristoteles membawa logika pada hal metafisik-esensial, tidak demikian dengan Imam Syafii. Dalam kitab Ar-Risalah, Imam Syafii menggunakan logika pada wilayah pragmatis-praktis.
”Kalau prinsip yang disusun dalam logika Aristoteles bersifat metafisik-esensial, Imam Syafi’i tidak. Tapi, pragmatis-praktis,” tegasnya.
Contoh logika pragmatis-praktis tersebut misalnya kaidah ushul fiqih tentang pekerjaan bergantung pada niat. ”Mayutimul wajib ilabihi fahuwa wajib” Ma Laa Yatimmul Wajib Illa Bihii Fa Huwa Wajib. Sesuatu yang wajib tidak sempurna kecuali karena hal lain, maka hal lain itu menjadi wajib. Seperti itu prinsip-prinsipnya,” jelas pria penulis buku Konsep Ontologi Ibnu Rusyd itu.
Gaya logika pragmatis-praktis ala Imam Syafii ini tentu saja menjadi hal luar biasa dalam khasanah keislaman. Sebab, jika yang digunakan adalah logika metafisik-esensial dalam memahami Islam, hasilnya sangat berbahaya.
Menurut penulis buku Pengantar Logika dengan Spektrum Islami itu, Imam Syafii ini orang Islam pertama yang menyusun kitab ushul fiqh. Kitab Ar-Risalah tersebut sebetulnya kitab logika. Dia katakan kitab logika karena model yang dipakai sama dengan mantiq. Bentuk mantiq di era Aristoteles berupa prinsip-prinsip atau kaidah-kaidah. ”Jadi dari prinsip-prinsip inilah kemudian melahirkan kesimpulan-kesimpulan,” terangnya.
Kiai yang cukup lama memegang mata pelajaran logika bagi santri kelas akhir di Al-Amien Prenduan ini juga memuji cara berpikir Imam Syafii. Menurut dia, Imam Syafii adalah sosok pemikir muslim yang mampu memadukan kritik destruktif dengan kritik konstruktif. Kritik destruktif dilakukan secara menyeluruh pada argumen-argumen lawannya.
”Misal argumen lawannya ada lima. Maka, kelima argumen tersebut akan dipatahkan dulu. Dihancurkan sampai tidak bisa dipakai. Jika baru menghancurkan sebagian, misal baru dua dari lima argumen yang dipatahkan, maka Imam Syafii belum menolak pendapat lawannya,” ungkap Abah.
Baru setelah mematahkan kelima argumen lawannya, Imam Syafii kemudian mengajukan pendapat baru sebagai pengganti pendapat lawannya. Kalau Imam Syafii menolak pikiran seseorang, kali pertama dia akan melakukan kritik destruktif. Semua argumen lawan dihancurkan dan dilemahkan sehingga pemikirannya tidak bisa dipakai. Baru setelah itu Imam Syafii melakukan kritik konstruktif. Yakni, menyusun kreasi baru sebagai gantinya.
Pembahasan pun beranjak pada adu argumen dua filsuf muslim. Yakni, Ibnu Rusyd dan Imam Ghozali. Dalam pembahasan tersebut, Abah menyinggung bagaimana Imam Ghazali menulis kitab Tahafut Al-Falasifah, lalu Ibnu Rusyd menulis Tahafut At-Tahaful sebagai jawaban atas buku Imam Ghazali itu. (*/luq)