PAMEKASAN – Hujan mengguyur Pamekasan sejak November. Hasil melaut nelayan mulai berkurang. Ibu-ibu dituntut kreatif agar ekonomi keluarga nelayan terus bergerak.
Terik mentari memanggang setiap benda di Desa Branta Pesisir, Kecamatan Tlanakan, Pamekasan, Senin (10/12). Warga lalu-lalang dengan kesibukan masing-masing. Angin tak mampu membuyarkan panasnya sengatan sang surya. Malah angin ikut terasa hangat saat menerpa kulit.
Ratusan perahu nelayan berukuran kecil maju mundur mengikuti irama ombak. Petualangan nelayan mencari rezeki Ilahi di lautan terhenti. Pemilik sampan memilih mengikat erat sarana beraktivitas di laut itu. Sebab, hasil tangkapan berkurang.
Tepat di pesisir pantai, terpampang ribuan ikan kering berjejer rapi. Berbagai jenis ikan berada dalam barisan itu. Di antaranya, ikan layur, ikan teri, ikan tembang, ikan petek, dan spesies ikan dari berbagai kingdom lainnya.
Aroma khas ikan kering menyengat indra penciuman. Lalat pun menikmati aroma yang tak biasa ditemukan di kawasan perkotaan itu. Di antara ribuan ikan yang dijemur, tampak perempuan membolak-balik ikan yang sudah tak berdaya itu.
Perempuan tersebut terlihat telaten. Satu per satu ikan dicek. Kemudian dibalik agar bagian yang masih basah bertatapan langsung dengan matahari. Aktivitas serupa tampak di lokasi lain di kawasan pesisir pantai Desa Branta Pesisir.
Nur Hayatin, 32, perempuan yang menjemur ikan itu, mengaku setiap hari melakukan aktivitas tersebut. Kegiatan itu dilakukan bukan hanya iseng. Tetapi, menjadi pekerjaan sehari-hari ibu-ibu nelayan.
Khususnya pada akhir tahun. Sebab menjelang tutup tahun, hujan turun dan musim paceklik tiba. Hasil tangkapan nelayan berkurang drastis. Bahkan tidak sedikit nelayan yang ”mengandangkan” perahu karena rugi jika memaksa melaut.
Untuk memenuhi kebutuhan hidup, ibu-ibu nelayan turun gunung mencari penghasilan. Salah satunya, membuat produk kreatif berbahan baku ikan. Hasil olahan ikan kering itu lalu dijual ke toko dan pasar.
Salah satu produk yang dihasilkan industri rumahan ibu-ibu nelayan adalah kerupuk ikan. Hasil tangkapan yang tidak laku di pasar dikeringkan lalu dibuat kerupuk. Peminatnya cukup banyak. Pengolahannya juga sederhana.
Menurut dia, para ibu nelayan saingan mengkreasikan ikan kering dengan aneka macam resep untuk menarik pembeli. ”Ada kerupuk ikan pedas, diberi sambalado, dan macam-macam,” tuturnya.
Hampir seluruh ibu-ibu nelayan berkreasi. Penghasilan yang didapat lumayan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. ”Kami kemas sederhana karena tidak memiliki alat yang memadai,” ucap dia.
Nur Hayatin menyampaikan, ikan kering itu kadang dijual mentah. Pabrik kerupuk kerap mencari bahan mentah ke Desa Branta Pesisir. Harganya beragam. Mulai Rp 30 ribu–Rp 100 ribu per kilogram.
Ibu-ibu nelayan tidak hanya berfokus pada pembuatan kerupuk. Produk lain seperti petis dan terasi juga dibuat. Dengan demikian, lebih banyak produk yang dijual untuk menunjang penghasilan.
Perangkat Desa Branta Pesisir Sutan Takdir Ali Sahbana mengatakan, paceklik mulai dirasakan. Nelayan banyak yang tidak melaut lantaran hasil tangkapan ikan tidak bisa menutup biaya operasional.
Musim paceklik akan dirasakan cukup lama. Diprediksi hingga Februari tahun depan. Jika nelayan tidak memiliki penghasilan lain, mereka akan kewalahan memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Kreativitas ibu-ibu nelayan sangat penting. Harapannya, hasil penjualan produk yang dibuat mereka bisa menopang kebutuhan sehari-hari. ”Alhamdulillah industri kreatif di sini berjalan baik,” klaimnya.
Sutan menyampaikan, industri kreatif masih dilakukan secara mandiri. Diharapkan ada sentuhan pemerintah untuk membina dan menyediakan alat kemasan agar produk semakin diminati pembeli.
Agar produk lokal itu mampu bersaing di pasaran, pemerintah harus memberikan kebijakan yang pro pelaku usaha kecil. Salah satunya, setiap toko modern harus mengakomodasi produk lokal. ”Peran pemerintah sangat dibutuhkan,” tukasnya.