SUMENEP, Jawa Pos Radar Madura – Sandiwara radio Mattali dan Kawan-Kawan melekat di hati pendengar RRI Sumenep. Sosok Markoya digambarkan sebagai perempuan pintar, cantik, dan memiliki suara lembut. Sedangkan Mattali yang sudah beristri selalu punya cara untuk mendekati Markoya.
Cerita Mattali dkk mulai mengudara sekitar 1980. Lalu, berhenti berproduksi (tidak rekaman) pada 2000-an. Namun, cerita Mattali dkk tetap berkesan di hati pendengar. Cerita yang dibawakan tidak hanya mengedepankan sisi hiburan. Tetapi, juga ada nilai edukasi.
Cerita Mattali dkk diperankan delapan pegawai RRI Sumenep. Yaitu, Mattali, Markoya, Brudin, Asmuna, Guno, Marmot, Marbu’a, dan Munira. Mattali diperankan Khairul Iskandar. Dia penyiar sekaligus Kasi Siaran RRI Sumenep. Sementara Brudin diperankan Joko Prawoto, mantan Kasi Siaran RRI Sumenep. Dia sekaligus sebagai penulis naskah.
Lalu, Marmot diperankan Abd. Razak. Munira diperankan Sri Ramdhani. Asmuna diperankan Wardah Wahyuni. Marbu’a diperankan oleh Marliyah Hartiningsih, pegawai bagian siaran. Guno diperankan oleh Sudjipto Wahono. ”Saya dan Guno penyiar RRI Sumenep,” ujar Syahadatinah ketika ditemui di rumahnya di Kelurahan Karangduak, Sumenep, kemarin (10/9).
Dari delapan orang itu, kini yang masih hidup tinggal empat. Yang hidup itu tinggal Markoya, Marmot, Munira, dan Asmuna.
Dia menceritakan, awal mula cerita Mattali dkk diproduksi tidak tahu persis. Sebab, jauh sebelum bergabung ke RRI Sumenep, siaran Mattali dkk sudah ada. ”Saya masuk RRI itu tahun 1982. Saya sebagai penyiar. Lalu, dipercaya memerankan sosok Markoya,” tuturnya.
Markoya digambarkan sebagai perempuan pintar, cantik, dan memiliki suara yang lembut. Kini, dalam kehidupan nyata, sosok Markoya sudah lanjut usia. ”Markoya sudah tua sekarang, tidak muda lagi,” ujar perempuan 62 tahun itu sembari tersenyum.
Saat berperan sebagai Markoya, secara spesifik, Syahadatinah mengalami kesulitan. Sebab, mereka itu teman kantor semua sehingga komunikasi lebih akrab dan tidak canggung. Apalagi, proses rekamannya bareng.
Menurut Syahadatinah, Mattali memang sosok yang sering menggoda Markoya. Suka menggangu perempuan. Sementara Markoya sebagai gadis cantik, pintar, lembut, dan baik. Terkadang Markoya berperan sebagai guru, dokter, dan polisi.
”Dari semua peran itu, misalnya dokter, Mattali itu pura-pura sakit supaya dekat dengan Markoya. Ada saja alasannya,” kata Syahadatinah mengenang.
Sedangkan Brudin itu sebagai kepala desa dan Munira sebagai istrinya. Guno dan Marbu’a berperan sebagai penengah ketika Mattali mengganggu Markoya. Kalau Asmuna itu istri Mattali. Dia suka marah-marah karena Mattali sering menggoda Markoya.
Tema setiap episode berbeda-beda. Namun, karakter Mattali pasti suka menggoda Markoya. Itu yang akhirnya bikin pendengar hanyut atas cerita di balik Mattali dkk. Tidak heran ketika mau rekaman, fan banyak berdatangan bawa oleh-oleh. Mereka penasaran wajah Markoya, Mattali, dan lainnya.
”Terkadang saya rindu masa-masa itu. Tapi, bagaimana lagi kami sudah tua-tua. Lagi pula ada yang sudah meninggal dunia. Sulit untuk kumpul-kumpul,” jelas perempuan yang pensiun sebagai penyiar RRI Sumenep pada 2017 itu.
Suatu ketika, pemeran Mattali meninggal dunia, lalu diganti Misjan. Syahadatinah merasakan ada yang terdengar berbeda. ”Ada yang kuranglah dari cerita itu karena memang delapan orang itu sudah klop,” katanya.
Perempuan berkerudung itu mengaku, saat memerankan Markoya tidak sama ketika menjadi penyiar. Intonasinya berbeda. Sebagai penyiar dituntut punya suara tegas, lugas, dan berwibawa. Sementara kalau memerankan Markoya layaknya ngobrol sehari-hari.
Kepala LPP RRI Sumenep Bambang Dwiyana menyatakan, cerita Mattali dkk memang memiliki pendengar setia. Sandiwara radio itu berhenti produksi sekitar 2000. Dokumen rekaman masih ada. ”Sebagian naskah juga masih ada karena dulu ditulis hanya dengan mesin ketik manual,” katanya.
Tahun depan pihaknya berencana memutar kembali sandiwara tersebut untuk mengobati rasa rindu pendengar dengan kemasan baru. ”Mungkin nanti kolaborasi karena yang memerankan itu masih ada yang hidup,” jelas Bambang.