Sosok M. Tabrani sebagai tokoh sentral Sumpah Pemuda tak pernah usang untuk diulas. Kegigihan putra Madura itu dalam memperjuangkan bahasa pemersatu mendapat tempat istimewa di hati bangsa Indonesia.
MOH. IQBAL AFGANI, Pamekasan, Jawa Pos Radar Madura
SUASANA gedung pertemuan di Hotel Cahaya Berlian nampak hidup ketika diskusi kelompok terpumpun (FGD) dibuka kemarin (9/12). Peserta antusias menyimak ulasan empat pemateri.
Sebanyak 35 tamu undangan dari kalangan budayawan dan akademisi hadir untuk memberi dukungan atas rencana penyematan gelar pahlawan nasional kepada M. Tabrani. Diskusi kelompok terpumpun ini digelar terbatas sebagai upaya menghindari kerumunan di tengah pandemi.
Empat pemateri yang hadir berasal dari berbagai kalangan. Dua di antara mereka berasal dari kalangan pemerintahan. Yaitu, Dwi Laily Sukmawati selaku penerjemah ahli madya Balai Bahasa Jawa Timur dan Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Pamekasan Akhmad Zaini.
Sementara dua pemateri lain sejarawan Sulaiman Sadik dan budayawan Kadarisman Sastrodiwirjo. Mereka berempat memberikan pendapat tentang tokoh penting kelahiran Sumpah Pemuda.
Berbahasa satu, bahasa Indonesia merupakan pokok pemikiran pria kelahiran Pamekasan, 10 Oktober 1904 itu. Bagi M. Tabrani, bahasa menunjukkan identitas bangsa. Jasanya dalam memperjuangkan bahasa persatuan layak dinilai sebagai perjuangan dari tokoh Madura yang nasionalis ini.
Budayawan Kadarisman Sastrodiwirjo berpendapat, M. Tabrani terbukti dan teruji selaku tokoh yang konsisten dalam memperjuangkan Bahasa Indonesia. Sehingga, layak untuk diakui dan ditetapkan sebagai pahlawan nasional. ”Ada banyak nilai-nilai perjuangan yang muncul dari sosok M. Tabrani,” ujarnya.
Sebagai sosok yang berasal dari tanah Madura, lanjut Dadang, masyarakat perlu menelisik lebih dalam akan sosok M. Tabrani. Anak ketiga dari sembilan bersaudara itu pernah bermukim di Jalan Sersan Mesrul Nomor 1, Kelurahan Gladak Anyar, Kecamatan Pamekasan. ”Kita harus bangga dengan tokoh satu ini,” sambungnya.
Sejarawan Sulaiman Sadik menyampaikan, tekad yang kuat dari sosok M. Tabrani dalam mempertahankan bahasa pemersatu perlu mendapat penghargaan yang lebih baik. Penyematan gelar pahlawan nasional menjadi tolok ukur atas jasa putra pasangan Soerowitjitro dan Siti Aminah itu.
Menurut Sadik, lahirnya Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional melalui proses panjang. Saat itu, M. Tabrani menentang pendapat M. Yamin yang mengusulkan bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan. ”Dia pertahankan itu dengan tekad yang kuat bahwa Bahasa Indonesia adalah bahasa kesatuan,” tegasnya.
Upaya untuk menganugerahkan gelar pahlawan nasional kepada M. Tabrani terus digaungkan. Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Pamekasan sedang menyiapkan dokumen penunjang dalam memperjuangkan gelar pahlawan tersebut. Bahkan, satu gedung di Pamekasan akan diberi nama M. Tabrani. ”Tinggal administrasi saja,” ucap Kepala Disdikbud Pamekasan Akhmad Zaini.
Komitmen itu juga ditegaskan Penerjemah Ahli Madya Balai Bahasa Jawa Timur Dwi Laily Sukmawati. Dia menyatakan, balai bahasa akan terus memperjuangkan gelar pahlawan nasional itu. Pihaknya akan terus berkoordinasi dengan Pemkab Pamekasan akan usulan tersebut. ”Kami akan terus berupaya semaksimal mungkin,” sambungnya.
Jawa Pos Radar Madura (JPRM) juga smenyuarakan gelar pahlawan nasional kepada M. Tabrani. Komitmen dalam mengawal usulan tersebut terus digaungkan. Beberapa tulisan yang dimuat JPRM bahkan dijadikan rujukan dalam forum itu.
”Tak ada M. Tabrani, tak ada Bahasa Indonesia,” kata Pemred JPRM Lukman Hakim AG. Membaca biografi si Anak Nakal Banyak Anak itu seperti menenggak air laut yang selalu membuat haus.
Lukman mengungkapkan, M. Tabrani kecil pernah tinggal di Dhuko, Pamekasan. Juga pernah tinggal di Pakong, Pamekasan, dan Ketapang, Sampang. Pria yang oleh keluarganya dipanggil dengan sebutan ”Mad” itu punya pendirian kuat. ”Kadang juga usil demi kebaikan,” jelas Lukman.
Terbaru, JPRM memberikan penghargaan Life Achievement kepada M. Tabrani pada Malam Anugerah Madura Awards 2021. Penghargan itu diterima putri bungsunya, Dr Amie Primarni. Selain menerima penghargaan untuk sang ayah, Amie juga berkunjung ke bekas rumah yang pernah ditempati M. Tabrani dan ziarah ke makam kakek dan nenek di Pamekasan.
”Sejak saya lahir belum pernah ke Madura. Ayah wafat saat saya berusia 17 tahun,” kata warga Depok, Jawa Barat, itu. Dia mengucapkan terima kasih kepada JPRM telah memberikan apresiasi dan mengawal penuh upaya pengusulan gelar pahlawan nasional untuk M. Tabrani. (*/luq)