24.7 C
Madura
Sunday, June 4, 2023

Pengalaman Okta Diana Anggrayni Mengajar Bahasa Indonesia di Thailand

Mengajarkan bahasa Indonesia tidak hanya di Indonesia. Sasa lolos seleksi untuk berbagi ilmu di luar negeri.

HELMI YAHYA, Bangkalan, Jawa Pos Radar Madura

SAAT panas matahari kian menyengat, tubuh basah karena keringat, Okta Diana Anggrayni datang penuh semangat. Selasa siang (26/11) itu Jawa Pos Radar Madura (JPRM) menemui di kosannya di Desa Telang, Kecamatan Kamal, Bangkalan.

Perempuan yang akrab disapa Sasa itu baru datang dari Thailand. Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI) Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Trunojoyo Madura (UTM) mengikuti program mengajar Bahasa Indonesia Penutur Asing (BIPA). Program itu dilaksanakan di Walailak University International College (WUIC).

”Maaf, Kak, agak lama, di jalan macet,” katanya diiringi dengan senyuman. Keringat membasahi dahinya. Dia menghela napas panjang.

Sasa merupakan salah satu mahasiswa PBSI mewakili kampus untuk mengikuti program kerja sama tersebut. Siang itu menceritakan pengalamannya sejak 2018 menjadi volunter BIPA hingga bisa berangkat ke Thailand untuk mengajarkan bahasa Indonesia di sana.

Setelah melalui seleksi administratif cukup ketat, dia diputuskan untuk berangkat. Sasa tidak pernah memiliki impian setinggi itu. Namun, punya tekad untuk menjadi volunter BIPA dan berangkat ke Tokyo.

Baca Juga :  S. Herianto, Guru SD yang Produktif Hasilkan Buku

Sasa berangkat ke Thailand 29 Oktober 2019. Kemudian, kembali ke Indonesia pada 21 November 2019. Tiga pekan di sana. Dia mengajarkan bahasa Indonesia kepada mahasiswa Thailand. ”Di sana pembelajaran dimulai pukul 08.30 dan selesai pukul 16.00,” ujarnya.

Pembelajaran efektif itu juga ditunjang sarana prasarana. Kelas mereka dilengkapi oleh alat perekam. Alat ini berguna untuk memutar ulang materi ketika ada mahasiswa kurang mengerti dan tidak paham.

”Sulitnya mengajarkan bahasa Indonesia pada mereka karena memang bagi mereka adalah bahasa asing,” tuturnya.

Sistem pendidikan mereka berbeda dengan Indonesia. Di sana tak ada mahasiswa yang didikte. Semua begitu antusias mendapatkan pengetahuan baru. Kemudian dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari.

Di sana semua berbasis pada data dan referensi yang disiapkan dosen atau guru. Siswa hanya mendapatkan ilmu dan menanyakan kembali jika ada materi pelajaran yang kurang mereka pahami. ”Seandainya bisa, saya juga ingin menjadikan pendidikan di Indonesia seperti itu,” ucap Sasa.

Menurut dia, jika nilai rendah, murid akan tidak naik kelas dan mendapatkan perlakuan berbeda dari teman-temannya. Itu terjadi di Indonesia. Berbeda dengan di Thailand. Jika ada siswa tidak mampu dan gagal dalam satu pembelajaran, gurunya akan dikeluarkan dari sekolah.

Baca Juga :  Melihat Realisasi Pembangunan Infrastruktur di Kota Gerbang Salam

Menurut Sasa, menjadi mahasiswa bidikmisi harus memberikan balas budi terhadap pemerintah. Dengan begitu, uang negara untuk kuliah itu tidak sia-sia. Sebab, pendidikan di Indonesia harus maju.

Keberangkatan Sasa ke Thailand sempat membuat tidak percaya orang tua. Bahkan, saat mengabarkan telah lulus seleksi dikira bercanda. ”Beneran? Masak anak sepertimu bisa berangkat ke Thailand,” tutur Sasa menirukan pertanyaan sang ibu.

Semua biaya untuk berangkat ditanggung kampus. Visa dan paspor dia buat sendiri. Tidak ada kendala berarti dalam melaksanakan program itu. Dia kerasan di negara itu. Bahkan, masih berminat seandainya nanti diminta kembali ke sana.

Semua itu dia lewati bagai mimpi. Sebab, tidak pernah terbayangkan untuk berangkat dan berbagi ilmu di negeri seberang. Apalagi, dia mengaku berasal dari keluarga kurang mampu. Juga tidak terlalu cerdas. Namun, terpilih di antara 10 mahasiswa dari masing-masing fakultas.

”Semua mimpi itu akan datang bahkan saat kita sendiri tak menyadari dan tak memikirkannya,” tandas perempuan berkerudung itu mengakhiri perbincangan kami. 

Mengajarkan bahasa Indonesia tidak hanya di Indonesia. Sasa lolos seleksi untuk berbagi ilmu di luar negeri.

HELMI YAHYA, Bangkalan, Jawa Pos Radar Madura

SAAT panas matahari kian menyengat, tubuh basah karena keringat, Okta Diana Anggrayni datang penuh semangat. Selasa siang (26/11) itu Jawa Pos Radar Madura (JPRM) menemui di kosannya di Desa Telang, Kecamatan Kamal, Bangkalan.


Perempuan yang akrab disapa Sasa itu baru datang dari Thailand. Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI) Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Trunojoyo Madura (UTM) mengikuti program mengajar Bahasa Indonesia Penutur Asing (BIPA). Program itu dilaksanakan di Walailak University International College (WUIC).

”Maaf, Kak, agak lama, di jalan macet,” katanya diiringi dengan senyuman. Keringat membasahi dahinya. Dia menghela napas panjang.

Sasa merupakan salah satu mahasiswa PBSI mewakili kampus untuk mengikuti program kerja sama tersebut. Siang itu menceritakan pengalamannya sejak 2018 menjadi volunter BIPA hingga bisa berangkat ke Thailand untuk mengajarkan bahasa Indonesia di sana.

Setelah melalui seleksi administratif cukup ketat, dia diputuskan untuk berangkat. Sasa tidak pernah memiliki impian setinggi itu. Namun, punya tekad untuk menjadi volunter BIPA dan berangkat ke Tokyo.

- Advertisement -
Baca Juga :  Cara Homaidah Tepis Stigma Negatif tentang Madura

Sasa berangkat ke Thailand 29 Oktober 2019. Kemudian, kembali ke Indonesia pada 21 November 2019. Tiga pekan di sana. Dia mengajarkan bahasa Indonesia kepada mahasiswa Thailand. ”Di sana pembelajaran dimulai pukul 08.30 dan selesai pukul 16.00,” ujarnya.

Pembelajaran efektif itu juga ditunjang sarana prasarana. Kelas mereka dilengkapi oleh alat perekam. Alat ini berguna untuk memutar ulang materi ketika ada mahasiswa kurang mengerti dan tidak paham.

”Sulitnya mengajarkan bahasa Indonesia pada mereka karena memang bagi mereka adalah bahasa asing,” tuturnya.

Sistem pendidikan mereka berbeda dengan Indonesia. Di sana tak ada mahasiswa yang didikte. Semua begitu antusias mendapatkan pengetahuan baru. Kemudian dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari.

Di sana semua berbasis pada data dan referensi yang disiapkan dosen atau guru. Siswa hanya mendapatkan ilmu dan menanyakan kembali jika ada materi pelajaran yang kurang mereka pahami. ”Seandainya bisa, saya juga ingin menjadikan pendidikan di Indonesia seperti itu,” ucap Sasa.

Menurut dia, jika nilai rendah, murid akan tidak naik kelas dan mendapatkan perlakuan berbeda dari teman-temannya. Itu terjadi di Indonesia. Berbeda dengan di Thailand. Jika ada siswa tidak mampu dan gagal dalam satu pembelajaran, gurunya akan dikeluarkan dari sekolah.

Baca Juga :  Kualitas Udara Berbahaya, ACT Bagikan Ribuan Masker Ke Warga Terdampak

Menurut Sasa, menjadi mahasiswa bidikmisi harus memberikan balas budi terhadap pemerintah. Dengan begitu, uang negara untuk kuliah itu tidak sia-sia. Sebab, pendidikan di Indonesia harus maju.

Keberangkatan Sasa ke Thailand sempat membuat tidak percaya orang tua. Bahkan, saat mengabarkan telah lulus seleksi dikira bercanda. ”Beneran? Masak anak sepertimu bisa berangkat ke Thailand,” tutur Sasa menirukan pertanyaan sang ibu.

Semua biaya untuk berangkat ditanggung kampus. Visa dan paspor dia buat sendiri. Tidak ada kendala berarti dalam melaksanakan program itu. Dia kerasan di negara itu. Bahkan, masih berminat seandainya nanti diminta kembali ke sana.

Semua itu dia lewati bagai mimpi. Sebab, tidak pernah terbayangkan untuk berangkat dan berbagi ilmu di negeri seberang. Apalagi, dia mengaku berasal dari keluarga kurang mampu. Juga tidak terlalu cerdas. Namun, terpilih di antara 10 mahasiswa dari masing-masing fakultas.

”Semua mimpi itu akan datang bahkan saat kita sendiri tak menyadari dan tak memikirkannya,” tandas perempuan berkerudung itu mengakhiri perbincangan kami. 

Artikel Terkait

Most Read

Artikel Terbaru

/