24.5 C
Madura
Sunday, March 26, 2023

Sosok Fuad Amin Menjadi Kunci Utama Keberhasilan

BANGKALAN – Sudah sembilan tahun lebih Jembatan Surabaya–Madura (Suramadu) dioperasikan. Namun, tidak banyak yang tahu bahwa pembebasan lahan kawasan kaki Jembatan Suramadu sisi Madura (KKJSM) memiliki tantangan tersendiri. Berikut penjelasan H Syafiuddin Asmoro, mantan ketua Komisi A DPRD Bangkalan.

 Sebelum Jembatan Suramadu dioperasikan, masyarakat Madura yang hendak bepergian ke luar Pulau Garam melalui Pelabuhan Kamal dan harus memiliki kesabaran ekstra. Pasalnya, penyeberangan menuju dermaga Ujung, Surabaya, memakan waktu minimal 1,5 jam.

 Belum lagi bila terjadi antrean kendaraan. Pengguna jasa angkutan sungai, danau, dan penyeberangan (ASDP) yang menggunakan mobil pribadi harus rela menunggu berjam-jam hanya untuk mendapat giliran masuk kapal.

Pemandangan seperti itu lazim terjadi sebelum Pulau Madura dan Jawa tersambung oleh Jembatan Suramadu. Namun sejak diresmikan pada 10 Juni 2009, ratusan bahkan ribuan kendaraan setiap hari melintas di atas jembatan terpanjang di Asia Tenggara tersebut.

Selama itu pula, masyarakat dari berbagai lapisan telah menikmati mudah dan murahnya perjalanan dari Madura menuju Pulau Jawa maupun sebaiknya. Meski demikian, tidak banyak yang tahu bahwa pembebasan lahan di sisi Madura untuk pembangunan jalan sepanjang 11,5 kilometer menuju Suramadu memiliki banyak tantangan.

Baca Juga :  Frengki Yudis Prasetyo, Pemuda yang Memiliki Segudang Prestasi

Tidak hanya dihadapkan pada mitos, kultur masyarakat juga menjadi kendala. Salah satunya, mitos yang berkembang di kalangan masyarakat Madura bahwa jika menjual tanah waris, hidup tidak akan barokah. Bahkan bisa membawa sial bagi ahli warisnya.

”Jangan dianggap mudah membebaskan lahan untuk akses Suramadu. Di lapangan banyak sekali kendala yang dihadapi,” kata H Syafiuddin Asmoro menceritakan pengalamannya kepada jurnalis Jawa Pos Radar Madura.

Menurut Syafi, pembebasan lahan akses Suramadu sisi Madura cukup luas. Panjang tanah yang bakal dibebaskan mencapai belasan kilometer. Selain sawah dan tegalan, lahan untuk jalan tersebut menggusur rumah warga. Bahkan kuburan keramat (bhuju’) harus dipindah karena akan dijadikan jalan menuju Suramadu.

Kondisi tersebut, sambung mantan legislator DPRD Jawa Timur itu, sangat rentan gejolak karena menyangkut mitos dan kultur masyarakat Madura. ”Kita semua tahu masyarakat Madura paling takut menjual tanah warisan. Bhuju’ juga sangat rentan,” paparnya.

Namun, tutur Syafi, kekhawatiran akan terjadinya penolakan, gesekan, dan benturan antara pemerintah sebagai pemilik program dan masyarakat pemilik lahan tidak pernah terjadi. Anggota dewan asal Kecamatan Tanah Merah itu menilai, sosok RKH Fuad Amin yang kala itu menjabat bupati Bangkalan menjadi kunci utamanya.

Baca Juga :  Dunia Kesehatan Sambut Positif Kehadiran Vaksin COVID-19

”Ini karena peran Kiai Fuad Amin. Tiga patron di Madura yaitu ulama, umara, dan belater bisa dirangkul. Dan ketiganya memiliki visi yang sama untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat guna mendukung pemerintah dalam mewujudkan megaproyek Jembatan Suramadu,” ulas Syafi.

Kalau bukan Kiai Fuad Amin, tegas Syafi, dirinya pesimistis pembebasan lahan dan pembangunan Jembatan Suramadu bisa berjalan lancar tanpa hambatan berarti. Di saat kepemimpinan Bupati Fatah, pembangunan Jembatan Suramadu ditolak oleh Basra. Namun saat kepemimpinan Kiai Fuad Amin, pembangunan tersebut baru bisa diterima.

”Jadi, saya berani mengatakan bahwa selain Ibu Megawati yang mengawali pemancangan tiang Suramadu dan Pak SBY yang meresmikan, maka sosok Kiai Fuad Amin tidak bisa lepas dari sejarah pembangunan Jembatan Suramadu,” tandasnya.

Tentunya peran ulama, umara, dan tokoh belater di Madura, Surabaya, dan Jakarta juga turut andil untuk mewujudkan jembatan yang saat ini menjadi ikon Jawa Timur tersebut.

BANGKALAN – Sudah sembilan tahun lebih Jembatan Surabaya–Madura (Suramadu) dioperasikan. Namun, tidak banyak yang tahu bahwa pembebasan lahan kawasan kaki Jembatan Suramadu sisi Madura (KKJSM) memiliki tantangan tersendiri. Berikut penjelasan H Syafiuddin Asmoro, mantan ketua Komisi A DPRD Bangkalan.

 Sebelum Jembatan Suramadu dioperasikan, masyarakat Madura yang hendak bepergian ke luar Pulau Garam melalui Pelabuhan Kamal dan harus memiliki kesabaran ekstra. Pasalnya, penyeberangan menuju dermaga Ujung, Surabaya, memakan waktu minimal 1,5 jam.

 Belum lagi bila terjadi antrean kendaraan. Pengguna jasa angkutan sungai, danau, dan penyeberangan (ASDP) yang menggunakan mobil pribadi harus rela menunggu berjam-jam hanya untuk mendapat giliran masuk kapal.


Pemandangan seperti itu lazim terjadi sebelum Pulau Madura dan Jawa tersambung oleh Jembatan Suramadu. Namun sejak diresmikan pada 10 Juni 2009, ratusan bahkan ribuan kendaraan setiap hari melintas di atas jembatan terpanjang di Asia Tenggara tersebut.

Selama itu pula, masyarakat dari berbagai lapisan telah menikmati mudah dan murahnya perjalanan dari Madura menuju Pulau Jawa maupun sebaiknya. Meski demikian, tidak banyak yang tahu bahwa pembebasan lahan di sisi Madura untuk pembangunan jalan sepanjang 11,5 kilometer menuju Suramadu memiliki banyak tantangan.

Baca Juga :  Gelorakan Islam sebagai Agama Ramah Budaya

Tidak hanya dihadapkan pada mitos, kultur masyarakat juga menjadi kendala. Salah satunya, mitos yang berkembang di kalangan masyarakat Madura bahwa jika menjual tanah waris, hidup tidak akan barokah. Bahkan bisa membawa sial bagi ahli warisnya.

”Jangan dianggap mudah membebaskan lahan untuk akses Suramadu. Di lapangan banyak sekali kendala yang dihadapi,” kata H Syafiuddin Asmoro menceritakan pengalamannya kepada jurnalis Jawa Pos Radar Madura.

- Advertisement -

Menurut Syafi, pembebasan lahan akses Suramadu sisi Madura cukup luas. Panjang tanah yang bakal dibebaskan mencapai belasan kilometer. Selain sawah dan tegalan, lahan untuk jalan tersebut menggusur rumah warga. Bahkan kuburan keramat (bhuju’) harus dipindah karena akan dijadikan jalan menuju Suramadu.

Kondisi tersebut, sambung mantan legislator DPRD Jawa Timur itu, sangat rentan gejolak karena menyangkut mitos dan kultur masyarakat Madura. ”Kita semua tahu masyarakat Madura paling takut menjual tanah warisan. Bhuju’ juga sangat rentan,” paparnya.

Namun, tutur Syafi, kekhawatiran akan terjadinya penolakan, gesekan, dan benturan antara pemerintah sebagai pemilik program dan masyarakat pemilik lahan tidak pernah terjadi. Anggota dewan asal Kecamatan Tanah Merah itu menilai, sosok RKH Fuad Amin yang kala itu menjabat bupati Bangkalan menjadi kunci utamanya.

Baca Juga :  Kaget Saldo Tunjangan Hangus sebelum Cair

”Ini karena peran Kiai Fuad Amin. Tiga patron di Madura yaitu ulama, umara, dan belater bisa dirangkul. Dan ketiganya memiliki visi yang sama untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat guna mendukung pemerintah dalam mewujudkan megaproyek Jembatan Suramadu,” ulas Syafi.

Kalau bukan Kiai Fuad Amin, tegas Syafi, dirinya pesimistis pembebasan lahan dan pembangunan Jembatan Suramadu bisa berjalan lancar tanpa hambatan berarti. Di saat kepemimpinan Bupati Fatah, pembangunan Jembatan Suramadu ditolak oleh Basra. Namun saat kepemimpinan Kiai Fuad Amin, pembangunan tersebut baru bisa diterima.

”Jadi, saya berani mengatakan bahwa selain Ibu Megawati yang mengawali pemancangan tiang Suramadu dan Pak SBY yang meresmikan, maka sosok Kiai Fuad Amin tidak bisa lepas dari sejarah pembangunan Jembatan Suramadu,” tandasnya.

Tentunya peran ulama, umara, dan tokoh belater di Madura, Surabaya, dan Jakarta juga turut andil untuk mewujudkan jembatan yang saat ini menjadi ikon Jawa Timur tersebut.

Artikel Terkait

Most Read

Artikel Terbaru

/