Kerusuhan di Wamena, Jayawijaya, Papua, menyisakan cerita pahit bagi perantau. Termasuk, perantau asal Madura yang selamat dari maut.
PAGI itu, Senin (23/9) suasana di Pasar Jibama cukup tenang. Warga menjalankan aktivitas seperti biasa. Para orang tua bersiap-siap untuk bekerja. Sementara anak-anak berangkat sekolah seperti hari-hari sebelumnya.
Demikian juga dilakukan Samsudin, warga asal Desa Jaddih, Kecamatan Socah, Bangkalan, Madura. Setelah mengantarkan anaknya, Addini, ke sekolah, dia kembali ke kontrakannya. Saat itu dia bersama istri dan kerabat. Tidak ada firasat apa pun.
Namun, beberapa jam kemudian suasana berubah. Sekitar pukul 08.30 terjadi kegaduhan. Suasana yang awalnya tenang berubah mencekam. Kontrakannya dilempari batu dari depan dan belakang. Dari dalam rumah Samsudin melihat ada kios dibakar.
Saat suasana tidak kondusif, yang terbesit dalam pikiran Samsudin adalah putrinya, Addini yang sedang sekolah. ”Saya minta bantuan teman sudah tidak ada yang mau bantu. Akhirnya saya nekat berangkat sendiri menjemput anak saya,” ceritanya.
Pria yang merantau ke Papua sejak 2009 lalu itu mengatakan, setiap hari memang rutin mengantarkan dan menjemput anaknya ke sekolah. Jarak kontrakan ke sekolah sekitar tujuh kilometer. Sepanjang perjalanan dia melihat jelas kericuhan.
Di sepanjang jalan Samsudin melihat massa memblokade jalan. Mereka membakar ban bekas. Pohon besar di pinggir jalan ditebang. Jalan-jalan juga dipasangi batu. ”Itu dilakukan supaya polisi tidak bsia masuk,” terang pria 47 tahun tersebut.
Setibanya di sekolah dia bisa bernapas lega. Tidak terjadi apa-apa pada putrinya. Setelah itu, dia buru-buru kembali ke kontrakan. Dia bersyukur sepanjang perjalanan tidak ada rintangan.
Namun, ketika sampai di kontrakan, jantungnya kembali berdenyut kencang. Istri dan sanak familinya yang sudah tidak ada di kontrakan. ”Kontrakan saya sudah terbakar saat saya di dalam kamar. Untung saya dipanggil oleh famili supaya segera keluar,” tuturnya.
Ternyata istri dan kerabatnya sedang bersembunyi. Tetangganya yang merupakan warga asli Papua menyuruh bersembunyi di sebuah rumah. Sambil lalu menunggu bantuan pihak keamanan. ”Saya waswas. Pikiran kacau. Harta benda sudah tidak dipikirkan. Yang dipikirkan bagaimana caranya selamat,” ungkapnya.
Setelah dua jam berada di rumah warga, dia bersama keluarganya dijemput pihak kepolisian menggunakan truk. Mereka dibawa ke halaman Polres Jayapura. Di sana mereka bertahan empat hari. Tidak ada harta benda yang bisa diselamatkan. Kecuali baju yang melekat di badan.
Setelah menunggu selama beberapa hari akhirnya Samsudin dan tujuh orang kerabatnya diterbangkan ke Jayapura menggunakan Pesawat Hercules. Kemudian, dari Jayapura ke Bandara Juanda naik Citylink. ”Di dalam pesawat sudah seperti angkot. Ada yang duduk di bawah, ada yang berdiri,” terangnya.
Pemulangan warga tidak gratis. Ongkos pesawat dari Jayapura ke Surabaya Rp 2,6 juta per orang. Karena tidak memegang uang, Samsudin meminta kiriman dari keluarga di Madura. ”Ada yang pinjam ke teman,” timpalnya lirih.
Kisah lainnya disampaikan Sandi Abdullah. Pria 32 tahun itu menuturkan, pihaknya agak jauh dari lokasi kerusuhan. Tempat tinggalnya juga dekat dengan asrama polres. Dengan begitu, dia masih bisa menyelamatkan diri.
Namun, dirinya masih memikirkan keluarganya yang lain di Wamena, tempat kericuhan. Dia bersyukur tidak terjadi apa-apa pada kerabatnya. ”Saya menghubungi dan mendatangi keluarga satu per satu. Alhamdulillah tidak ada korban,” tuturnya.
Pria yang merantau sejak 2003 lalu itu menuturkan, sebelum kejadian memang ada informasi bahwa di Wamena akan ada aksi besar-besaran. Dia mendengar informasi tersebut dari warga Papua. ”Kerusuhan di Wamena terkait adanya isu yang terjadi pada agustusan itu,” ujarnya.
Dia berharap, pemerintah memprioritaskan keamanan perantau. Juga, menambah personel keamanan di Papua. Sebab, jumlah personel di Papua sedikit. ”Bulan depan saya akan kembali lagi. Ada bantuan pesawat dari pemerintah setelah kejadian berlangsung seminggu,” ungkapnya.
Informasi yang dihimpun RadarMadura.id, ratusan warga Bangkalan yang bekerja di Wamena belum semuanya kembali ke kampung halaman. Hanya 27 orang dari 105 orang yang kembali dan berkumpul dengan keluarga. Pada gelombang pertama 4 orang, kedua 17 orang, dan ketiga 6 orang.