Pesantren selalu punya cara tersendiri untuk melahirkan generasi masa depan. Seperti yang dipraktikkan Pondok Pesantren Nasy’atul Muta’allimin yang juga menanamkan peduli lingkungan pada santrinya.
JUNAIDI PONDIYANTO, Sumenep, RadarMadura.id
KEGIATAN belajar mengajar di Pondok Pesantren Nasy’atul Muta’allimin berjalan seperti biasa kemarin (5/1). Pesantren di Desa Gapura Timur, Kecamatan Gapura, itu sama dengan kebanyakan pesantren di Madura, tidak mengenal tanggal merah.
Madrasah Aliyah Nasy’atul Muta’allimin juga rutin menerjunkan peserta didiknya untuk pengabdian masyarakat. Setiap murid kelas akhir akan menjalani masa pengabdian santri (MPS).
Program itu dilaksanakan kelas XII pasca ujian nasional. Bagi santri putra, secara berkelompok akan disebar ke berbagai lembaga di desa-desa. Di sana mereka akan menjalani masa pengabdian selama sebulan.
Mereka harus berinteraksi langsung dengan masyarakat serta mengamalkan berbagai teori keilmuan yang pernah dipelajari. Terutama, nilai-nilai keagamaan yang sudah menjadi konsumsi rutinitas di pesantren.
Mereka tidak cukup hanya fokus pada bidang pembelajaran teori. Misalnya, hanya membantu mengajar pada lembaga yang mereka tempati.
Salah satu tenaga pendidik di Pondok Pesantren Nasy’atul Muta’allimin A. Zainol Hasan menyampaikan, penempatan santri bukan pada lembaga besar yang memiliki aktivitas belajar mengajarnya padat. Namun, mereka ditempatkan di lembaga yang hanya fokus mengajari mengaji, misalnya musala dan masjid.
Sengaja dikemas seperti itu untuk memberi ruang lebih kepada santri agar berinteraksi dengan masyarakat. Misalnya, warga yang kesehariannya lebih banyak beraktivitas sebagai petani. Atau, aktivitas lain yang tidak terlalu formal tapi membangun keakraban dengan masyarakat.
”Misalnya mereka bisa ikut serta membantu petani menanam benih pertanian. Membantu keseharian warga yang berada di sekitar lokasi penempatan,” jelasnya.
Tidak sedikit dari santri terjun langsung membantu petani. Kerja bakti desa di siang hari dan aktif mengajar ngaji ketika malam hari. Tahun ini, santri putra terdiri dari 5 kelompok yang tersebar di 4 desa.
Di antaranya, Desa Batang-Batang Laok, Desa Totosan, Desa Jenangger di Kecamatan Batang-Batang. Kemudian, Desa Candi, Kecamatan Dungkek dua kelompok. ”Kegiatan ini sebenarnya sudah dilakukan sejak 14 tahun lalu. Itu merupakan inisiatif santri untuk bisa memberi kesan baik sebelum lulus dari pesantren,” terangnya.
Sementara penanggung jawab masa pengabdian santri putri, Imam Abdurahman, menyampaikan, perbedaan yang sangat mendasar untuk santri putri hanya pada lokasi pengabdian. Santri putri tidak disebar di luar pesantren untuk mencegah terjadinya sesuatu yang tidak diinginkan.
Menurutnya, MPS itu memberikan pembelajaran yang tidak santri temukan di dalam ruang kelas. Bagi santri putri, pengabdiannya dikonsep dengan melaksanakan di lingkungan pondok pesantren.
Dengan catatan, tiga hal pokok dalam MPS harus terpenuhi. Di antaranya, pembelajaran, pengabdian, dan perilaku berakhlakul karimah.
Belajarnya dalam bentuk pengajian kitab-kitab kuning, rihlah ilmiah, dan pengabdiannya dalam bentuk pembekalan merawat lingkungan hidup. Misalnya, gerakan penghijauan dengan menanam bibit pohon sebagai bentuk kecintaan pada lingkungan.
Juga ada gerakan sampah nol plastik. Yakni, melakukan sosialisasi dan deklarasi untuk mengurangi sampah plastik. ”Sebenarnya, poin paling terpenting dalam MPS itu tentang kesiapan mental santri sebelum terjun ke lingkungan masyarakat. Utamanya dalam berakhlakul karimah,” katanya.
Hossinatu, salah seorang santriwati, mengaku masa pengabdian santri menjadi yang sangat bermanfaat bagi dirinya. Pasalnya, bisa mempraktikkan ilmunya secara langsung setelah mempelajari teori.
”Kegiatan ini sangat berkesan untuk kita yang sebentar lagi akan lulus. Bisa menjadi bekal untuk diamalkan setelah terjun langsung bersama masyarakat,” ungkap gadis 17 tahun asal Desa Bancamara, Kecamatan Dungkek itu.