Nelayan tidak boleh dipandang sebelah mata. Pendapatan para pencari ikan itu bisa melampaui gaji pekerja kantoran. Seperti H Abdus Syukur, nelayan asal Desa Tambaan, Kecamatan Camplong, Sampang, yang pendapatannya bisa mencapai ratusan juta rupiah per bulan.
IMAM S. ARIZAL, Sampang
MATAHARI cukup terik siang kemarin (4/5). Angin berembus kencang, mengibarkan bendera-bendera perahu yang bersandar di perairan Desa Tambaan, Kecamatan Camplong, Sampang. Di pinggir pantai, seorang nelayan sedang duduk santai sembari merapikan jaring.
Lelaki berkacamata itu bernama H Abdus Syukur. Dia seorang nelayan. Tapi, pendapatannya melebihi para aparatur sipil negara (ASN) tingkat kepala dinas sekalipun. Masyarakat sekitar sudah akrab dengan pria berkulit sawo matang itu.
Sudah berpuluh-puluh tahun dia bekerja sebagai nelayan. Sejak tahun 1980-an. Saat baru lulus sekolah dasar (SD), dia sudah terbiasa ikut mencari ikan di laut. Awalnya pria yang akrab disapa Abah Fajar itu mencari ikan sendiri menggunakan perahu kecil.
Setelah puluhan tahun mencari ikan, dia mencoba menyisihkan penghasilan untuk membuat kapal yang lebih besar. Keinginan itu terwujud. Bahkan, saat ini dia memiliki dua kapal yang diberi nama Fajar I dan Fajar II.
Berkat kapal-kapal itulah dia bisa mempekerjakan puluhan orang setiap harinya. Total ada sekitar 60 orang yang bekerja kepada Syukur. Semuanya merupakan warga sekitar yang rata-rata pengangguran.
”Daripada mereka menganggur, lebih baik saya ajak mencari ikan di laut,” kata Syukur kepada Jawa Pos Radar Madura (JPRM).
Dalam sebulan, dua kapal Syakur bisa menghasilkan sekitar 60 ton ikan. Jika harga ikan sedang tinggi, dia bisa memperoleh pendapatan lebih dari seratus juta setiap bulannya. Tetapi uang tersebut belum dipotong biaya bahan bakar minyak (BBM) dan bagi hasil untuk para pekerja.
”Perolehan ikan bagi dua, 50 persen untuk pekerja, 50 persen untuk pemilik kapal,” jelasnya. ”Biaya BBM dan perbaikan kapal ditanggung oleh pemilik kapal,” tambahnya.
Baginya laut menjadi tempat tumpuan rezeki. Setiap orang bisa mencari ikan di laut. Padahal mereka tidak pernah memberi makan pada ikan-ikan di dalam laut. Karena itulah masyarakat harus bersyukur atas nikmat tersebut.
Bentuk rasa syukur itu dengan cara tidak merusak ekosistem laut. Dia mengaku menggunakan alat tangkap yang ramah lingkungan. Jika laut dirusak, menurutnya bisa mengancam ketersediaan ikan.
”Kalau mencari ikan jangan sampai merusak ekosistem. Sebaliknya, nelayan harus merawat segala yang ada di laut, seperti terumbu karang dan lainnya,” tegasnya.
Selain tidak merusak ekosistem, para nelayan juga harus banyak bersedekah. Sebab, rezeki yang mereka terima sangat mudah. Dalam sekali melaut, nelayan tradisional sangat mudah mendapatkan ikan senilai Rp 100 ribu. Jika sebulan melaut selama 20 hari, maka nelayan tersebut paling sedikit mendapatkan penghasilan Rp 2 juta.
”Tempatnya harta ini di laut. Kita tidak menabur benih, tidak memberi pakan, tapi bisa memanen ikan,” tandasnya.