Dengan bergabung sebagai tenaga sortir dan lipat surat suara, Srimulyani berharap penghasilan lebih baik dari pekerjaan sebelumnya. Namun, hanya dua hari bekerja, dia langsung diberhentikan.
ANIS BILLAH, Pamekasan
MINGGU malam (3/3) terdengar seorang perempuan paro baya memanggil salam di depan kantor Jawa Pos Radar Madura (JPRM) Biro Pamekasan. Dia datang seorang diri. Dengan pakaian seadanya, perempuan itu masuk, melepas alas kakinya.
Perempuan itu bernama lengkap Srimulyani. Kedatangannya itu ingin meluapkan kekecewaan. Dia termasuk seorang di antara 150 warga yang tenaganya digunakan untuk menyortir dan melipat surat suara (SS) oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) Pamekasan. Namun, baru dua hari bekerja, Srimulyani diberhentikan.
Hal yang lebih menyadihkan, Srimulyani belum menerima upah selama dua hari bekerja. Kartu tanda penduduk (KTP) yang digunakan persyaratan bekerja juga belum dikembalikan.
Pengakuan perempuan yang menjanda itu, dirinya diberhentikan dengan alasan tidak bisa memenuhi target. Padahal, Srimulyani sudah berusaha untuk bekerja sesuai dengan aturan.
”Sebelum bekerja saya diminta KTP. Sampai sekarang KTP saya belum dikembalikan. Upah selama saya bekerja juga belum dibayar,” tutur warga Jalan Basar, Gang 02, Nomor 25, RW 03, RT 03, Kelurahan Bugih, Kecamatan Pamekasan, itu.
Perempuan yang sebelumnya bekerja serabutan itu tertarik bekerja lipat dan sortir karena upahnya cukup besar. Bayaran akan diberikan jika semua SS selesai disortir dan dilipat. Jika bekerja hingga pelipatan selesai, upah yang diterimanya sekitar Rp 2 juta.
Sri mengaku sudah bekerja sesuai dengan peraturan yang diumumkan KPU pada hari pertama kerja. Dia merasa tidak melakukan pelanggaran selama bekerja. Hasil pelipatan pada hari pertama sesuai dengan target KPU.
Dalam sehari, target yang harus diselesaikan 28 kardus dengan pekerja 20 orang. Namun pada hari berikutnya, dia dipindah ke kelompok lain. Pada hari kedua, dia bersama lima orang lain menyelesaikan sepuluh kardus.
”Hari kedua saya dipindah ke kelompok yang anggotanya lebih sedikit daripada kelompok yang lain. Tentu hasilnya tidak mungkin sama dengan kelompok yang lain. Sejak itu, saya diberhentikan,” ujarnya.
Menurut dia, peraturan yang diterapkan KPU cukup ketat. Bahkan jika diketahui dengan sengaja merusak SS, bisa berurusan dengan hukum. Namun, dia tidak pernah melanggar aturan tersebut. Karena itu, dia berharap KPU memberikan hak dan mengembalikan KTP-nya.
Dia meminta upah selama dua hari bekerja dibayar. Sebab sejak bekerja, dia mengeluarkan biaya perjalanan. Sejak dia berhenti, tidak ada petugas KPU yang menghubungi.
”Saya berangkat ke gudang kadang naik angkutan umum. Kadang juga pakai ojek. Saya hanya meminta agar upah selama saya bekerja dibayar dan KTP dikembalikan. Hingga sekarang, belum ada tanggapan dari KPU,” ungkapnya.
Sementara itu, Ketua KPU Pamekasan Moh. Hamzah menyatakan, dalam merekrut warga pihaknya bekerja sama dengan komunitas masyarakat. Tiap komunitas memiliki koordinator. Warga yang bekerja menyortir dan melipat SS berada di bawah tanggung jawab koordinator masing-masing.
”Kalau ada warga yang berhenti atau diberhentikan, itu bukan tanggung jawab KPU. Koordinator punya wewenang untuk memberhentikan atau mengganti warga yang dinilai kurang efektif dalam bekerja. Itu urusan yang bersangkutan dengan koordinatornya,” tuturnya.
Kendati demikian, KPU mengimbau jika ada warga yang berhenti, koordinator mencari pengganti. Sebab, khawatir hal itu mengganggu pada proses sortir dan lipat. Yang terpenting, proses sortir dan lipat SS selesai sesuai dengan target.
”Kami ingin semua pihak berkomunikasi dengan baik. Baik antara KPU dengan koordinator atau koordinator dengan warga. Artinya, tidak ada yang mengganjal secara individual ataupun kelompok,” tukasnya.