PAMEKASAN – Langit mendung menyelimuti Dusun Barat, Desa Laden, Kecamatan Kota Pamekasan, Senin (2/4). Gerimis turun. Dari kejauhan terlihat warga berhamburan mengamankan bunga kamboja yang dijemur sejak pagi.
Bunga kamboja itu dijemur di halaman rumah berukuran 3 x 4 meter. Kondisi rumah jauh dari kata layak. Dinding dibiarkan tanpa pelapis. Atap nyaris ambruk. Lubang-lubang kecil terlilhat dari langit-langit atap.
Rumah menghadap utara itu berlantai tanah. Barang paling berharga di rumah itu hanya lemari berukuran kecil. Selebihnya hanya barang rongsokan yang seharusnya tidak layak menjadi hiasan di rumah berpenghuni.
Tidak ada ranjang. Penghuni rumah itu selalu merebahkan tubuhnya untuk tidur di kursi reyot. Di rumah itu tidak terlihat satu pun alat memasak. Maklum, penghuninya hanya seorang diri yang usianya masih sangat muda.
Rumah tidak layak huni tersebut ditempati Muhammad Ainul Yakin. Remaja yang kali pertama melihat dunia pada 6 Oktober 2001 itu hidup sebatang kara. Bapaknya, yakni Ahmadi, meninggal sejak Ainul duduk di bangku kelas I SMP.
Sementara ibunya, yakni Kamariyah, hilang entah ke mana. Ibu kandungnya itu pergi dari rumah sejak suami tercintanya meninggal. Awalnya Ainul hidup bersama saudara kandungnya yang masih kecil.
Namun, karena si ibu tidak kunjung pulang, bocah kecil bernama lengkap Khairunnisak itu diasuh familinya. Sementara Ainul tetap bertahan hidup sendirian di rumah reyot yang sewaktu-waktu bisa roboh itu.
Kepada Jawa Pos Radar Madura Ainul menceritakan seluruh aktivitasnya sehari-hari. Remaja penuh semangat itu sempat melanjutkan sekolah ke SMKN 2 Pamekasan. Namun sejak dua pekan lalu, dia memilih berhenti sekolah.
Dia tidak punya uang untuk membayar uang sumbangan pembinaan pendidikan (SPP) Rp 120 ribu. Kebutuhan biaya hidup juga memaksa Ainul menanggalkan seragam sekolahnya. Dia mulai bekerja mencari uang.
Selama sekolah, remaja yang mengaku memiliki cita-cita ingin jadi pengusaha sukses itu makan dari pemberian tetangga. Dia ingin mandiri. Memiliki uang sendiri dan menghidupi dirinya sendiri dari hasil kerjanya.
Ketika berhenti sekolah, Ainul bekerja sebagai tukang giling barang rongsokan. Bekerja mulai pukul 07.00–16.00. Pendapatannya tidak seberapa. Tiap minggu dia dibayar Rp 180 ribu.
Hasil bekerjanya tersebut digunakan untuk biaya hidup. Sisanya ditabung untuk memperbaiki rumah yang kondisinya mengkhawatirkan itu. ”Saya tidak punya uang untuk bayar SPP, makanya berhenti sekolah,” ucapnya.
Ainul mengaku ingin melanjutkan sekolah. Dia memiliki cita-cita tinggi. Namun karena faktor ekonomi, keinginan itu harus dikubur untuk sementara waktu. Jika kondisi ekonominya mulai membaik, dia akan melanjutkan sekolah.
Untuk sementara, dia akan fokus bekerja dan mengumpulkan uang demi memperbaiki rumahnya. ”Saya ingin sekolah lagi. Tapi, nanti setelah saya punya uang banyak,” katanya polos.
Kepala Dinas Pendidikan Jawa Timur Cabang Pamekasan Slamet Goetiantoko mengaku belum mengetahui secara rinci penyebab Ainul berhenti sekolah. Tetapi, dia tidak yakin Ainul putus sekolah lantaran kekurangan biaya.
Sebab, menurut Slamet, banyak program pemerintah yang bisa diakomodasikan untuk membantu pembayaran SPP siswa. Sekolah akan memberikan keringanan pembayaran terhadap siswa kurang mampu.
Apalagi dari pemerintah ada program yang dicanangkan untuk pendidikan. Di antaranya, bantuan operasional sekolah (BOS) dan Program Indonesia Pintar (PIP). ”Pemerintah menjamin biaya pendidikan warga miskin,” katanya.
Slamet mengatakan, jika Ainul berhenti sekolah benar-benar karena tidak bisa membayar SPP, mulai hari ini dia harus sekolah lagi. Dinas Pendidikan Jatim Cabang Pameaksan akan menyelesaikan masalah SPP itu dengan pihak sekolah.