24.5 C
Madura
Sunday, March 26, 2023

Rumah Garam Jawab Tantangan Produktivitas Musim Hujan

BANGKALAN – Musim hujan biasa menjadi kendala bagi petani untuk memproduksi garam. Dengan inovasi rumah garam, kendala itu bisa teratasi. Kualitas juga terjamin.

Gerimis mengiringi sepanjang perjalanan dari Kecamatan Klampis hingga Tanjungbumi, Bangkalan, Jumat (30/11). Mendung menyelimuti bumi Kota Salak. Dari jalan mulus hingga bergelombang.

Di wilayah pusat kerajinan batik tulis Tanjungbumi itu, gerimis tidak menjadi penghalang masyarakat beraktivitas. Pasar tradisional masih ramai. Berbeda dengan tempat pelelangan ikan (TPI) di Desa Banyusangkah. Sejumlah warga bergelut dengan ikan hasil tangkapan. Dari utara, beberapa nelayan baru pulang melaut.

Berjarak sekitar 100 meter sisi timur TPI, terdapat tempat produksi garam. Tempat produksi itu berbeda dengan model tambak garam pada umumnya. Ada sebelas petak berisi air. Satu petak tertutup plastik putih tebal. Jalan menuju tempat ini belum beraspal. Beberapa sak berisi garam di samping tambak tertutup terpal.

Rumah garam atau bisa disebut salthouse. Begitulah sebutan tempat produksi garam ini. Rumah garam yang dikelola Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) Wijaya Kusuma itu mampu memproduksi 10 ton garam per bulan.

Pengelola Rumah Garam BMUDes Wijaya Kusuma Desa Banyusangkah Abd. Somad berada di lokasi saat RadarMadura.id berkunjung. Saat itu memberikan keterangan panjang lebar. 

Belasan petak untuk memproses penuaan air garam itu masing-masing memiliki lebar 7 meter dan panjang 25 meter. Ada 10 petak atau bisa disebut dengan meja yang berbentuk sama. Sedangkan salthouse sendiri tertutup plastik geomembran dengan tinggi 1,6 meter.

Dari meja nomor 1 sampai 8, air masih terlihat mendominasi. Di meja nomor 9 dan 10, kristal garam sudah lebih terlihat. Pria yang 19 tahun bekerja di Malaysia itu kemudian menunjukkan isi di meja 11 (rumah garam). Garam di petak satu ini sudah siap panen. Suhu dalam salthouse lebih panas dibandingkan di luar.

Somad yang kini berusia 38 tahun itu menerangkan jika kadar ketuaan air laut dihitung dengan skala Baume. Skala ini yang digunakan pada hidrometer untuk menentukan massa jenis cairan dan pada proses pembuatan garam.

Skala ini digunakan untuk mengukur ketuaan air laut. Air laut pada umumnya memiliki kadar 0 Baume. Untuk menjadi garam, kadar ketuaannya harus mencapai 25 Baume. Proses penuaan bertahap, mulai dari meja nomor 1 sampai 10.

Pertama, air laut dimasukkan ke meja nomor 1. Di meja ini butuh sekitar dua hari hingga kadar ketuaannya mencapai 2 Baume. Setelah itu dipindah ke meja nomor 2. Kemudian membutuhkan waktu dua hari hingga kadar ketuaannya mencapai 4 Baume. Begitu seterusnya sampai ke meja nomor 10.

Baca Juga :  Pemuda Pantura Tanggapi Wacana Pemekaran Pamekasan

Dari meja nomor 1 dengan kadar ketuaan 0 Baume sampai meja nomor 10 dengan ketuaan sekitar 20 Baume membutuhkan waktu sekitar 20 hari. Proses ini juga bergantung pada cuaca. Setelah dari meja nomor 10, air dimasukkan dalam tandon fiber yang mampu menampung 5.200 liter air laut yang sudah memiliki kadar ketuaan sekitar 20 Baume. Ada lima unit tandon yang berdiri di antara meja sekitar salthouse.

Proses ini sangat diperlukan terutama pada musim hujan. Dari tandon fiber, air laut yang sudah memiliki kadar ketuaan dengan kategori siap dikristalkan itu dimasukkan ke salthouse. Tujuannya, untuk proses pengkristalan hingga kadar ketuaannya mencapai 25 Baume dan menjadi garam.

”Proses air laut menjadi garam pada meja salthouse berkisar 3 sampai 4 hari. Saat proses awal produksi memang butuh waktu lama. Setelah itu prosesnya lebih cepat,” kata pria bertopi dengan logat Melayu yang masih melekat itu.

Jika air dari meja nomor 1 masuk ke nomor 2, meja nomor 1 kembali diisi air laut baru. Sehingga proses panen bisa lebih cepat. Dengan teknologi salthouse, panen garam bisa dilakukan empat hari sekali. Jauh berbeda dengan proses yang dilakukan petani garam biasanya.

”Petani garam konvensional tidak produksi, kami bisa terus produksi. Kalau konvensional masih butuh waktu sekitar 5 bulan, rumah garam ini dalam hitungan hari sudah bisa panen,” jelasnya.

Bobot dan kapasitas garam yang dihasilkan bisa diatur sesuai keinginan. Pada musim kemarau lalu bisa menghasilkan 10 sak sekali panen. Bahkan bisa sampai 20 sak dengan bobot satu ton. Tidak dipungkiri produktivitas pada musim hujan memang lebih sedikit. Sekitar 7 sampai 8 sak sekali panen.

”Proses penuaan di setiap meja ini yang terpengaruh saat musim hujan. Tapi yang jelas bisa tetap produksi. Per sak beratnya bisa 50 sampai 60 kilogram,” ujar Somad.

Somad lanjut menerangkan, saat air berada di meja 10 sudah bisa dipanen. Namun jika pada musim penghujan seperti saat ini, lebih aman dimasukkan ke rumah garam. Selain itu kualitas garam di salthouse berbeda dengan yang dipanen di meja nomor 10. Lebih halus dan lebih asin. Kualitasnya lebih bagus. Lebih bersih.

Saat dicicipi, hasil panen pada rumah garam memang lebih asin dibandingkan garam yang dipanen dari meja nomor 10. Bentuknya pun berbeda. Hasil panen di salthouse lebih halus. Sedangkan hasil panen meja 10 lebih kasar.

Baca Juga :  Syaikhona Kholil Didik Santri Ilmu Agama dan Cinta Tanah Air (1)

”Tapi jika dibandingkan dengan hasil dari tambak garam konvensional, hasil dari meja 10 masih lebih halus. Apalagi dibandingkan dengan yang dari salthouse,” ucapnya sambil mengais kristal garam di dalam rumah garam.

Rumah garam ini baru dibangun Agustus 2018. Panen pertama pada 30 Oktober. Sampai akhir November ini sudah 26 kali panen. Garam pertama yang dipanen dari tempat ini banyaknya 2,5 sak. Dia menyebutnya sebagai garam perawan. Sekarang sudah bisa sampai 8 sampai 10 sak.

”Karena garam pertama. Ada yang berkunjung dari Jakarta bawa setengah sak garam perawan ini. Katanya mau dibuat bahan kompres otot setelah olahraga,” jelasnya.

Untuk penjualan, garam dengan kualitas unggulan ini masih sama dengan harga petani konvensional. Dijual Rp 50 ribu per sak. ”Kami ikut harga petani garam konvensional,” ungkapnya.

Sementara hasil dari rumah garam masih untuk memenuhi kebutuhan warga setempat. Seperti keperluan untuk memindang, mengasinkan ikan, dan sebagainya. Sebab, pada prinsipnya, keberadaan rumah garam ini untuk memenuhi kebutuhan warga Desa Banyusangkah dan sekitarnya. ”Jaringan pemasarannya kami rencanakan akan diperluas,” tutur Somad.

Garam dari salthouse bisa untuk bahan kosmetik dan beberapa bahan pengobatan medis. Sebab, kualitasnya terbukti unggulan. Direncanakan pihaknya akan menambah salthouse. Dengan begitu, kapasitas produksi garam dari teknologi ini bisa lebih besar.

Kades Banyusangkah Abdus Syukur mengungkapkan, rumah garam ini sudah mampu mengurangi kebutuhan garam bagi nelayan setempat. Dengan lahan 2.000 meter persegi saja, rumah garam ini mampu memproduksi 10 ton garam per bulan. Dia yakin produksi bisa terus ditingkatkan. Sebab di Desa Banyusangkah masih terdapat 40 hektare lahan tidak produktif milik warga yang bisa diproyeksikan. ”Silakan yang ingin bergabung untuk membangun rumah garam,” ajaknya.

Rumah garam yang dikelola BUMDes Wijaya Kusuma merupakan mitra binaan PT Pertamina Hulu Energi West Madura Offshore (PHE WMO) dan Universitas Trunojoyo Madura (UTM). BUMDes ini dibentuk pada 2017. SK pembentukan berdasarkan Perdes 3/2017. ”Ada 10 orang sebagai anggota yang mengelola BUMDes ini,” terangnya.

Musim penghujan kebanyakan tambak-tambak garam konvensial tidak berproduksi. Begitu juga para nelayan tidak melaut. Sebab biasanya angin kecang dan ombaknya cukup besar. Selama tidak melaut, para nelayan nantinya bisa beraktivitas di rumah garam.

”Apalagi harga garam bisa mencapai Rp 60 ribu per sak atau sekitar Rp 1,25 juta per ton. Bisa juga untuk meningkatkan perekonomian masyarakat,” katanya. 

BANGKALAN – Musim hujan biasa menjadi kendala bagi petani untuk memproduksi garam. Dengan inovasi rumah garam, kendala itu bisa teratasi. Kualitas juga terjamin.

Gerimis mengiringi sepanjang perjalanan dari Kecamatan Klampis hingga Tanjungbumi, Bangkalan, Jumat (30/11). Mendung menyelimuti bumi Kota Salak. Dari jalan mulus hingga bergelombang.

Di wilayah pusat kerajinan batik tulis Tanjungbumi itu, gerimis tidak menjadi penghalang masyarakat beraktivitas. Pasar tradisional masih ramai. Berbeda dengan tempat pelelangan ikan (TPI) di Desa Banyusangkah. Sejumlah warga bergelut dengan ikan hasil tangkapan. Dari utara, beberapa nelayan baru pulang melaut.


Berjarak sekitar 100 meter sisi timur TPI, terdapat tempat produksi garam. Tempat produksi itu berbeda dengan model tambak garam pada umumnya. Ada sebelas petak berisi air. Satu petak tertutup plastik putih tebal. Jalan menuju tempat ini belum beraspal. Beberapa sak berisi garam di samping tambak tertutup terpal.

Rumah garam atau bisa disebut salthouse. Begitulah sebutan tempat produksi garam ini. Rumah garam yang dikelola Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) Wijaya Kusuma itu mampu memproduksi 10 ton garam per bulan.

Pengelola Rumah Garam BMUDes Wijaya Kusuma Desa Banyusangkah Abd. Somad berada di lokasi saat RadarMadura.id berkunjung. Saat itu memberikan keterangan panjang lebar. 

Belasan petak untuk memproses penuaan air garam itu masing-masing memiliki lebar 7 meter dan panjang 25 meter. Ada 10 petak atau bisa disebut dengan meja yang berbentuk sama. Sedangkan salthouse sendiri tertutup plastik geomembran dengan tinggi 1,6 meter.

- Advertisement -

Dari meja nomor 1 sampai 8, air masih terlihat mendominasi. Di meja nomor 9 dan 10, kristal garam sudah lebih terlihat. Pria yang 19 tahun bekerja di Malaysia itu kemudian menunjukkan isi di meja 11 (rumah garam). Garam di petak satu ini sudah siap panen. Suhu dalam salthouse lebih panas dibandingkan di luar.

Somad yang kini berusia 38 tahun itu menerangkan jika kadar ketuaan air laut dihitung dengan skala Baume. Skala ini yang digunakan pada hidrometer untuk menentukan massa jenis cairan dan pada proses pembuatan garam.

Skala ini digunakan untuk mengukur ketuaan air laut. Air laut pada umumnya memiliki kadar 0 Baume. Untuk menjadi garam, kadar ketuaannya harus mencapai 25 Baume. Proses penuaan bertahap, mulai dari meja nomor 1 sampai 10.

Pertama, air laut dimasukkan ke meja nomor 1. Di meja ini butuh sekitar dua hari hingga kadar ketuaannya mencapai 2 Baume. Setelah itu dipindah ke meja nomor 2. Kemudian membutuhkan waktu dua hari hingga kadar ketuaannya mencapai 4 Baume. Begitu seterusnya sampai ke meja nomor 10.

Baca Juga :  Arham Kenalkan Kekayaan Musik Gamelan Kontemporer di Madura

Dari meja nomor 1 dengan kadar ketuaan 0 Baume sampai meja nomor 10 dengan ketuaan sekitar 20 Baume membutuhkan waktu sekitar 20 hari. Proses ini juga bergantung pada cuaca. Setelah dari meja nomor 10, air dimasukkan dalam tandon fiber yang mampu menampung 5.200 liter air laut yang sudah memiliki kadar ketuaan sekitar 20 Baume. Ada lima unit tandon yang berdiri di antara meja sekitar salthouse.

Proses ini sangat diperlukan terutama pada musim hujan. Dari tandon fiber, air laut yang sudah memiliki kadar ketuaan dengan kategori siap dikristalkan itu dimasukkan ke salthouse. Tujuannya, untuk proses pengkristalan hingga kadar ketuaannya mencapai 25 Baume dan menjadi garam.

”Proses air laut menjadi garam pada meja salthouse berkisar 3 sampai 4 hari. Saat proses awal produksi memang butuh waktu lama. Setelah itu prosesnya lebih cepat,” kata pria bertopi dengan logat Melayu yang masih melekat itu.

Jika air dari meja nomor 1 masuk ke nomor 2, meja nomor 1 kembali diisi air laut baru. Sehingga proses panen bisa lebih cepat. Dengan teknologi salthouse, panen garam bisa dilakukan empat hari sekali. Jauh berbeda dengan proses yang dilakukan petani garam biasanya.

”Petani garam konvensional tidak produksi, kami bisa terus produksi. Kalau konvensional masih butuh waktu sekitar 5 bulan, rumah garam ini dalam hitungan hari sudah bisa panen,” jelasnya.

Bobot dan kapasitas garam yang dihasilkan bisa diatur sesuai keinginan. Pada musim kemarau lalu bisa menghasilkan 10 sak sekali panen. Bahkan bisa sampai 20 sak dengan bobot satu ton. Tidak dipungkiri produktivitas pada musim hujan memang lebih sedikit. Sekitar 7 sampai 8 sak sekali panen.

”Proses penuaan di setiap meja ini yang terpengaruh saat musim hujan. Tapi yang jelas bisa tetap produksi. Per sak beratnya bisa 50 sampai 60 kilogram,” ujar Somad.

Somad lanjut menerangkan, saat air berada di meja 10 sudah bisa dipanen. Namun jika pada musim penghujan seperti saat ini, lebih aman dimasukkan ke rumah garam. Selain itu kualitas garam di salthouse berbeda dengan yang dipanen di meja nomor 10. Lebih halus dan lebih asin. Kualitasnya lebih bagus. Lebih bersih.

Saat dicicipi, hasil panen pada rumah garam memang lebih asin dibandingkan garam yang dipanen dari meja nomor 10. Bentuknya pun berbeda. Hasil panen di salthouse lebih halus. Sedangkan hasil panen meja 10 lebih kasar.

Baca Juga :  Syaikhona Kholil Didik Santri Ilmu Agama dan Cinta Tanah Air (1)

”Tapi jika dibandingkan dengan hasil dari tambak garam konvensional, hasil dari meja 10 masih lebih halus. Apalagi dibandingkan dengan yang dari salthouse,” ucapnya sambil mengais kristal garam di dalam rumah garam.

Rumah garam ini baru dibangun Agustus 2018. Panen pertama pada 30 Oktober. Sampai akhir November ini sudah 26 kali panen. Garam pertama yang dipanen dari tempat ini banyaknya 2,5 sak. Dia menyebutnya sebagai garam perawan. Sekarang sudah bisa sampai 8 sampai 10 sak.

”Karena garam pertama. Ada yang berkunjung dari Jakarta bawa setengah sak garam perawan ini. Katanya mau dibuat bahan kompres otot setelah olahraga,” jelasnya.

Untuk penjualan, garam dengan kualitas unggulan ini masih sama dengan harga petani konvensional. Dijual Rp 50 ribu per sak. ”Kami ikut harga petani garam konvensional,” ungkapnya.

Sementara hasil dari rumah garam masih untuk memenuhi kebutuhan warga setempat. Seperti keperluan untuk memindang, mengasinkan ikan, dan sebagainya. Sebab, pada prinsipnya, keberadaan rumah garam ini untuk memenuhi kebutuhan warga Desa Banyusangkah dan sekitarnya. ”Jaringan pemasarannya kami rencanakan akan diperluas,” tutur Somad.

Garam dari salthouse bisa untuk bahan kosmetik dan beberapa bahan pengobatan medis. Sebab, kualitasnya terbukti unggulan. Direncanakan pihaknya akan menambah salthouse. Dengan begitu, kapasitas produksi garam dari teknologi ini bisa lebih besar.

Kades Banyusangkah Abdus Syukur mengungkapkan, rumah garam ini sudah mampu mengurangi kebutuhan garam bagi nelayan setempat. Dengan lahan 2.000 meter persegi saja, rumah garam ini mampu memproduksi 10 ton garam per bulan. Dia yakin produksi bisa terus ditingkatkan. Sebab di Desa Banyusangkah masih terdapat 40 hektare lahan tidak produktif milik warga yang bisa diproyeksikan. ”Silakan yang ingin bergabung untuk membangun rumah garam,” ajaknya.

Rumah garam yang dikelola BUMDes Wijaya Kusuma merupakan mitra binaan PT Pertamina Hulu Energi West Madura Offshore (PHE WMO) dan Universitas Trunojoyo Madura (UTM). BUMDes ini dibentuk pada 2017. SK pembentukan berdasarkan Perdes 3/2017. ”Ada 10 orang sebagai anggota yang mengelola BUMDes ini,” terangnya.

Musim penghujan kebanyakan tambak-tambak garam konvensial tidak berproduksi. Begitu juga para nelayan tidak melaut. Sebab biasanya angin kecang dan ombaknya cukup besar. Selama tidak melaut, para nelayan nantinya bisa beraktivitas di rumah garam.

”Apalagi harga garam bisa mencapai Rp 60 ribu per sak atau sekitar Rp 1,25 juta per ton. Bisa juga untuk meningkatkan perekonomian masyarakat,” katanya. 

Artikel Terkait

Most Read

Artikel Terbaru

/