23 C
Madura
Saturday, June 10, 2023

Moh. Hasyim Asy’ari, Anak Petani yang Mondok di Makkah Selama 12 Tahun

BANGKALAN – Siapa yang tak bangga jika memiliki anak semangat menuntut ilmu agama. Apalagi menimba hingga ke Makkah, Arab Saudi. Tempat yang banyak orang ingin mengunjunginya.

Jalan bergelombang dan berlubang banyak ditemukan di Jalan Raya Modung. Di sejumlah titik jalan ditanami pohon pisang. Kecepatan motor tak lebih dari 60 kilometer per jam agar tidak terperosok ke lubang jalan.

Lebar jalan mulai sempit. Pepohonan lebih rindang. Pemandangan hijau tersaji di Dusun Tlageh, Desa Patengteng, Kecamatan Modung. Jawa Pos Radar Madura berbincang dengan H Moh. Hasyim Asy’ari di kediamannya.

Di rumah yang sederhana itu banyak warga berkunjung. Masa itu penghuni rumah masih berkabung. Sebab, baru saja kehilangan salah satu anggota keluarga. Dengan serban dan jubah, H. Hasyim memulai perbincangan.

Dia bercerita mengenai riwayat pendidikannya dalam menimba ilmu agama. Berkat doa dan barokah para ulama dan keluarga, dia bisa terpilih untuk mondok di Sayyid Muhammad Bin Alawi Al Maliki. Tokoh pendiri Ahlussunnah wal Jamaah di Makkah.

Pondok yang dia tempati berlokasi di Rusaifah, Makkah, Arab Saudi, tepat sebelah barat Kakbah, sehingga jika salat menghadap ke timur. Santri Sayyid Muhammad Bin Alawi Al Maliki yang biasa dipanggil Abuya memiliki murid yang tersebar di seluruh dunia. Tak terkecuali di Indonesia.

Pendiri pondok itu wafat 2004 silam. Digantikan putranya yang bernama Dr. Sayyid Ahmad Bin Sayyid Muhammad Bin Alawi Al Maliki. Di pondok ini, para santri minimal menimba ilmu dan menetap selama 10 tahun.

Baca Juga :  Sebelum Carok, Tingkatkan Ibadah sebagai Bekal Spiritual

Pondok ini hanya menerima 40 santri. Jika ada yang sudah pulang, maka akan ada yang masuk lagi. Tidak banyak menerima santri karena pendiri pondok ini menganggap agar lebih mudah mendidik dan mengawasi santri.

Santri saat ini hampir semuanya berasal dari Indonesia. Seperti Sumatera, Bangka Belitung, Jawa, dan daerah lainnya. ”Kata Abuya, kalau santri dari Indonesia lebih menghargai orang yang berilmu, cinta pada ilmu, bersama dengan ulama, siap berpisah dengan keluarga untuk mencari ilmu. Maka dari itu, beliau lebih senang mendidik santri asal Indonesia,” kata H Hasyim yang kini berusia 36 tahun itu.

Anak dari pasangan Mat Jari dan Turah ini berangkat ke Makkah pada awal 2007. Ada seleksi khusus untuk bisa menjadi santri di pondok di Makkah ini. Pertama, harus menimba ilmu ke Pondok Pesantren (Ponpes) Nurul Haromain Pujon, Malang selama setahun. Kemudian lanjut ke Ponpes Darul Lughah Dakwah Bangil, Pasuruan selama setahun.

”Untuk memperlancar bahasa Arab. Kadang ada yang tidak sampai satu tahun sudah dipanggil ke Makkah,” ungkap pemuda sepuluh bersaudara itu.

Selain harus menimba ilmu di dua pesantren berbeda, untuk bisa mondok di tempat ini juga masih melalui proses istikharah Abuya. Bagi yang mendaftar, difoto dan dikirim ke Abuya, kemudian istikharah. Jika cocok akan dipanggil untuk lanjut mondok di Makkah.

Baca Juga :  30 Tahun Tidak Pernah Lebaran di Rumah karena Tugas

H Hasyim sendiri menimba ilmu di Pondok Sayyid Muhammad Bin Alawi Al Maliki selama 12 tahun. Tidak pernah pulang kampung. Tak heran jika Jembatan Suramadu baru dia ketahui.

”Makanya, waktu lewat Suramadu langsung saya foto. Awalnya hanya dengar kabar kalau sudah ada Jembatan Suramadu,” ucapnya kagum.

Pria kelahiran Bangkalan, 11 Desember 1982 itu pulang ke tanah kelahiran karena sang ibunda wafat beberapa pekan lalu. Kabar tersebut menjadi sesuatu yang berat untuk diterima. Sebab, menimba ilmu di Makkah salah satunya ingin membanggakan orang tua. Sementara yang ingin dibanggakan meninggal.

”Ibu saya memiliki kecintaan luar biasa kepada ulama. Memperjuangkan anaknya untuk bisa menimba ilmu agama sangat luar biasa. Semoga dikumpulkan dengan para solihah dan para ulama,” doanya.

Kedua orang tua H Hasyim merupakan petani. Setelah pulang, tidak ada rencana untuk kembali lagi ke Makkah. Sebab, Sayyid Ahmad Bin Sayyid Muhammad Bin Alawi Al Maliki sudah menyampaikan cukup saat menjadi santri.

Dia mengaku senang bisa pulang ke Madura. Sejak di Makkah, keinginan terbesar saat itu salah satunya yakni ingin bertemu keluarga. Menurut dia, Madura sudah banyak perubahan. Seperti listrik dan banyak toko. Jalan ke kampungnya sudah diaspal.

”Tapi, jalan Modung masih banyak rusak. Sekarang saya diminta mengajar di rumah. Ada yayasan milik paman, Yayasan Bani Syukri. Masih satu keluarga,” tuturnya.

 

 

BANGKALAN – Siapa yang tak bangga jika memiliki anak semangat menuntut ilmu agama. Apalagi menimba hingga ke Makkah, Arab Saudi. Tempat yang banyak orang ingin mengunjunginya.

Jalan bergelombang dan berlubang banyak ditemukan di Jalan Raya Modung. Di sejumlah titik jalan ditanami pohon pisang. Kecepatan motor tak lebih dari 60 kilometer per jam agar tidak terperosok ke lubang jalan.

Lebar jalan mulai sempit. Pepohonan lebih rindang. Pemandangan hijau tersaji di Dusun Tlageh, Desa Patengteng, Kecamatan Modung. Jawa Pos Radar Madura berbincang dengan H Moh. Hasyim Asy’ari di kediamannya.


Di rumah yang sederhana itu banyak warga berkunjung. Masa itu penghuni rumah masih berkabung. Sebab, baru saja kehilangan salah satu anggota keluarga. Dengan serban dan jubah, H. Hasyim memulai perbincangan.

Dia bercerita mengenai riwayat pendidikannya dalam menimba ilmu agama. Berkat doa dan barokah para ulama dan keluarga, dia bisa terpilih untuk mondok di Sayyid Muhammad Bin Alawi Al Maliki. Tokoh pendiri Ahlussunnah wal Jamaah di Makkah.

Pondok yang dia tempati berlokasi di Rusaifah, Makkah, Arab Saudi, tepat sebelah barat Kakbah, sehingga jika salat menghadap ke timur. Santri Sayyid Muhammad Bin Alawi Al Maliki yang biasa dipanggil Abuya memiliki murid yang tersebar di seluruh dunia. Tak terkecuali di Indonesia.

Pendiri pondok itu wafat 2004 silam. Digantikan putranya yang bernama Dr. Sayyid Ahmad Bin Sayyid Muhammad Bin Alawi Al Maliki. Di pondok ini, para santri minimal menimba ilmu dan menetap selama 10 tahun.

- Advertisement -
Baca Juga :  Teguh Suparyanto Aktif Tebarkan Kebaikan

Pondok ini hanya menerima 40 santri. Jika ada yang sudah pulang, maka akan ada yang masuk lagi. Tidak banyak menerima santri karena pendiri pondok ini menganggap agar lebih mudah mendidik dan mengawasi santri.

Santri saat ini hampir semuanya berasal dari Indonesia. Seperti Sumatera, Bangka Belitung, Jawa, dan daerah lainnya. ”Kata Abuya, kalau santri dari Indonesia lebih menghargai orang yang berilmu, cinta pada ilmu, bersama dengan ulama, siap berpisah dengan keluarga untuk mencari ilmu. Maka dari itu, beliau lebih senang mendidik santri asal Indonesia,” kata H Hasyim yang kini berusia 36 tahun itu.

Anak dari pasangan Mat Jari dan Turah ini berangkat ke Makkah pada awal 2007. Ada seleksi khusus untuk bisa menjadi santri di pondok di Makkah ini. Pertama, harus menimba ilmu ke Pondok Pesantren (Ponpes) Nurul Haromain Pujon, Malang selama setahun. Kemudian lanjut ke Ponpes Darul Lughah Dakwah Bangil, Pasuruan selama setahun.

”Untuk memperlancar bahasa Arab. Kadang ada yang tidak sampai satu tahun sudah dipanggil ke Makkah,” ungkap pemuda sepuluh bersaudara itu.

Selain harus menimba ilmu di dua pesantren berbeda, untuk bisa mondok di tempat ini juga masih melalui proses istikharah Abuya. Bagi yang mendaftar, difoto dan dikirim ke Abuya, kemudian istikharah. Jika cocok akan dipanggil untuk lanjut mondok di Makkah.

Baca Juga :  Sebelum Carok, Tingkatkan Ibadah sebagai Bekal Spiritual

H Hasyim sendiri menimba ilmu di Pondok Sayyid Muhammad Bin Alawi Al Maliki selama 12 tahun. Tidak pernah pulang kampung. Tak heran jika Jembatan Suramadu baru dia ketahui.

”Makanya, waktu lewat Suramadu langsung saya foto. Awalnya hanya dengar kabar kalau sudah ada Jembatan Suramadu,” ucapnya kagum.

Pria kelahiran Bangkalan, 11 Desember 1982 itu pulang ke tanah kelahiran karena sang ibunda wafat beberapa pekan lalu. Kabar tersebut menjadi sesuatu yang berat untuk diterima. Sebab, menimba ilmu di Makkah salah satunya ingin membanggakan orang tua. Sementara yang ingin dibanggakan meninggal.

”Ibu saya memiliki kecintaan luar biasa kepada ulama. Memperjuangkan anaknya untuk bisa menimba ilmu agama sangat luar biasa. Semoga dikumpulkan dengan para solihah dan para ulama,” doanya.

Kedua orang tua H Hasyim merupakan petani. Setelah pulang, tidak ada rencana untuk kembali lagi ke Makkah. Sebab, Sayyid Ahmad Bin Sayyid Muhammad Bin Alawi Al Maliki sudah menyampaikan cukup saat menjadi santri.

Dia mengaku senang bisa pulang ke Madura. Sejak di Makkah, keinginan terbesar saat itu salah satunya yakni ingin bertemu keluarga. Menurut dia, Madura sudah banyak perubahan. Seperti listrik dan banyak toko. Jalan ke kampungnya sudah diaspal.

”Tapi, jalan Modung masih banyak rusak. Sekarang saya diminta mengajar di rumah. Ada yayasan milik paman, Yayasan Bani Syukri. Masih satu keluarga,” tuturnya.

 

 

Artikel Terkait

Most Read

Artikel Terbaru

/