PAMEKASAN – Kegigihan warga Desa Lembung merawat lingkungan berbuah positif. Selain menahan abrasi, juga menjadi lahan edukasi. Pada awal memulai memang mendapat hambatan dari warga.
Jutaan mangrove berjejer rapi di pantai Desa Lembung, Kecamatan Galis. Spesies Avicennia alba dengan akar napasnya tumbuh di barisan terdepan menjaga stabilitas gerakan pasir. Spesies lain seperti Rhizophora mucronata melengkapi koleksi tumbuhan bakau itu.
Ribuan kelomang jenis Clibanarius Sp menyambut kedatangan Jawa Pos Radar Madura (JPRM). Kepiting, udang, dan jenis crustacea lain terlihat bermain riang menikmati air yang sedang surut Rabu (31/1).
Sejumlah siswa terlihat berada nyaris di pinggir pantai. Mereka dipantau sang laboran itu. Maklum, hutan bakau yang tumbuh di atas tanah negara itu kerap disebut laboratorium alam.
Sebab, banyak mahasiswa dan dosen yang melakukan penelitian di tempat tersebut. Bahkan, ada dua doktor yang desertasinya meneliti hutan mangrove hasil kepedulian warga. Puluhan mahasiswa juga tercatat mengerjakan penelitian skripsi di lokasi tersebut.
Slaman, 52, sang laboran di laboratorium alam itu mengatakan, luas hutan mangrove tersebut 44 hektare. Pada 1989 hanya 19 hektare. ”Hampir setiap minggu kami tanam mangrove,” katanya.
Masyarakat yang mencintai lingkungan dirangkul dalam satu kelompok. Anggota kelompok itu kemudian berinovasi dengan bahan dasar mangrove. Hasilnya, sejumlah produk berhasil diproduksi.
Di antaranya, kopi mangrove, madu mangrove, roti mangrove, batik mangrove, dan sejumlah produk lain. Hasil inovasi anggota kelompok itu menjadi bahan penelitian kalangan akademisi.
Mulai dari mahasiswa hingga dosen ada yang meneliti hasil karya warga itu. Sebagian juga meneliti tentang struktur organisme laut yang hidup di rerimbunan hutan mangrove hasil kepedulian warga terhadap kelestarian lingkungan itu.
Beberapa waktu lalu, ada seorang dosen yang meneliti kopi mangrove. Dosen tersebut mengambil program doktor di salah satu universitas di Jepang. Objek penelitiannya adalah hasil inovasi warga.
Slaman mengaku senang, hasil karya dan kegigihannya bermanfaat bagi semua orang. Apalagi, setelah menjadi bahan penelitian, produk yang dihasilkan itu akan lebih disempurnakan. ”Kami bangga bisa bermanfaat bagi orang lain,” katanya.
Pria berbadan tegap itu menyampaikan, perjuangan menjaga lingkungan tidaklah mudah. Awal dia bergerak, pada 1989, banyak orang yang tidak senang. Mangrove yang ditanam ditebang.
Bahkan, ada gerakan meminta dukungan tanda tangan kepada warga untuk menolak gerakan pelestarian lingkungan itu. Upaya tersebut kandas lantaran pemerintah mendukung penanaman mangrove untuk pelestarian alam.
Slaman menyampaikan, siapa pun yang ingin belajar mangirove dipersilakan. Dia siap mendampingi. Slaman mengaku sangat senang jika ada masyarakat yang ingin mengetahui lebih dalam tentang tumbuhan yang hidup di habitat lumpur berpasir itu.
Jika ada keinginan mengenal mangrove, ada kemungkinan warga tersebut tertarik menanam. Hasilnya, akan lebih banyak bibir pantai yang ditumbuhi hutan tempat pemijahan ikan itu. ”Dengan begitu, lingkungan akan semakin lestari,” katanya.
Pria yang hanya lulusan SMA itu berharap masyarakat sadar pentingnya merawat lingkungan. Bagi dia, jika lingkungan dirawat, sejuta kebaikan akan didapat. ”Mari sama-sama merawat lingkungan,” ajaknya.
Anggota Komisi II DPRD Pamekasan Harun Suyitno mengapresiasi kepedulian masyarakat terhadap lingkungan. Gerakan seperti itu harus mendapat dukungan dari pemerintah. ”Kelestarian lingkungan adalah tanggung jawab bersama. Mari jaga dan rawat lingkungan di sekitar kita.”