Yang paling kuat dalam tradisi humor Madura itu logika. Contohnya, ketika nelayan Bangkalan bentrok dengan nelayan Pasuruan. Pemicunya, lantaran melewati batas teritorial. Nelayan Bangkalan saat itu berkata, ”Saya tidak memasuki daerah orang, saya hanya mengejar ikan dari Madura yang lari ke sini (Pasuruan)”.
FADIL, Sampang, Jawa Pos Radar Madura
KETERTARIKAN seseorang akan sesuatu, membuat yang bersangkutan berpotensi mewujudkan apa yang diimpikannya. Itulah yang dialami Hasani Utsman, penulis buku Tengka (Etika Sosial dalam Masyarakat Tradisional Madura) asal Kampung Sumber Batu, Desa Blumbungan, Kecamatan Larangan, Kabupaten Pamekasan.
Buku tersebut lahir setelah orang tuanya berpesan agar menjaga tengka. ”Saat ditanya tengka itu bukunya di mana dan seperti apa? Ternyata tengka itu tidak ada bukunya,” katanya.
Bagi Hasani Utsman, menulis ditekuni karena faktor keinginan. Artinya, ketika ada ide, itu harus ditulis dan disampaikan kepada masyarakat. Di buku Tengka yang terbit tahun 2020, dia memiliki tujuan ingin mengodifikasi perilaku orang Madura.
”Sebab, jika tidak dikodifikasi, rentang waktu setahun dua tahun, tata krama itu akan hilang. Baik tata krama pada diri sendiri, orang lain, dan alam semesta,” ulas alumnus Universitas Al-Azhar, Mesir, 2014 itu.
Pria yang menempuh S-2 di UIN Sunan Kalijaga (Suka) Jogjakarta itu merasa terlambat menulis buku Tengka. Sebab, orang yang benar-benar merawat tengka (orang tua), sudah meninggal. ”Seandainya buku tersebut ditulis tahun 1960-an, itu lebih baik lagi. Sebab, didukung situasi dan kondisi,” terangnya.
Selain menulis, sehari-hari Hasani Utsman mengajar kitab kuning di rumahnya. Sebab, dia berada di lingkungan pemuka agama. Penulis yang dikenal sebagai sosok yang pendiam itu ternyata mempunyai banyak karya. Seperti tulisan biografi dan cerita pendek. ”Tapi, itu tidak usah dimasukkan berita ya,” pintanya.
Pria kelahiran 1987 itu kini sedang menyelesaikan naskah filsafat humor Madura. Ketertarikannya pada humor Madura, karena sangat kuat dan logis. Selain itu, humor Madura berada di tengah masyarakat dan di toko-toko buku. Tapi, kata dia, pertanyaan yang timbul, bagaimana cara memverifikasi itu humor Madura atau bukan.
Hasani Utsman juga sedang memikirkan cara memproduksi humor Madura. Untuk mengetahui itu, perlu dipikirkan filsafatnya. Bahkan, kata dia, jika pemahaman tersebut sampai pada pemahaman antropologi, tradisi humor orang Madura labil. ”Sepertinya, humor Madura akan dimanfaatkan untuk menghibur diri sendiri,” ungkapnya.
Dia menambahkan, ketika masyarakat kesusahan air, bagian sebagian orang dianggap hal lucu. Namun, bagi yang tidak kekurangan air, justru sebaliknya. Karena itu, dia menulis novel Melawan Kiai tahun ini. Alasan dia menulis, karena belum ada novel yang mewakili kegelisahannya. Terutama, menyangkut hubungan warga dan kiai.
”Kalau di tradisi pesantren itu ada fikih, itu produk hukum. Sedangkan alat produk itu disebut ushul fiqh. Jadi, bagaimana cara membuat produk fikih. Dan anggap saja humor yang beredar itu fikih. Nah, bagaimana ushul fiqh-nya. Jadi, di dalam buku saya itu ada ushul fiqh humor Madura. Misalnya prinsip, prosedur, dan cara memproduksi humor,” pungkasnya. (*/yan)