21.2 C
Madura
Monday, May 29, 2023

Dulu Tempati Bekas Kandang, Kini Punya Bangunan Mentereng

Perkembangan Pondok Pesantren (Ponpes) Assirojiyyah terbilang pesat. Pondok salaf di Kampung Kajuk, Kelurahan Rongtengah, Sampang, ini kini menjelma pondok dengan pembangunan yang megah.

HENDRIYANTO, Sampang, Jawa Pos Radar Madura

PONPES Assirojiyyah awal berdiri sejak 15 Syawal 1379 Hijriyah atau bertepatan pada 1 Juni 1959 Masehi. Saat ini sudah berusia 63 tahun. Ponpes salaf ini didirikan oleh almarhum KH Ahmad Bushiri Nawawi. Beliau merupakan warga Kajuk, alumnus Ponpes Sidogiri, Pasuruan.

Kiai Bushiri merupakan putra ketujuh pasangan H Nawawi bin H Abdur Rohim dengan Hj. Siti Rohman binti H Faqih. Asal usul nama Pondok Assirojiyyah diambil dari nama KH Sirojuddin, embah mertua KH Bushiri.

Awalnya, pondok ini tidak memiliki lahan. Bahkan, proses belajar santri awalnya numpang di salah satu langgar yang dikenal Musala Rubat di Kampung Kajuk. Semakin banyak yang nyantri, akhirnya menimbulkan prokontra dengan masyarakat sekitar.

Beberapa warga merasa terusik dengan kehadiran santri di musala itu. Bahkan, musala itu sempat dikunci karena merasa terusik dengan aktivitas santri. Hal ini juga menjadi kegelisahan pengasuh.

BERSAHAJA: Pengasuh Ponpes Assirojiyyah Kajuk KH Athoullah Bushiri bersama jurnalis JPRM Hendriyanto.

”Ya namanya musala kan untuk umum. Tentu sempat prokontra. Apalagi santri, tentu memiliki berbagai macam karakter, ada yang kasar,” terang Pengasuh Ponpes Assirojiyyah KH Athoullah Bushiri kepada Tim Acabis JPRM.

Baca Juga :  Tak Layak, Sepuluh Penerima RTLH Dicoret

Sedangkan masyarakat yang pro justru berterima kasih karena musala bisa aktif layaknya fungsi musala sebagaimana mestinya. Selain mengajar santri, Kiai Bushiri juga dikenal sebagai mursyid Thoriqoh Naqsabandiyah.

Proses pembelajaran ilmu agama ini berlangsung lumayan lama di musala tersebut. Baru awal 1970-an memiliki lahan. Kemudian, dibangun pondok pertama dari bahan kayu. Itu pun kayu yang digunakan merupakan bekas kandang sapi.

Bangunan pondok terbatas, sedangkan santri terus bertambah. Alternatif pembelajaran ditempatkan di musala-musala dekat dengan pondok. Bahkan, ruang kelas pun belum punya. Sehingga, ruang kelas menggunakan musala. Ada yang satu ruangan 25 orang dan ada yang sekelas 60 orang.

”Perjuangan pendirian pondok ini terbilang miris. Abah selalu mengajarkan kepada santrinya tentang akhlakul karimah. Walau kami dicerca, disuruh jangan ladeni orang yang zalim,” terang Kiai Athoullah.

Tahun demi tahun Pondok Assirojiyyah terus berkembang dan mendirikan bangunan pondok baru. Karena pondok berada di pinggir Kali Kamoning, tentu untuk pengembangan sangat terbatas. Hingga akhirnya pada awal 2000-an pondok mulai ekspansi membeli lahan di barat sungai. Hal ini untuk pengembangan pembangunan pondok karena santri sudah overload.

Setelah 2000-an, kemudian membangun jembatan untuk memudahkan santri melintasi sungai. Dana pembuatan jembatan ini juga dari alumni. Saat ini pembangunan di pondok tersebut terbilang pesat. Pengembangan pondok berpusat di barat sungai.

Baca Juga :  Sugiyanto Tetap Semangat Berkarya meski Memiliki Satu Kaki

Mega pembangunan yang telah dibangun seperti ruang kelas empat lantai. Gedung tersebut menghabiskan anggaran sekitar Rp 8 miliar. Dananya dari alumni dan simpatisan pondok. Selain itu, dibangun ratusan kamar mandi untuk santri dan penginapan untuk wali santri dan umum.

Semua bangunan menggunakan dana dari alumni dan simpatisan. Termasuk arsitektur dan pekerjanya dari alumni. Sejak awal, pondok ini memang berusaha untuk mandiri dalam pengelolaan pendanaan pondok. Hanya melibatkan santri, alumni, dan simpatisan.

Terbaru, pondok membangun rumah betang, rumah kayu khas Kalimantan Barat. Semua bahan kayu dikirim dari Kalimantan. Pekerja dan arsitekturnya pun dari alumni asal Kalimantan. Bangunan ini akan digunakan untuk auditorium pondok.

”Ini berkat doa para sesepuh sehingga pondok berkembang pesat. Kami baru menyadari ternyata pondok kami punya orang-orang yang berpotensi dan alumninya juga mampu bekerja di sektor mana pun,” terang Kiai Athoullah, alumnus Pondok Tegal Rejo Magelang itu. (*/luq)

Perkembangan Pondok Pesantren (Ponpes) Assirojiyyah terbilang pesat. Pondok salaf di Kampung Kajuk, Kelurahan Rongtengah, Sampang, ini kini menjelma pondok dengan pembangunan yang megah.

HENDRIYANTO, Sampang, Jawa Pos Radar Madura

PONPES Assirojiyyah awal berdiri sejak 15 Syawal 1379 Hijriyah atau bertepatan pada 1 Juni 1959 Masehi. Saat ini sudah berusia 63 tahun. Ponpes salaf ini didirikan oleh almarhum KH Ahmad Bushiri Nawawi. Beliau merupakan warga Kajuk, alumnus Ponpes Sidogiri, Pasuruan.


Kiai Bushiri merupakan putra ketujuh pasangan H Nawawi bin H Abdur Rohim dengan Hj. Siti Rohman binti H Faqih. Asal usul nama Pondok Assirojiyyah diambil dari nama KH Sirojuddin, embah mertua KH Bushiri.

Awalnya, pondok ini tidak memiliki lahan. Bahkan, proses belajar santri awalnya numpang di salah satu langgar yang dikenal Musala Rubat di Kampung Kajuk. Semakin banyak yang nyantri, akhirnya menimbulkan prokontra dengan masyarakat sekitar.

Beberapa warga merasa terusik dengan kehadiran santri di musala itu. Bahkan, musala itu sempat dikunci karena merasa terusik dengan aktivitas santri. Hal ini juga menjadi kegelisahan pengasuh.

BERSAHAJA: Pengasuh Ponpes Assirojiyyah Kajuk KH Athoullah Bushiri bersama jurnalis JPRM Hendriyanto.

”Ya namanya musala kan untuk umum. Tentu sempat prokontra. Apalagi santri, tentu memiliki berbagai macam karakter, ada yang kasar,” terang Pengasuh Ponpes Assirojiyyah KH Athoullah Bushiri kepada Tim Acabis JPRM.

- Advertisement -
Baca Juga :  Komitmen Edukasi UMKM di 379 Kota, BRI Gelar PRS di Galuh Mas Karawang

Sedangkan masyarakat yang pro justru berterima kasih karena musala bisa aktif layaknya fungsi musala sebagaimana mestinya. Selain mengajar santri, Kiai Bushiri juga dikenal sebagai mursyid Thoriqoh Naqsabandiyah.

Proses pembelajaran ilmu agama ini berlangsung lumayan lama di musala tersebut. Baru awal 1970-an memiliki lahan. Kemudian, dibangun pondok pertama dari bahan kayu. Itu pun kayu yang digunakan merupakan bekas kandang sapi.

Bangunan pondok terbatas, sedangkan santri terus bertambah. Alternatif pembelajaran ditempatkan di musala-musala dekat dengan pondok. Bahkan, ruang kelas pun belum punya. Sehingga, ruang kelas menggunakan musala. Ada yang satu ruangan 25 orang dan ada yang sekelas 60 orang.

”Perjuangan pendirian pondok ini terbilang miris. Abah selalu mengajarkan kepada santrinya tentang akhlakul karimah. Walau kami dicerca, disuruh jangan ladeni orang yang zalim,” terang Kiai Athoullah.

Tahun demi tahun Pondok Assirojiyyah terus berkembang dan mendirikan bangunan pondok baru. Karena pondok berada di pinggir Kali Kamoning, tentu untuk pengembangan sangat terbatas. Hingga akhirnya pada awal 2000-an pondok mulai ekspansi membeli lahan di barat sungai. Hal ini untuk pengembangan pembangunan pondok karena santri sudah overload.

Setelah 2000-an, kemudian membangun jembatan untuk memudahkan santri melintasi sungai. Dana pembuatan jembatan ini juga dari alumni. Saat ini pembangunan di pondok tersebut terbilang pesat. Pengembangan pondok berpusat di barat sungai.

Baca Juga :  Saya Sudah Tua, Yang Muda-Muda Itu Harus Diberi Panggung

Mega pembangunan yang telah dibangun seperti ruang kelas empat lantai. Gedung tersebut menghabiskan anggaran sekitar Rp 8 miliar. Dananya dari alumni dan simpatisan pondok. Selain itu, dibangun ratusan kamar mandi untuk santri dan penginapan untuk wali santri dan umum.

Semua bangunan menggunakan dana dari alumni dan simpatisan. Termasuk arsitektur dan pekerjanya dari alumni. Sejak awal, pondok ini memang berusaha untuk mandiri dalam pengelolaan pendanaan pondok. Hanya melibatkan santri, alumni, dan simpatisan.

Terbaru, pondok membangun rumah betang, rumah kayu khas Kalimantan Barat. Semua bahan kayu dikirim dari Kalimantan. Pekerja dan arsitekturnya pun dari alumni asal Kalimantan. Bangunan ini akan digunakan untuk auditorium pondok.

”Ini berkat doa para sesepuh sehingga pondok berkembang pesat. Kami baru menyadari ternyata pondok kami punya orang-orang yang berpotensi dan alumninya juga mampu bekerja di sektor mana pun,” terang Kiai Athoullah, alumnus Pondok Tegal Rejo Magelang itu. (*/luq)

Artikel Terkait

Most Read

Artikel Terbaru

/