Nama Ahmad Umar bin Ta’lab tidak asing di dalam dunia seni hadrah. Dia dikenal sebagai pencetus hadrah dengan nuansa klasik, serta pencipta puluhan lagu.
MOH. JUNAIDI, Sumenep, Jawa Pos Radar Madura
PERKEMBANGAN kesenian hadrah di Sumenep cukup pesat. Beragam genre atau aliran muncul. Mulai dari klasik hingga yang modern. Dan, nama Ahmad Umar bin Ta’lab selalu jadi acuan bagi grup-grup hadrah saat ini.
Jawa Pos Radar Madura (JPRM) melalui seorang muridnya berupaya menelusuri jejak dan karya-karya sang maestro. Koran ini berkunjung ke rumah Mohdar di Desa Tambaagung Barat, Kecamatan Ambunten, Sumenep, kemarin (19/10).
Dia merupakan salah satu seniman hadrah yang masyhur di Sumenep. Di rumah tua itu terdengar alunan musik hadrah. Sementara di serambi, berjejer kaset pita karya Ahmad Umar bin Ta’lab.
”Saya hanya salah satu dari sekian murid guru kami. Saya belajar hadrah kepada beliau,” tutur Mohdar, memulai cerita tentang Ahmad Umar.
Nyaris semua seniman hadrah di Sumenep, kata Mohdar, pernah berguru kepada Ahmad Umar. Mulai dari Kecamatan Guluk-Guluk, Ganding, Dungkek, Batuputih, Ambunten, dan Kecamatan Kota Sumenep.
Akan tetapi, ada yang bertahan dengan pakem Ahmad Umar dan ada pula yang berubah agak modern. ”Kalau saya masih tetap ikut pakem yang dipakai Ustad Ahmad Umar bin Ta’lab. Karena sudah mendarah daging dan tidak bisa lepas,” ungkapnya.
Dia mengatakan, hadrah di Indonesia ada dua jenis. Yakni Al-Banjari dan Al-Madury. Khusus untuk Al-Madury mayoritas menginduk kepada Ahmad Umar bin Ta’lab. ”Dulu beliau itu sekitar tahun 1960-an yang merintis. Tahun pastinya saya lupa,” ungkapnya.
Menurut Mohdar, salah satu ciri khas hadrah Sumenep yang menginduk kepada Ahmad Umar bin Ta’lab yakni nada lagunya mendayu-dayu. Sesuai dengan karakteristik keberagamaan orang Madura. Karena itu digemari oleh masyarakat. ”Musiknya juga tidak ada yang dikoplo seperti hadrah masa kini,” ungkapnya.
Bahkan, dalam mengatur satu penampilan selalu ada filosofi yang disertakan. Misalnya, jumlah penabuh rebana tidak boleh lebih dan kurang dari 5 orang. Hal itu disandarkan pada rukun Islam. Personel rudatnya berjumlah 20 orang. ”Itu berarti sifat wajib Allah SWT. Jadi tidak sembarangan,” tegasnya.
Mohdar menerangkan, Ahmad Umar bin Ta’lab kali pertama masuk dapur rekaman sekitar tahun 1980-an. Yakni, di salah satu studio di Kabupaten Sumenep. ”Nama studionya Semar, saya (punya) lengkap kaset pitanya. Kalau saya rindu beliau, pasti saya putar,” terang pria yang kini memimpin salah satu grup hadrah ternama di Kecamatan Ambunten, Al-Fata.
Uniknya, justru pihak studio sendiri yang menawarkan agar Ahmad Umar bin Ta’lab rekaman. Namun, berkali-kali ditolak. Tapi karena pertimbangan kebutuhan masyarakat agar Hadrah di Sumenep terus berlanjut, Ahmad Umar bin Ta’lab mengiyakan. ”Jadi semua kru Semar itu datang ke rumah beliau. Beliau tidak mau kalau rekaman di luar,” ungkapnya.
Setidaknya, kata Mohdar, ada 14 album. Masing-masing album terdapat 4 lagu. Semuanya murni ciptaan pria keturunan Arab tersebut. ”Bisa dikalikan jumlahnya, tapi saya yakin masih banyak yang belum terdokumentasikan,” ujarnya.
Sang maestro sekaligus guru besar hadrah itu wafat pada 2006 silam. Namun, hingga kini karya-karyanya selalu menjadi rujukan. ”Kalau tahun lahirnya saya tidak tahu. Bisa ditelusuri langsung ke penerusnya, atau teman-teman seangkatan saya,” pungkasnya. (*/han)