Keterbatasan tidak menghalangi Sugiyanto untuk tetap produktif. Pria yang hanya memiliki satu kaki itu tetap semangat menyambung hidup bersama keluarga kecilnya.
MOH. IQBAL AFGANI, Pamekasan, Jawa Pos Radar Madura
ARAH jam menunjukkan pukul 11.00 saat Jawa Pos Radar Madura (JPRM) tiba di toko sederhana milik Sugiyanto kemarin (14/9). Bangunan kecil berwarna hijau nampak berdempetan dengan rumahnya di Desa Campor, Kecamatan Proppo, Pamekasan.
Ratusan botol bekas juga terlihat berserakan di dekat ruang tamu. Maklum, pria 43 tahun itu memiliki usaha mebel dari bahan-bahan daur ulang. Berbekal kemampuan yang dimiliki, Sugiyanto mampu menciptakan kursi dan meja ikonik dengan konsep yang cukup sederhana.
Satu per satu botol bekas dikumpulkan. Jika sudah ada pesanan, baru dirangkai menjadi sebuah karya yang bisa menghasilkan cuan. Untuk satu set kerajinan, Sugiyanto mematok harga Rp 1,5 juta. ”Karena pesanan ini kan tidak menentu,” ujarnya saat dikonfirmasi JPRM.
Satu pesanan bisa dia kerjakan dalam waktu kurang satu pekan. Minimnya alat produksi menjadi salah satu kendala dalam kegiatan usahanya itu. Seperti mesin jahit untuk menjahit kain pelapis kursi masih mengandalkan orang lain.
Ongkos jahit juga tak sedikit. Dia harus merogoh kocek hingga Rp 900 ribu. Karena itu, biasanya dia meminta down payment (DP) terlebih dahulu kepada pemesan. ”Kesulitannya selama ini memang ada di modal dan alat produksi,” ungkap ayah dua anak itu.
Dimas –sapaan akrab Sugiyanto– tak hanya lapang dada dalam menghadapi kenyataan. Meski hanya memiliki satu kaki tak menghilangkan semangat untuk terus bekerja keras. Dia semakin termotivasi untuk menghilangkan stereotipe negatif tentang penyandang disabilitas.
Peristiwa nahas pada 2015 silam memang kerap menghantuinya. Dia terpaksa harus kehilangan kaki kanannya saat bekerja di salah satu pabrik pengelolaan limbah plastik di Surabaya. Istri dan anaknya menjadi pendorong semangat untuk tetap jalani hidup.
Pria asal Kabupaten Trenggalek itu tak hanya mahir membidik peluang usaha. Dia juga tercatat sebagai salah satu atlet difabel pendiri Persatuan Sepak Bola Amputasi Madura (Persam) pada 2020. Tentu, kemampuannya dalam memainkan si kulit bundar tak perlu diragukan lagi.
Sudah ada delapan atlet amputasi yang tergabung dalam klub binaan Dimas. Mereka berasal dari Kabupaten Bangkalan, Pamekasan, dan Sumenep. ”Sayang, kami belum mendapat perhatian khusus dari pemerintah daerah untuk mengembangkan olahraga,” ucapnya.
Untuk memenuhi kebutuhan tim dalam latihan, dia membuka bengkel kecil. Keuntungannya disisihkan untuk kepentingan sepak bola amputasi itu.
Dia berpesan agar para penyandang disabilitas tetap bersyukur atas nikmat yang diberikan. Motivasi untuk terus berbuat hal positif harus digelorakan. ”Dari kisah ini saya ingin menyadarkan mereka (disabilitas, Red) agar tetap punya semangat hidup,” pungkasnya. (*/han)