SAMPANG – Sudah bertahun-tahun status kepemilikan lahan di Pasar Jelgung, Desa Jelgung, Kecamatan Robatal, tidak jelas. Antara Pemkab Sampang dengan H Musyafak, warga yang mengklaim pemilik lahan, tidak ada titik temu penyelesaian.
Bupati Sampang Fadhilah Budiono mendapat informasi tentang lahan di Pasar Jelgung yang diklaim milik warga. Bupati bersama rombongan pemkab mendadak meninjau Pasar Jelgung. Dia kemudian menemui warga yang mengaku pemilik lahan.
Saat berdialog dengan warga yang mengklaim pemilik tanah seluas 1.475 meter persegi itu, Fadhilah memberi dua pilihan. ”Saya katakan, saya yang cabut atau Anda. Kalau saya yang mencabut, saya robohkan langsung,” tegas bupati Kamis (3/8).
Tak ingin ambil risiko, warga tersebut langsung menggali tanah dan mencabut papan pengumuman kepemilikan tanah yang tertulis atas nama keluarga H Moh. Marsuki. Dia disebut-sebut ahli waris Surah Mardjanten.
”Pasar Jelgung milik pemerintah tapi diklaim oleh warga. Saya minta bukti ke warga, tapi dia tidak punya bukti,” terangnya.
Menurut bupati, warga yang diberi tanggung jawab menjaga tanah itu diberi kuasa oleh H Moh. Marzuki yang berdomisili di Kecamatan Omben. Menyikapi problem tersebut, bupati akan rapat dan meminta Sekkab mengumpulkan pimpinan OPD dan muspika. Termasuk kepala desa dan tokoh yang mengetahui sejarah tanah tersebut.
”Saya sudah instruksikan Sekkab mengumpulkan semua pihak. Karena sejak 2006, retribusi pasar tidak diambil. Memang tidak ditarik oleh warga yang mengklaim pemilik tanah,” jelasnya.
Setelah masalah tersebut klir, pihaknya akan mengatur kebijakan tentang biaya retribusi yang dapat menunjang PAD. ”Sayang Pasar Jelgung kalau tidak dikelola dengan baik,” ucapnya.
Kepala Disperdagprin Sampang Wahyu Prihartono menyampaikan, pihaknya sampai saat ini belum menarik retribusi di Pasar Jelgung. Sebab belum ada penyelesaian dengan warga yang mengklaim pemilik tanah. ”Yang mengklaim pemilik tanah itu mantan pegawai,” katanya.
Status kepemilikan tanah belum jelas. Apakah tanah itu milik perseorangan atau pemerintah. Selama ini menjadi sengketa. Ke depan, apabila sudah ada kejelasan, Pasar Jelgung akan dikelola lagi. ”Mungkin ada warga yang ingin menguasai pasar di sana. Selama masih bermasalah, kami belum bisa kelola pasar itu,” tandasnya.
Informasinya, ada warga yang mengklaim tanah tersebut memiliki sertifikat. Sejauh ini, upaya yang dilakukan baru persuasif. Dia berharap ada gugatan yang dilayangkan ke pengadilan oleh warga yang mengklaim tanah itu. ”Aturannya, pemerintah tidak bisa menggugat rakyat. Kami nunggu digugat,” jelas dia.
Kades Jelgung Hamid menyampaikan, pasar tersebut sudah lama menjadi sengketa antara pemkab dan warga. Sengketa itu terjadi pada 2005 saat bupati masih dijabat Fadhilah Budiono. ”Salah satu dasar pengklaiman, karena ada surat dari bupati saat itu. Di surat itu, apabila tanah milik perseorangan, akan ada rugi. Ini dianggap pemkab menawar tanah itu,” katanya.
Papan pengumuman hak milik tanah itu baru dipasang dua hari yang lalu di depan pasar. Menurut Hamid, yang mengklaim tanah tersebut yakni H Musyafak, 60, pensiunan guru. Dia berasal dari Kampung Jelgung, Desa Jelgung.
”Bupati langsung datang ke lokasi memerintahkan supaya mencabut papan itu. Akhirnya, H Musyafak sendiri yang mencabut,” tukasnya.
Berbeda dengan pernyataan bupati, Hamid mengaku hanya pada 2016 yang tidak ditarik retribusi pasar. Alasan dicabutnya papan nama itu karena status tanah masih status quo. Sebab sebelumnya, H Musyafak pernah diwanti-wanti jaksa untuk tidak menarik retribusi.
”Kalau menarik retribusi, jadi pungli. Sementara pemkab mendapat ancaman ketika menarik retribusi dan mengelola pasar,” ujarnya.
Selasa (1/8), H Musyafak memberikan surat untuk melakukan pemasangan papan pengumuman hak kepemilikan tanah. ”Cuma bahasanya akan melakukan hal-hal untuk kebaikan keluarga. Bahasa halusnya, mau narik karcis atau retribusi pasar,” tukas dia.