Oleh MASYITHAH MARDHATILLAH*
KETIKA isu childfree kembali membubung menyusul cuitan dari Gita Savitri Devi, seorang influencer dengan follower hampir sejuta, saya teringat sebuah monograf berjudul Women and Fertility in Madura. Karya tersebut merupakan hasil live in seorang antropolog kebangsaan Belanda yang lahir di Sabang, Anke Niehof, pada 1977 hingga 1979 di Madura, tepatnya di dua desa Patondu, Sampang, dan Tambeng, Pamekasan. Saya berharap dapat menikmati ulasan dan informasi perihal childfree dari buku lama tersebut.
Sayangnya, asumsi saya salah. Buku setebal 373 halaman tersebut sangat minim menyinggung isu kesuburan dalam konteks childfree. Niehof memang mengulas kesuburan perempuan Madura, tetapi bukan dalam konteks (in)fertilitas yang memicu pilihan childfree (atau childless dalam diksi Niehof). Ia lebih banyak membidik siklus kehidupan dan reproduksi perempuan Madura; lahir, besar, menstruasi, bertunangan, menikah, hamil, melahirkan, laktasi, berperan di masyarakat, hingga menopause.
Kepercayaan perihal kesuburan dan memiliki keturunan, menurutnya, lebih banyak—untuk tidak mengatakan hanya—dibebankan pada perempuan. Jika sepasang suami-istri belum kunjung dianugerahi anak, maka hanya perempuanlah yang diharuskan menjalani berbagai terapi, sementara laki-laki tidak demikian, meski ada indikasi ke arah itu, misalnya tidak kunjung memiliki anak setelah beberapa kali menikah (Niehof: 1987; 217).
Ini tampak sinkron dengan temuannya yang lain perihal pembagian tugas pasutri; suami di bidang keagamaan (menghadiri pengajian dan salat jemaah di masjid) dan publik (mencari penghasilan), sementara istri di bidang sosial (urusan tengka dengan masyarakat sekitar) dan domestik (menjaga rumah dan membesarkan anak-anak) (Niehof: 1987; 218). Tak heran, segala hal perihal keberadaan, jumlah, jenis kelamin, hingga tumbuh kembang anak seolah menjadi ’monopoli tugas’ perempuan.
***
Angan-angan untuk menemukan info perihal infertilitas di buku tersebut sangat mungkin muncul karena posisi saya sebagai insider yang tahu betul betapa dalam fakta keseharian, anak nyaris merupakan segalanya bagi orang Madura. Sangat susah rasanya pilihan childfree akan muncul dan berkembang di Madura, setidaknya untuk saat ini. Jangankan childfree, memiliki anak dalam jumlah yang tidak seberapa atau dengan jenis kelamin yang serupa saja masih kerap dianggap kekurangberhasilan.
Orang Madura jarang mengeklaim dan diklaim sebagai orang kaya tanpa kehadiran anak. Dalam kondisi ekonomi yang serba terbatas, memiliki banyak anak tak jarang dianggap sebagai bentuk lain dari kekayaan. Sebaliknya, mereka yang sejahtera secara ekonomi justru dianggap masih miskin ketika belum dianugerahi keturunan.
Anak, bagi orang Madura, tidak hanya merupakan investasi dunia untuk urusan-urusan pragmatis seperti menemani dan merawat orang tua di hari-hari senja. Penghayatan terhadap konsep amal jariah dari doa anak saleh/ah semakin memperkuat raison d’etre seorang anak di tengah-tengah keluarga. Ini belum termasuk pandangan bahwa memiliki anak adalah fitrah dan salah satu fase kehidupan yang normal dilalui maupun pemahaman akan imbauan Rasulullah untuk menikahi perempuan penyayang dan subur.
Karena itulah, alih-alih childfree, ancaman infertilitas saja sudah menakutkan sehingga berbagai treatment biasa dilancarkan untuk menangkal dan mengatasinya. Dalam konteks belakangan, setidaknya setelah buku tersebut ditulis, solusi untuk hal ini bisa beragam, mulai dari treatment-treatment tradisional maupun medis modern dalam berbagai skala, hingga konsultasi (nyabis; sowan) pada tokoh agama untuk mencari alternatif solusi (sarat dalam bahasa Madura).
Tak hanya dalam upaya memperoleh keturunan secara alamiah-biologis, pembebanan tunggal pada perempuan juga cenderung terjadi dalam praktik adopsi anak, seperti yang dibahas secara khusus oleh Niehof, dan hingga hari ini masih lazim ditemukan. Sebagian perempuan, misalnya, diharuskan menyusui anak yang diadopsinya untuk mengantongi status mahram berbekal racikan jamu tradisional yang memungkinkan proses laktasi dilakukan meski tanpa didahului kehamilan. Konon ini dilakukan untuk memastikan nasab sang anak di masa depan dan legalitas hubungan anak-orang tua susuan dalam kacamata agama.
Di balik keyakinan kultural dan pemahaman keagamaan, faktor lain yang tampaknya ikut memicu kemustahilan menghidupkan childfree di Madura adalah perihal demografi dan persebaran penduduk. Sebagian besar daerah di Madura masih terbilang berpenduduk tidak seberapa padat sehingga kalkulasi seperti kebutuhan ekonomi, rasio jumlah lahan dan jumlah penduduk, hingga produksi sampah yang membebani bumi nyaris luput dari perhitungan.
Pada akhirnya, dalam konteks Madura, kalaupun ada yang memutuskan untuk childfree dengan berbagai latar belakang dan situasi, besar kemungkinan hal tersebut bukan merupakan pilihan yang diambil secara sadar dan sengaja, tetapi lebih merupakan upaya berdamai dengan situasi dan ’jatah’ dari Tuhan. Distingsi demikian pada waktu yang sama bisa menjadi keunikan sekaligus keanehan di tengah dinamika masyarakat global yang mulai berpandangan bahwa memiliki anak tidak hanya perihal memenuhi keinginan naluriah, imbauan agama, ataupun tuntutan masyarakat. (*)
*)Kepala PSGA (Pusat Studi Gender dan Anak) IAIN Madura